webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Cowok Brengsek

Setelah dua jam berkutat dengan ruangan barunya, akhirnya kamar itu sudah bisa digunakan meskipun alas tidur untuk Raga hanyalah tikar tipis yang diberikan oleh Savira untuknya.

"Besok kamu bisa beli kasur kalau udah ada uang," ucap Savira.

"Terus—" Savira hendak mengatakan sesuatu pada Raga tetapi ragu.

"Kenapa?"

"Itu—masalah kamu." Savira takut jika dia mengatakan hal tersebut akan membuat Raga menjadi salah paham padanya. "Ah lupain aja." Savira tidak jadi mengatakannya kemudian hendak turun dari lantai atas.

"Kamu pasti nyuruh buat aku gak berhenti kuliah kan?" tebak Raga sambil memandangi punggung Savira.

"Iya, sayang banget kamu udah kuliah selama ini. Cuti aja dulu kalau emang ada masalah."

Raga diam. Sudah dua orang yang mengatakan hal ini padanya. Mungkin dia harus mengambil cuti kuliah untuk sementara waktu.

"Tapi terserah kamu, aku cuma ngasih saran aja sama kamu."

**

Keesokan harinya—Raga sudah sampai di depan hotel tempat Savira hendak bertemu dengan lelaki yang dikenalkan oleh Rico padanya.

"Mau aku tunggu—apa pulang sama dia?" tanya Raga ketika Savira melepaskan helmnya.

"Aku gak tau lama apa enggak sih, atau kalau gak kamu pulang aja dulu deh. Nanti aku telepon kamu kalau udah selesai."

Raga hanya mengangguk kemudian meletakkan helm yang digunakan oleh Savira tadi di atas tangki motornya.

"Ga, aku cantik gak?" tanya Savira sambil mengedipkan kedua matanya dan membuat Raga bergidik ngeri.

"Lumayan," jawabnya tak ikhlas.

"Yah, kalau aku cantik banget pasti kamu bakalan suka sama aku dari pertama ketemu," gumamnya tak peduli kemudian masuk ke dalam hotel.

Raga hanya tersenyum ketika wanita itu membalikkan badannya.

Savira menarik napasnya dalam-dalam ketika hendak masuk ke dalam area restoran. Pandangannya terus ia edarkan sambil mencari lelaki yang dikirim Rico untuknya.

Rico sama sekali tidak mengirimkan foto temannya tersebut. Dia hanya mengatakan jika nama temannya adalah Ardi. Dan dia sedang mengenakan jaket denim seperti yang Dilan pakai.

Lama tak menemukan bayangan tersebut. Akhirnya Savira mendapati seorang lelaki sedang duduk dan memainkan ponselnya.

Savira bergerak menuju meja tersebut guna menyapa lelaki itu. Dan di mata Savira, lelaki itu tidak terlalu buruk juga untuk ia perkenalkan pada ibunya nanti.

"Ardi ya?" tanya Savira ketika dia sudah ada di samping meja Ardi.

Lelaki itu mendongak kemudian berdiri. Ia tersenyum sambil menjabat tangan Savira.

"Iya aku Ardi," jawabnya. "Aku baru aja minta nomor sama Rico, kirain kamu bakalan lupa sama janji sore ini."

"Oh enggak kok," sahut Savira cepat-cepat.

Lalu keduanya memulai perbincangan dari ringan sampai berat. Savira merasa nyambung dengan lelaki yang ternyata seumurannya tersebut.

Ia tidak tahu kalau Rico memiliki teman yang tidak tua sepertinya. Ya, Rico tidak terlalu tua sih, hanya berbeda beberapa tahun dari Savira.

Namun semuanya ternyata tak sebaik yang Savira bayangkan.

"Aku ke toilet sebentar ya," ucap Ardi. Ia berdiri tiba-tiba bahkan ketika makanannya belum ia habiskan.

"Iya, silakan," kata Savira.

Dia sama sekali tidak curiga pada lelaki itu sampai dia menerima sebuah pesan dari Ardi yang mengatakan kalau dirinya kini sudah dalam perjalanan pulang.

"Vira, ini aku Ardi. Maaf aku pulang duluan ya, kayaknya ini tadi adalah pertemuan kita yang terakhir. Kurasa aku gak cocok sama kamu." Itu adalah bunyi pesan yang dikirimkan oleh Ardi untuk Savira.

Savira wajahnya menegang. Ingin marah tapi tak tahu pada siapa. Ia malu setengah mati mengalami penolakan yang menyakitkan seperti saat ini.

Memangnya kenapa dengan dirinya? Perasaan tadi obrolan mereka nyambung? Apa karena Savira tadi sedikit tidak mengerti dengan pekerjaan Ardi, makanya dia mengatakan hal barusan?

Savira menghabiskan makanannya karena mahal. Lagian semua makanan sudah dibayar oleh Ardi, jadi sayang kalau sampai tidak ia habiskan.

Di sana sendirian selama satu jam, akhirnya Savira keluar dari restoran tanpa menghubungi Raga.

Rasanya dia malu jika lelaki itu bertanya padanya bagaimana kencannya di restoran tadi.

Namun niatnya untuk menghindari malah tak bisa karena Raga sudah ada di atas motornya berada tak jauh dari hotel itu berada.

Motornya ia lajukan menghampiri Savira yang berwajah murung itu.

"Ayo pulang," kata Raga, dia tidak mengatakan apapun pada Savira.

"Kamu gak pulang?"

"Aku nunggu di sana tadi, kalau pulang takut males," jawabnya.

"Mau makan gak?"

"Masih laper ya?"

"Iya."

Menu restoran tadi mahal, tapi porsinya sedikit. Lebih enak jika makan mie ayam bakso di warung yang berada tak jauh di perumahannya.

Raga tidak bertanya apa-apa, apalagi ketika Savira lebih memilih untuk diam dan tak menceritakan apa yang sedang terjadi tadi.

Dia hanya memakan mie ayam dengan sambal yang cukup banyak untuk ia tuangkan ke atas mangkuknya.

"Itu—emang gak pedes?" tanya Raga.

"Gak, paling enak itu pedes."

"Nanti perut kamu sakit."

"Gak apa-apa, daripada hati yang sakit."

"Kenapa? Apa gak berjalan lancar?"

Savira diam.

Raga juga diam. Mungkin Savira benar-benar tak ingin mengatakan sesuatu padanya.

Hingga sampai rumah pun, dia diam dan bertemu dengan Rico yang kebetulan hendak mengunjunginya.

"Hai Vir!" sapa Rico sambil melambaikan tangannya pada Savira ketika turun dari mobil.

Namun dia diabaikan. Senyumnya langsung luntur gara-gara Savira mengabaikannya.

"Kenapa sih? Vir!" panggilnya.

Ia mengikuti Savira di belakangnya. Kemudian bertanya apa yang sedang terjadi pada kencan butanya tadi.

"Kamu kayaknya sengaja ya, nyuruh temen buat balas dendam."

"Bales dendam? Maksudmu apa?"

"Tanya aja sama temen kamu itu!" Savira langsung masuk kemudian menutup pintunya.

Ia terbengong-bengong ketika melihat Raga dengan santainya masuk ke dalam.

"Kenapa kamu masuk ke dalam?" tanya Rico tak mengerti.

"Aku? Aku tinggal di sini," jawabnya.

Lagi-lagi Rico dibuat terperangah oleh kedua orang itu. Dia tidak tahu kalau ternyata Savira sekarang menjadi landlord di rumahnya sendiri.

"Pasti Ardi macem-macem," gumam Rico ia langsung menghubungi temannya itu dan memakinya.

**

Sejak sore tadi Savira tidak keluar dari kamarnya. Bahkan ketika makan malam tiba, wanita itu sama sekali tidak tertarik untuk bergabung makan dengan Dina dan Raga.

"Dia belum keluar dari tadi?" tanya Raga cemas.

Dina mengangguk.

"Coba kamu panggil."

"Udah."

"Apa katanya?"

"Gak mau makan."

Raga memandangi kamar Savira, kenapa juga dia harus patah hati dengan lelaki yang bahkan belum dikenalnya itu.

Tetapi mungkin saja sepele, tapi sebenarnya itu cukup memalukan karena Savira yang ditolak. Bukan dia yang menolak.

Raga pun tak bisa tinggal diam dan memutuskan untuk mengetuk kamar Savira.

"Tante, makan dulu," ucap Raga. Tapi tak ada sahutan dari dalam.

"Tan!"

Lalu ketika panggilan itu sudah yang ke lima kalinya baru Savira keluar dari dalam kamarnya dengan wajah yang pucat.

"Tante!!" seru Raga panik.

"Ga, perutku sakit banget," rintih Savira sambil memegang perutnya.