webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Debaran Aneh

"Baru juga satu hari, nanti kalau semuanya udah beres. Kamu pindah ke sini ya."

Raga langsung salah tingkah meskipun dia sudah menduga jika ibunya akan menyuruhnya pindah. Sebab ia ingat kalau alasan Raga keluar dari rumah lamanya adalah karena ayahnya. Dan kini sudah tidak lagi ayahnya di apartemen ibunya.

"Kapan sidang cerai dilakukan, Bu?" tanya Raga. Dia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ibunya. Yah, setidaknya jangan membahas masalah kepindahan itu dulu.

"Nanti ibu dikabarin sama pengacara ayah kamu."

"Kayaknya dia senang kalau bisa cerai dengan Ibu," gumam Raga.

"Tapi ibu takut kalau nanti dia bawa kamu," sahut ibunya. Ia menyesap teh yang baru saja dia buat sampai tandas. Matanya sesekali melirik ke arah Dina.

"Kenapa harus takut, lagian Raga pasti maunya tinggal sama ibu." Raga kemudian berdiri, dia ingin melihat-lihat apartemen ibunya.

Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Sebenarnya dia sudah bisa menebak jika ayahnya pasti akan memberikan kompensasi perceraian untuk ibunya tidak banyak.

Mengingat jika ayahnya itu sangat perhitungan jika mengeluarkan uang untuk ibunya.

"Ibu kenapa dulu mau nikah sama ayah?" tanya Raga tiba-tiba. Ibunya tampak rikuh apalagi ketika Dina memandang wajahnya.

Raga sendiri tahu kalau keluarga dari ayahnya sama sekali tidak ramah dengan ibunya. Mereka memang menyukai Raga karena dia adalah anak lelaki, tapi masalah ibunya. Mereka seperti tidak menganggap keberadaannya.

Menjadikannya seperti pembantu jika ada acara keluarga dan menganggapnya tidak ada ketika mereka sedang berkumpul. Sama sekali kenangan yang sama sekali jauh dari kata indah. Dan Raga yakin jika ibunya sekarang sudah bebas.

"Raga pulang ya Bu," pamit Raga.

"Kamu bawa makanan yang udah ibu masak deh." Ibunya berdiri dan menuju meja makan. Ia bersiap memasukan makanan yang sudah ia masak untuk anaknya itu.

"Gak usah Bu."

Dina menghampiri Raga dan menyuruhnya untuk jangan menolak pemberian dari ibunya, karena itu bisa melukai perasaannya.

"Udah bawa aja, besok kan bisa diangetin lagi," bisik Dina.

Dan atas saran dari Dina akhirnya Raga menerima makanan yang diberikan ibunya untuknya.

"Kapan-kapan ibu main ke tempat kamu," ucap Rosma.

Hal yang sangat ingin ia hindari. Bagaimana kalau ibunya tahu jika dirinya sebenarnya tinggal satu rumah dengan dua orang wanita? Bukan di sebuah kos.

"Iya." Raga menjawabnya sedikit ragu. Tapi yang terpenting sekarang adalah dia menjawabnya dan tidak membuat ibunya kepikiran.

**

Savira membuang napasnya ketika dia sampai di atap tempat kamar Raga.

Di atas sana dia membawa cemilan dan minuman untuk dia nikmati bersama angin malam. Padahal sebelumnya dia belum pernah melakukan hal itu karena atap hanyalah untuk menjemur pakaiannya saja.

Ketika melihat baju Raga tergantung di luar, ia meraihnya kemudian memasukan ke dalam kamar Raga.

Sekilas dia melihat kamar lelaki itu sangat rapi dan tercium wangi parfum aroma mint.

"Bagus deh, gak kayak kamar gembel," gumam Savira. Ia kemudian buru-buru keluar dari kamar Raga.

Duduk di sebuah bangku panjang, ia membuka ponselnya. Sebuah postingan terbaru dari Doni membuat matanya menyipit malas.

Ia kali ini sedang berfoto dengan seorang wanita tetapi bukan Gadis.

"Wah mangsa baru lagi," gumam Savira.

Anehnya, bahkan sampai sekarang dia belum berhenti mengikuti akun sosial media dari lelaki itu. Mungkin dia tak ingin dibilang kalah atau mungkin ingin tahu kabar dari lelaki tersebut.

Dan kini Savira sudah saling mengikuti di akun sosial dengan Raga. Seorang lelaki yang memiliki pengikut yang mencapai angka ratusan ribu itu.

"Kalau ganteng kayaknya udah beda level." Savira menscrool foto-foto Raga dan tanpa sengaja dia menekan tombol hati dipostingan tiga tahun yang lalu.

Matanya membulat kemudian dengan gegas dia menekan tombol itu lagi.

"Lagi ngapain?" tanya Raga yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Savira.

Savira terkejut dia hampir saja membuang ponselnya karena kaget.

"Oh—nyari angin malam," jawab Savira.

"Udah tua nanti masuk angin," ledek Raga.

"Sialan."

Raga duduk di samping Savira, ia mengambil susu kotak yang diulurkan oleh Savira.

Bukan soda tapi susu kotak.

"Wajah kamu udah gak apa-apa kan?" tanya Savira. Ia menoleh ke wajah Raga, kemudian meneliti wajah lelaki itu. Jarinya memegang dagu Raga dan memiringkannya berulang kali untuk memastikan kalau wajahnya sudah lebih baik dari kemarin.

"Mata masih dua, bibir masih ada, pipi masih ada, bagus," gumam Savira.

Raga yang diperlakukan seperti itu diam saja kemudian malah terkekeh karena Savira mengecek wajahnya seperti mengecek barang belanjaan.

"Ibuku kapan-kapan mau ke sini," ucap Raga tiba-tiba. Membuat susu yang ada di mulut Savira langsung meluncur bebas.

"Jorok," dengus Raga.

Savira melirik ke arah Raga dengan bibir masih belepotan susu rasa vanilla.

"Terus?" tanya Savira.

"Ya gak terus-terus, bilang aja aku ngekos di sini."

Mata Savira mendelik menatap Raga, itu artinya dia harus berbohong pada ibu Raga.

"Ibuku masih muda, tenang aja mungkin dia gak akan sekaku yang kamu pikirkan."

"Berapa emang?"

"Tiga puluh tujuh tahun."

Mata Savira membulat sempurna, lagi-lagi dia terkejut. Dan untung saja di dalam mulutnya tidak ada susu lagi.

"Tunggu dulu—jadi, ibu kamu hamil kamu pas umur 17 tahun?"

Raga mengangguk.

"Wah! Hebat, aku yang udah umur tiga puluh aja belum hamil," decaknya kagum.

"Kamu mau hamil sama siapa? Pacar aja gak punya." Raga mengambil jaring laba-laba yang entah mengapa ada di rambut Savira.

"Bukan itu maksudnya."

"Makanya nikah."

Savira diam.

Ia mendesah malas, kemudian membaringkan tubuhnya di atas kursi panjang itu. dengan kaki yang masih menjuntai ke lantai.

Raga menatapnya dari samping dan melihat wajah perempuan itu sangat lama.

Ia langsung mengalihkan pandangannya ketika Savira menoleh ke arahnya.

"Kalau kamu bisa pura-pura jadi pacar Dina—apa kamu gak bisa pura-pura juga jadi pacarku?" tanya Savira asal.

Dia sudah putus asa dengan keinginan ibunya itu, bahkan sampai sekarang saja dia tidak ada keinginan untuk dekat dengan lelaki.

"Kenapa? Kamu disuruh nikah?"

Savira mengangguk.

"Aku terlalu muda buat kamu, mana mungkin ibu kamu percaya," ucap Raga santai tapi mengandung bahan ejekan dalam kalimat itu.

Savira yang mendengarnya tidak terima, dan mengelitik pinggang Raga dari tempatnya.

Lelaki yang bernama Raga itu ternyata memiliki tingkat sensitif yang sangat tinggi. Sampai dia harus tertawa keras karena sentuhan yang diberikan oleh Savira untuknya.

"Oke, maaf. Aku gak suka diginiin," kata Raga menyerah masih dengan tawanya yang mengekor.

Savira melepaskan tangannya, kemudian dia berusaha bangkit dari tempatnya.

Ia duduk kemudian menatap Raga sangat lekat. "Kamu bisa kan dandan kayak om-om," bisik Savira.

Raga balas menatap wajah Savira. "Tapi aku gak mau tuh," balasnya masih dengan berbisik.

Tanpa sadar jarak antar keduanya sangat tipis, mungkin beberapa senti lagi hidung Raga bisa menyentuh hidung Savira.

Mata Savira menatap manik yang berwarna cokelat milik Raga, pipinya memerah ketika Raga balas menatap mata Savira.

"Argh! Ini gila!" Savira langsung bangkit dari duduknya kemudian pergi menjauhi Raga.

Lelaki itu tidak tahu kalau jantung Savira hampir saja copot dari tempatnya gara-gara tatapan matanya.