webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Urban
Not enough ratings
371 Chs

Perasaan yang Aneh

Besoknya, Savira yang siang itu seharusnya masih ada di tempat kerja entah mengapa mendadak pulang ke rumah dan membuat kehebohan di rumahnya.

Dengan membawa sebuah buku yang lebih mirip seperti sebuah majalah ia langsung memanggil Raga.

"Raga! Raga! Ragaaa!!!" teriaknya histeris.

Ia lebih mirip seperti habis memenangkan sebuah lotre saat itu. Sampai akhirnya bukan Raga yang turun tapi malah Dina yang keluar dari kamarnya dengan wajah yang masih mengantuk.

Maklum dia akan masuk siang hari itu.

"Kenapa sih Mbak?" tanya Dina, ia mengucek matanya dan mengumpulkan nyawanya akibat suara teriakan Savira.

"Oh, maaf Din. Aku terlalu seneng soalnya," jawab Savira ia masih berdecak senang.

Lalu Raga turun dari lantai atas dan sepertinya dia juga sedang tidur siang hari itu.

"Apaan? Kamu menang undian apa gimana?" tanya Raga.

Ia mendekati Savira, dan melihat apa yang hendak ditunjukkan oleh wanita itu.

"Lihat nih!" Savira menunjukkan foto Raga yang diambil satu Minggu yang lalu dan saat ini sudah terbit.

"Lihat dong!" kata Savira lebih bersemangat.

"Iya ini udah liat kok."

"Kamu gak seneng?"

"Iya seneng."

"Kok gak kaget kayak aku?!" Savira sewot sendiri padahal dia mengira kalau Raga juga akan berteriak histeris kenorak-norakan seperti dirinya saat ini.

"Lah masa aku kaget liat mukaku sendiri," gumamnya. Ia melihat fotonya yang sedang mengenakan kaus yang habis digigit tikus. Tapi tidak buruk juga apa karena efek kamera dan make up yang membuatnya seperti seorang model profesional.

"Kan? Bagus kan?" goda Savira.

"Iya."

"Kerja bagus," puji Savira.

Raga kemudian memeluk Savira tiba-tiba membuat tubuh Savira membeku. Sayangnya dia tak bisa menolak perlakuan itu dari Raga.

Berbeda dengan Dina, dia sama sekali tidak suka dengan pemandangan yang ia lihat saat ini.

"Terima kasih, karena udah buat aku jadi begini," ucap Raga pelan.

Savira yang masih kikuk diam saja, perasaan hangat itu tiba-tiba menggelenyar di hatinya. Perasaan yang sudah lama tidak ia dapatkan. Bahkan dengan Doni, ia tidak bisa merasa seperti ini.

"Kalau makasih traktir aku dong?!" Savira mengurai pelukannya dan mengusap lembut rambut Raga.

Kali ini Raga tidak menolaknya dan diam saja menerima perlakuan dari Savira.

"Udah ah, aku mau balik," kata Savira santai. "Dina tidur aja, maaf ya udah ganggu tidurnya."

Dina langsung tersenyum meskipun itu pura-pura.

"Aku anterin!" cegah Raga.

Savira menoleh. "Serius?" tanya wanita itu senang, setidaknya dia tidak akan mengeluarkan ongkos lagi untuk balik.

"Iya serius, kamu tunggu bentar aku cuci muka abis itu ganti baju."

Savira mengangguk, ia kemudian duduk di sofa dan mengelus wajah Raga yang ada di dalam majalah tersebut.

Dia merasa seperti baru saja melahirkan seorang anak. Rasa senang dan bangga itu ada di hatinya saat ini. Sebelum akhirnya pertanyaan dari Dina membuat Savira bengong.

"Mbak Vira suka ya sama Raga?" tanya Dina.

Bukannya kembali tidur, dia malah bertanya hal itu pada Savira.

"Kok kamu tanya begitu?"

"Tadi, abisnya waktu dipeluk sama Raga mbak Vira diem aja. Kayaknya nyaman banget sama Raga."

Savira jadi salah tingkah. Dia sendiri juga tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti itu padahal bisa saja tadi dia menolaknya tapi dia tidak bisa. Atau mungkin tak ingin.

"Ya—nyaman kayak perasaan kakak sama adik," sahut Savira asal.

"Iya sih, mbak Vira udah keliatan kayak kakak buat Raga tadi," kekeh Dina. "Gak keliatan kayak pasangan kekasih." Tawanya terdengar dibuat-buat.

"Padahal hari ini aku mau diantar sama Raga," gumam Dina. Membuat Savira menjadi tak enak hati.

"Loh? Serius? Aku gak tau Din."

"Ayo tante!" seru Raga dia mengambil kunci motornya di atas buffet samping tangga. Dan menghampiri Savira.

"Ga, kamu mau nganterin Dina ya, kok mau nganterin aku juga."

Raga menatap Dina. Kemudian memandang wajah Savira. "Dia kan masih masuk jam tiga, dan sekarang masih jam setengah satu," sahut Raga. "Emangnya aku naik becak nganterin kamu sampai dua jam," lanjutnya lagi.

"Bener juga," gumam Savira.

"Udah ayo, nanti telat potong gaji lagi." Raga menarik lengan Savira yang masih mematung. Sementara wanita itu menatap tak enak pada Dina.

"Kayaknya Dina suka sama kamu ya?" tanya Savira ketika dia mengenakan helmnya. Tapi sialnya dia malah kesusahan memakainya.

Dibantu oleh Raga, tangan lelaki itu dengan cekatan memakaian helm untuk Savira.

"Semua cewek pasti suka sama aku, jadi aku biasa aja," jawabnya asal.

Savira langsung merengut kesal. "Pede banget jadi cowok."

Raga malah tertawa. Setelah itu dia menarik gasnya menuju kantor Savira.

Tangan Savira awalnya ragu-ragu ketika hendak memeluk pinggang Raga dari belakang. Ia takut kalau sampai Raga salah mengartikan hal itu atau salah paham.

Namun ketika melihat tangan Savira malah memegang bagian jok tersisa di bagian belakang itu malah tampak membuatnya aneh.

Tangan Raga menarik tangan Savira kemudian meletakkannya di pinggangnya.

"Aku bukan tukang ojek," katanya tapi tidak terlalu jelas.

"Ya—takut kamu tar deg-degan kalau aku peluk," sahut Savira malu-malu.

"Mana ada aku deg-degan sama tante-tante."

Dan cubitan kecil itu didapatkan pinggang Raga sampai lelaki itu mengaduh kesakitan.

Setengah jam kemudian mereka sampai di kantor Savira. Untung saja tidak macet siang itu.

"Mau kujemput gak?" tanya Raga.

"Nanti aku ada makan malam sama temen-temen," jawab Savira sambil menyerahkan helmnya pada Raga.

"Jadi kamu pulang cuma mau ngasih tau tadi doang?"

Savira mengangguk.

"Kayak anak kecil."

"Katanya kayak tante-tante."

Raga hanya mengulum senyumnya, sebelum akhirnya Savira masuk ke dalam kantornya.

Temannya yang baru saja keluar dari lift meledek Savira karena ketahuan diantar oleh lelaki muda.

"Cie gebetan baru nih," ledek Ratna.

"Dia model yang aku rekrut lhooo."

"Tapi cocok tuh."

"Kamu udah makan?"

Ratna mengangguk. "Udah tinggal mau beli dessertnya aja."

Savira memegang perutnya sendiri, dia kelaparan setengah mati karena tadi bukannya makan siang tapi malah pergi ke rumah.

"Ratna! Aku ikut!" seru Savira. "Aku mau beli roti deh."

"Kamu diet apa lagi gak punya duit sih, dari kemarin perasaan beli roti mulu."

"Diam kamu?!" geram Savira, ia memang lagi dalam proses pengiritan karena uang gajiannya sudah menipis dan ia tak bisa mencongkel tabungannya lagi.

"Oh ya, manajer kita mau diganti, kamu tau gak?" tanya Ratna.

"Enggak."

"Besok dia dateng, katanya ganteng Vir. Masih single, gebet aja, kali aja kan jodoh."

Savira sih malas dengan kalimat seperti itu, karena yang sudah-sudah pasti ujung-ujungnya kandas di tengah jalan seperti belum lama ini.

"Udahlah, aku gak percaya diri. Mending biarin aja kayak air mengalir." Savira berkata sambil memilih-milih roti di etalase.

"Air mengalir sama umur semakin tua itu beda lho," ledek Ratna.

"Aduh!" Savira mengaduh ketika dia tanpa sengaja menubruk seseorang di sampingnya.

Lelaki dengan rahang yang tegas itu menatap Savira, mulai mengingat-ingat hingga kemudian dia menyebut namanya.

"Kamu Savira kan?"

"Rafael?"

"AKU RATNA!" serunya kemudian berdiri di samping Savira.