webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

No Pic Hoax

"Wahhh!" Savira berdecak kagum ketika melihat bayangan Raga keluar dari ruang ganti dengan pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Kenapa? Aneh ya?" tanya Raga yang tampak tidak percaya diri dengan pakaian yang dikenakan saat ini.

Ia sedang mengenakan celana pendek berbahan jeans dan belel, lalu kausnya juga tergolong aneh menurutnya di mana ada lubang seperti habis digigit tikus bagian atas dadanya.

Raga sempat berpikir mengapa dia harus difoto dengan pakaian yang lebih mirip seperti gembel itu. Menurutnya pakaian yang ada di lemarinya lebih bagus daripada pakaian yang tengah dikenakannya saat ini.

"Gak kok, bagus. Udah mirip kayak model," puji Savira.

Mereka berdua menoleh ketika pengarah gaya datang dan menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam studio.

Saat ini sudah pukul enam. Dan mata Savira rasanya sudah sangat lengket.

Sambil menunggu Raga dia memutuskan untuk duduk di ruang tunggu lagi.

"Aku ada di sana." Savira menunjuk ruang tunggu di mana ada sofa kosong yang sudah disediakan. "Kalau udah selesai, bilang aja," lanjutnya.

Raga hanya mengangguk sebelum akhirnya dia pergi ke studio foto di mana juga ada Andreas dan anak-anak lama lainnya.

Ia gugup. Bahkan lebih gugup daripada dulu ketika dia ditembak oleh Mita di depan halaman kampusnya. Memang terkesan norak, tapi dulu menembak dengan cara seperti itu sedang ngetren.

Raga masuk dan melihat Andreas dan beberapa cowok lainnya sedang foto individu. Mereka tampak lihai dan tidak kaku ketika berhadapan dengan kamera.

Berbeda dengan Raga yang hanya bertemu dengan kamera ketika mau membuat foto ktp.

"Anak baru ya?" tanya seseorang yang berdiri di samping fotografer. Dia menatap Raga dari atas sampai bawah kemudian tersenyum.

Lalu perempuan itu melihat baju yang dikenakan Raga lalu merapikannya sedikit.

"Jangan gugup, anggap aja gak ada orang," katanya.

Tubuhnya sangat pendek, bahkan kepalanya saja hanya setinggi dagu Raga. Hingga Raga harus sedikit menunduk ketika perempuan yang bernama Ani itu merapikan sedikit rambut Raga.

"Yang lainnya mana!" teriak si fotografer dengan kumis lebat seperti semak-semak itu.

Raga langsung berjalan menuju di tempat bekas model yang lainnya difoto tadi.

"Oke, senyum!" suruhnya.

Dan Raga langsung tersenyum, senyumnya pada awalnya kaku tapi kemudian setelah mendapatkan arahan dari Ani dia sedikit luwes juga.

"Tangannya ganti posisi! Jangan begitu terus!"

Terdengar suara tawa yang berasal dari belakang si fotografer. Raga dapat mendengarnya tapi mencoba untuk mengabaikannya. Lagian dia juga tidak mengenal mereka.

Selama satu jam lebih tiga puluh menit akhirnya pemotretan itu selesai. Raga mengembuskan napasnya yang berat kemudian melihat preview yang ada di sebuah monitor.

Dan sudah bisa diduga jika dia memang sangat tampan. Senyum yang awalnya "gak banget" menjadi senyum yang memikat. Gayanya juga sudah lebih baik daripada awal diambil.

"Ini paling bagus." Ani menunjuk foto Raga yang tanpa ekspresi, dengan sorot mata yang tajam dia memandang ke arah samping.

Raga tersenyum tipis tapi berbeda dengan model lainnya yang berada di belakangnya.

Ini adalah semacam kompetisi untuk merebutkan vote dari pembaca perempuan. Jika mereka mendapatkan ranking yang jelek maka kesempatan untuk dikontrak lagi akan sulit.

Raga tak peduli dan ingin segera menemui Savira yang kini sudah tidur nyenyak di atas sofa.

"Woi anak baru!" panggil Andreas, Raga menoleh dan menatapnya dengan enggan.

"Jangan sok."

Raga mengerutkan keningnya.

"Anak baru gak boleh nyaingin anak lama."

Raga terkekeh meledek Andreas.

"Aku cuma berdiri di sana, dan gak ngelakuin apa-apa. Kenapa dibilang sok? Gimana kalau aku sedikit lebih ekspresif—jangan-jangan kalian—" Raga menggantung kalimatnya.

Andreas sudah mengepalkan tangannya. Hendak memukul Raga tapi ditahan oleh teman-temannya yang berdiri di belakang karena ada seorang wanita yang ada di belakangnya.

Dia tersenyum pada mereka berempat dan menyapanya. Raga yang tidak tahu hanya ikut-ikutan tersenyum saja, padahal perempuan itu adalah pemilik dari perusahaan majalah tersebut.

**

Sudah jam sembilan dan Raga masih ada di samping Savira sambil memainkan ponselnya. Ia tidak membangunkan Savira karena tahu jika pasti wanita itu masih mengantuk.

Sampai pada akhirnya wanita yang ada di sampingnya itu menggeliat dan membuka matanya.

Ia tersentak ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan jam sembilan pagi lewat sepuluh menit.

"Udah kelar?" tanya Savira sambil mengelap iler di samping bibirnya.

"Udah."

"Dari kapan?"

"Jam setengah delapan."

"ASTAGA!" Savira berdiri dan mengenakan jaketnya. Mata Raga menatapnya heran dan masih bergeming di atas sofa.

"Ayo pulang! Aku masih harus kerja," ajak Savira. Dia lupa jika harus ke kantor hari ini.

"Oke." Raga berdiri kemudian mengekor di belakang Savira yang masih terhuyung karena nyawanya belum terkumpul.

"Kenapa gak bangunin?" gerutu Savira dengan gemas.

"Kamu tidur sambil ngorok mana mungkin bisa bangunin kamu."

"Arghh!" Savira meremas tangannya sendiri. Kalau sampai telat lebih sepuluh menit maka gajinya akan dipotong dua puluh ribu.

"Bukannya sekarang ini itungannya juga kerja ya?" tanya Raga.

Savira berhenti lalu menatap Raga. Berpikir sejenak kemudian tersenyum.

"Oh ya aku lupa, bisa dibikin alasan." Savira merogoh sakunya dan mengambil ponselnya.

Ia mengarahkan kamera pada Raga dan mengambil beberapa gambarnya.

"Buat apaan?" tanya Raga.

"Bukti, biar mereka percaya. No pic hoax." Savira kemudian mengirimkan gambar tersebut pada manajernya. "Kita bisa makan soto dulu buat sarapan," desahnya sambil meregangkan tubuhnya yang pegal.

"Harusnya kamu jangan ganti baju dulu," ucap Savira menoleh ke belakang.

"Bajunya mahal, kalau rusak aku gak bisa ganti," jawabnya membuat Savira terkekeh.

"Habis ini kamu kuliah?" tanya Savira.

"Gak, kayaknya aku mau keluar aja."

"Kenapa?!"

Raga diam.

"Gara-gara telat?"

"Bukan, aku mau kerja aja," balasnya pelan.

**

Savira dan Raga makan soto di warung tenda di pinggir jalan sambil melihat kendaraan yang lalu lalang. Keduanya berkutat dengan mangkuk dan kuah soto yang tinggal tersisa beberapa sendok saja.

Sejak mereka makan, mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Seperti orang asing yang tak sengaja bertemu kemudian makan bersama.

"Kira-kira aku kapan dapat bayarannya?" tanya Raga yang langsung membuat Savira tersedak.

"Kamu masih kerja sebentar, udah nanyain gaji, kenapa?"

"Aku mau cari kos-kosan."

"Kamu kan punya rumah."

"Itu bukan rumah."

"Terus apa kalau bukan rumah? Istana?"

"Kalau begitu aku tinggal di rumah kamu dulu sampai aku punya gaji boleh gak?" Ah, Raga sama sekali tidak mendengarkan apa kata Savira.

"Kamu tau gak cewek yang nuduh kamu maling itu, dia juga tinggal sementara di rumahku. Masa' sekarang kamu juga mau tinggal di sana, gila aja."

"Gak gila sih, kan kamu mau nolong aku. Sampai gajiku keluar aja."

"Nanti aku bisa jadi babu kamu kok."

Savira terkekeh.