webnovel

Tak Selalu Memiliki

Hospital

Karina POV

"Arjuna tidak cocok untukmu."

Ucapan Juan membuatku mengalihkan perhatian dari ponsel.

Aku menampilkan raut bosan saat balas menatapnya.

"Kalau tidak salah ingat, aku sudah pernah bilang kalau hubunganku dengan orang lain bukan urusan kamu."

"Aku hanya menyampaikan pendapat. Orang sempurna seperti kamu harus mendapatkan orang yang sempurna juga. Dia tidak kelihatan sempurna di mataku."

Aku tidak jadi menghubungi Ka Rangga. Aku menggenggam erat ponsel supaya tidak melemparnya ke arah kepala Juan.

"Aku tahu orang seperti apa yang cocok untukku." Waktu enam tahun ternyata sudah mengubah laki-laki itu menjadi tukang sindir yang nyinyir. Dia tidak pernah bicara dengan nada dan ekspresi seperti itu selama hubungan kami. "Aku tidak butuh orang sempurna. Aku hanya perlu orang yang mencintai dan menerimaku apa adanya tanpa merasa dipaksa. Wanita serius yang kerjaannya mencatat dosa dan kesalahan orang lain pasti tidak gampang disukai orang. Aku cukup beruntung ada yang tidak melihatku seperti itu."

"Kita kembali ke situ lagi, kan?" Juan berdiri dan melangkah ke arahku sehingga aku spontan mundur dan masuk ke suatu ruangan di rumah sakit. "Aku pikir waktu enam tahun sudah cukup untuk mengendapkan kemarahanmu, jadi bisa melihat semua masalah secara lebih objektif. Waktu itu aku kelelahan, Rin. Perjalanan beberapa hari tidak putus mengurus energi. Badan aku rasanya beneran tidak enak. Aku belum lama tidur setelah kamu datang saat ibumu nelepon dan kembali mengulang ceramahnya tentang bagaimana cara menjadi pasangan yang cukup baik untuk kamu. Ceramah yang tidak bosan dia ulang-ulang seolah-olah aku memang seburuk itu. Aku bohong kalau aku bilang tidak muak terus dianggap tidak pantas. Saat marah, kita terkadang mengatakan hal-hal yang tidak bermaksud kita ucapkan."

"Saat marah, kita cenderung jujur mengungkapkan unek-unek. Kamu memang menganggapku perempuan serius. Itu tidak bohong!" Kalau dia mau bertengkar sekarang, aku tidak akan mundur. Lahar kemarahan di dalam dadaku yang sudah sekian lama kupendam siap menghambur keluar.

"Kamu memang orangnya serius, Rin. Terutama untuk orang yang belum kenal kamu dengan baik. Kamu serius dan tidak pernah melakukan kesalahan. Sempurna. Semua ide yang kamu usulkan sama aku untuk dijalankan selalu berhasil. Kegagalannya nol persen."

Aku tidak mau mendengarnya bicara. Rasanya sangat tidak nyaman mengingat hal-hal yang kami lakukan.

"Aku tahu kalau aku bukan tipe kamu, tapi kamu tidak harus menyebutku sebagai malaikat pencatat dosa."

Juan kembali maju sehingga aku juga ikut mundur.

"Apa kamu tidak merasa kalau sebelum kita sama-sama, kamu selalu melihatku dengan pandangan menilai seolah membuat catatan tentang semua kesalahan yang aku buat? Tidak ada orang yang melihat dan mengkritikku seperti kamu."

Juan semakin dekat, dan aku tidak bisa mundur lagi karena punggungku sudah menabrak tiang.

"Kamu selalu membanggakan diri sebagai penilai karakter yang baik, seharusnya kamu bisa menilai apakah aku tulus sama kamu setelah kita bersama atau tidak."

Aku nyaris tertawa. Beraninya dia bicara soal ketulusan denganku.

"Niat awal kamu saat mendekatiku sama sekali tidak tulus, jadi jangan bicara soal ketulusan di depanku. Kamu bilang kamu tertarik sama aku!"

"Kalau aku bilang aku mendekati kamu karena Ayahku yang meminta, apa kamu akan mau? Jelas tidak. Kamu pasti langsung menduga kalau itu Ayah lakukan untuk memata-mataimu."

"Kamu memanipulasiku!"

"Aku sudah minta maaf, Rin. Aku memang salah soal itu. Tapi itu cara masuk akal untuk mendekati kamu tanpa membuat kamu merasa curiga."

"Mundur!" Juan berdiri terlalu dekat denganku. Aku jadi bingung harus mengatakan apa lagi, fokusku berceceran.

"Tidak! Sekarang kamu harus mendengarku bicara."

Kami tidak bisa bicara dengan posisi seperti ini. Tidak menguntungkan untukku. Aku lantas mendorong dadanya menjauh. Juan bergeming. Dia jelas bukan lawanku kalau beradu fisik.

"Kalian sedang apa?" Suara Ibunya Juan dari pintu membuat kami serentak menoleh.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Juan sekali lagi. Kali ini aku berhasil, karena dia tidka berkeras menghalangiku lagi. Lebih baik memasang jarak sejauh mungkin supaya dia tidak tahu kalau kedekatan kami secara fisik memengaruhi kinerja otakku dalam berpikir.

"Kami hanya bicara," Juan menjawab Tante Anita lebih dulu.

"Bicaranya bisa sambil duduk diluar seperti orang normal, kan? Kamu tidak perlu desak Karina sampai dia tidak bisa bergerak gitu. Yang ada juga kamu malah bikin dia risih. Lagian, ekspresi kamu tidak seperti orang ngajak bicara baik-baik."

"Tante dari mana?" Aku buru-buru masuk dalam percakapan supaya Juan tidak menjawab lagi.

"Kami baru saja mengurus pemakaman untuk bayi Rafa."

"Juan ikut pulang besok?" Ka Rangga yang sejak tadi berdiri saja ikut bicara.

"Aku pulang lusa saja," jawab Juan.

"Kamu pulang besok," sela Tante Anita. "Kita sama-sama pulang besok."

"Aku bisa pulang sendiri Mommy."

Tante Anita berdecak. "Tidak boleh ada banyak orang dirumah sakit. Lagian, persiapan pernikahan Anika dan Dara harus segera diurus setelah masa berkabung selesai."

"Tapi, Mommy...."

"Kamu pulang besok!" Tante Anita mengibas dan melihat ke arahku. "Ikut Tante keluar, kita harus bicara."

Aku langsung membuntuti Tante Anita tanpa berkata apa-apa. Bersama Tante Anita ribuan kali lebih baik daripada dikurung Juan seperti tadi. Untung saja, Tante Anita tidak salah paham karena posisi kami kalau dilihat sepintas lebih mirip pasangan yang bersiap make out daripada berbicara.

Aku menyusul Tante Anita duudk di kursi tunggu rumah sakit.

"Hubungan kamu sama Arjuna bagaimana?" Tante bertanya tanpa basa-basi. "Tante tidak bermaksud ikut campur. Tante hanya bertanya sebagai ibu mertua kakakmu."

Aku menggeleng cepat. "Hanya teman saja, Tante. Tidak lebih."

"Dia kelihatannya baik."

Arjuan memang baik, tetapi aku memilih tidak menjawab.

"Kamu pernah dekat dengan orang lain lagi setelah berpisah dengan Juan?"

Aku buru-buru menggeleng lagi. Boro-boro punya hubungan dengan orang lain, move on saja masih dalam wacana. Aku tidak akan menggunakan orang lain untuk mengatasi sakit hati dalam kesepian. Aku tahu sakitnya dipermainkan, jadi aku tidak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain.

"Mungkin memang sudah saatnya kamu mencoba. Gagal dengan Juan bukan berarti kamu juga tidak bisa bahagia dengan orang lain. Hubunganmu dengan Juan itu karena ada campur tangan keluarga. Kalau hubungan baru kamu berdasarkan keputusan dan pilihan kamu sendiri, kemungkinan berhasilanya pasti jauh lebih besar."

Dulu aku memilih Juan murni dari hati juga. "Tapi aku dan Arjuna beneran hanya teman untuk sekarang, Tante."

"Tante tidak bicara soal Arjuna saja. Maksud Tante, hubunganmu dengan siapa saja yang kamu pilih nanti."

Aku diam saja.

"Tante hanya mau kamu bahagia, Rin. Tante sudah pernah merusak hidupmu dan kakakmu, dan Tante belum bisa lega kalau belum melihat kamu bahagia."

"Aku bahagia sekarang, Tante." Aku suka apa yang kukerjakan sekarang. Kebahagiaan tidak diukur dari punya pasangan atau tidak, kan?

"Tante mau kamu lebih bahagia daripada sekarang. Tidak ada kebahagiaan yang melebihi daripada menjadi seorang ibu untuk perempuan. Punya anak mungkin merepotkan, tapi rasanya tetap luar biasa, karena hanya kepada anka saja kita bisa memberi semua yang kita miliki tanpa pamrih. Kita masih memikirkan pamrih pada pasangan, atau orangtua sekalipun, tapi pada anak, kita tidak akan berhitung, Rin. Tante dulu berharap bisa menimang cucu juga dari kamu dan Juan, tapi kenyataannya malah seperti ini. Jadi Tante harus ikhlas mendapat cucu dari kalian berdua dengan pasangan masing-masing. Tidak apa-apa. Cucu Tante bisa lebih banyak, kan?"

Pernyataan Tante membuat aku bertanya-tanya. Apakah Juan sudah bersama seseorang sekarang? Siapa, Nisya? Melihat gelagat Tante yang berusaha menjauhkan Juan dariku sejak aku disini, sepertinya memang begitu. Namun, aku tidak mau bertanya. Tidak ada gunanya juga, kan?

Sebagai sesama perempuan, aku yakin Tante Anita juga tahu kalau aku mencinta Juan dulu. Menanyakan status Juan itu akan membuat Tante tahu aku masih menyimpan perasaan itu. Aku ingin Tante Anita menangkap kesan bahwa aku sudah melanjutkan hidup dan menganggap episode Juan tidak lebih daripada sekedar masa lalu.

"Kalau sudah bertemu orang yang tepat, aku pasti akan menjalani hubungan yang serius, Tante. Aku harus yakin dulu orangnya tepat."

"Kamu harus yakin pada perasaanmu, Rin, bukan pada orang itu. Kamu yang bertanggung jawab untuk kebahagiaanmu, bukan orang lain."

Itu bagian yang sulit. Aku harus menghilangkan perasaanku yang sekarang dan menumbuhkannya untuk orang lain. Perasaanku urusanku dengan hatiku sendiri, tidak perlu aku akui pada Tante Anita. Semua orang punya perdebatan dengan nurani.

To Be Continued