webnovel

Operasi

Jakarta

Author POV

Sultan tidak pernah merasakan rasa sakit seperti yang dia alami sekarang. Tangannya mencoba membuka pintu mobilnya. Kenangan-kenangan bersama Hara bermunculan di benaknya. Sultan memandang dirinya sendiri di kaca jendela mobilnya. Lalu dia menyadari sesuatu. Dia bisa meninggalkan mimpinya sebagai perancang perhiasan atau CEO walaupun dia akan menderita kalau sampai melakukannya. Tapi dia tidak bisa meninggalkan Hara. Dia tidak akan mampu bertahan. 

Kalau Hara tidak menyukainya, Sultan akan membuat Hara menyukainya lagi.

Sultan menyadari satu hal penting. Kalau harus memilih antara mimpinya dan Hara, dia tidak akan ragu memilih Hara. Dengan tekad baru, Sultan bergegas kembali ke restoran.

Sultan kaget melihat kerumunan orang di tempat dia meninggalkan Hara sebelumnya. Lalu dia melihat Hara tergeletak di lantai.

"Minggir!" teriaknya pada seseorang di sebelah Hara. Sultan mengecek denyut nadi di leher Laura. Masih berdenyut, tapi sangat lemah. "Telepon 

ambulans!" teriaknya pada Sarah.

Sarah langsung berlari menuju telepon.

"Hara, bangunlah," kata Sultan panik sambil berusaha menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu perlahan untuk menyadarkannya. "Jangan lakukan ini padaku, Hara.... Bangunlah!"

"Ambulans sedang dalam perjalanan," kata Sarah yang juga khawatir.

Sultan sedikit lega mendengar pemberitahuan dari Sarah. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada rembesan darah di bagian kaki kanan gaun Hara. Dengan cepat Sultan menyibakkan gaun Hara dan melihat luka panjang disana. Dari luka tersebut darah mengalir keluar. Sultan mencari-cari sesuatu. Dia bangkit berdiri dan mengambil serbet putih di meja makan, kemudian 

mengikatkanya ke bagian kaki Hara yang berdarah untuk menghentikan pendarahan sementara.

Sultan syok melihat kaki Hara yang berdarah dan bekas lukanya. Tatapannya menelusuri wajah Hara. Ia bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa lama Hara memiliki luka tersebut. Apa pun itu tampaknya luka itu cukup parah. Cukup parah sampai Hara tidak berani mengatakannya.

Ketika mobil ambulans datang, Sultan membiarkan petugas paramedis merawat Hara. Sultan ikut di mobil ambulans yang akan membawanya ke rumah sakit. Dia menelpon Anika dalam perjalanan dan memberitahukan keadaan Hara.

Anika benar-benar kaget dan mengatakan akan ke rumah sakit secepatnya.

Sultan menggenggam tangan Hara dengan khawatir. "Tolong, jangan tinggalkan aku, Hara...," bisiknya perlahan

***

Hospital

Kedua tangan Anika gemetar tak terkendali. Segera setelah Hara masuk rumah sakit, Adam langsung membawanya ke ruang operasi. Tak lama kemudian, Sarah dan keluarga Wardana datang dengan muka yang sama pucatnya dengan Sultan.

"Om, Apa yang terjadi?" tanya Satya gusar.

"Adam sedang mempersiapkan operasi," jelas Sultan. "Hara pingsan di restoran. Kakinya berdarah. Adam bilang padaku kakinya harus dioperasi."

Anika melihat bekas darah di pergelangan tangan Sultan.

"Om Adam melakukan operasi?" tanya Satya lagi.

Sultan mengangguk.

Anika dan Mika berpelukan menahan tangis di belakang Satya. Saat Dokter Adam akan memasuki ruang operasi, Anika menghentikannya.

"Apa yang terjadi pada Bunda, Om?" tanya Anika bingung. "Bukankah lukanya sudah sembuh?"

Dokter Adam berkata terus terang, "Hara belum mengatakan padamu tentang luka infeksi barunya?"

Anika menggeleng. "Bunda tidak mengatakannya."

"Ah, dia memang bilang mau mengatakannya besok," kata Dokter Adam. "Tapi aku harus mengoperasi kakinya lagi sekarang, Anika."

Anika menggengam tangan Dokter Adam. "Apakah kaki Bunda baik-baik saja?"

"Aku tidak tahu," sahut Dokter Adam. "Aku harus mengoperasinya dulu, baru bisa tahu sampai dimana infeksinya menyebar. Aku akan mencoba untuk menyelamatkan kakinya. Tapi kalau sudah terlalu parah, aku tidak punya pilihan lain selain mengamputasi kakinya."

Tubuh Mika langsung lemas. "Apa maksudnya, Dokter? Mengamputasi kaki Bunda?"

Devan jatuh terduduk. "Bunda Hara akan kehilangan kakinya," dia yang menjawab pertanyaan Mika.

Dokter Adam mengangguk.

"Tidak!" teriak Mika. "Bunda tidak bisa kehilangan kakinya. Tolonglah, Dokter, selamatkan kakinya."

"Aku akan berusaha semampuku, Mika," Dokter Adam berjanji. Dia benci harus memberikan kabar buruk kepada keduanya. Tapi saat ini dia harus berkonsentrasi menyelamatkan kaki Hara. 

"Aku akan menyelamatkan Hara."

Dokter Adam setengah berlari menuju ruang operasi. Setelah Dokter Adam masuk, lampu kamar operasi menyala.

Anika duduk di sebelah Sultan.

"Kau mau menceritakan padaku, bagaimana kaki Hara bisa mendapatkan luka separah itu?" tanya Sultan pada Anika tanpa memandangnya.

Anika menghela napas panjang dan mulai menceritakan semuanya. Akhirnya Sultan mengerti mengapa Hara berusaha menjauhinya selama ini.

"Om akan menjaga Bunda, walau apa pun yang terjadi, kan?" tanya Anika perlahan.

"Kau masih harus menanyakan hal itu padaku?" Sultan memandang Anika dengan tajam. Anika melihat kesungguhan di mata Sultan. "Aku akan menjaga Laura, apa pun yang terjadi."

Anika tahu dia tidak salah memilih pendamping untuk ibunya. Hanya Sultan Wardana yang bisa memberikan kebahagiaan untuk Hara.

Mereka terdiam sesudahnya. Waktu terasa berjalan lambat. Sebagian staf restoran sudah pulang. Hanya Sarah dan suaminya yang tinggal. Keduanya ingin menunggui Hara sampai operasinya selesai.

Operasi berjalan sangat lama. Anika menyuruh Mika dan Devan beristirahat terlebih dahulu, dan berjanji akan memberitahu mereka begitu Hara keluar dari ruang operasi. Setelah dibujuk berulang kali akhirnya keduanya beranjak pulang serta berjanji akan datang lagi dan menunggui Hara seusai operasi.

Waktu menunjukan pukul 03.00 ketika lampu kamar operasi dimatikan. Anika dan Sultan langsung bergegas mendekati pintu ruang operasi. Dokter Adam keluar dari sana.

"Bagaimana?" tanya Sultan tidak sabar.

***

Gwen POV

Jeritan itu takkan pernah dapat aku lupakan. Sampai kapan pun.

Sekejap aku melupakan Kasih. Sekejap aku melupakan segala-galanya.

Tubuh Rafa yang baru lahir itu tak pernah bergerak lagi. Matanya yang bening itu pun tak kunjung membuka meski aku meubruknya. Merangkulnya. Dan mengguncang-guncang tubuhnya sambil menangis. Menjerit-jerit memanggil nama anakku.

Jeritanku seakan-akan lenyap ditelan keramaian rumah sakit.

Tubuh Rafa dingin dalam pelukanku.

Tetapi mengapa Rafa diam saja? Mengapa tubuhnya tidak bergerak-gerak sama sekali walaupun aku sudah berteriak-teriak memanggil namanya?

"Jangan pergi!" jeritku histeris. "Jangan tinggallkan Bunda!"

Sesudah itu, semuanya menjadi gelap.

***

Author POV

"Dia sudah sadar."

Entah suara siapa yang didengarnya di dekat telinganya. Mula-mula hanya lapat-lapat. Makin lama makin jelas.

"Rafa!" rintih Gwen sambil mencoba membuka matanya.

"Dia memanggil anaknya lagi."

Ada suara lain. Bukan suara yang tadi. Banyak orangkah di sini? Mengapa dia tidak dapat melihat mereka?

"Kasihan," desis yang lain. Seorang wanita. Suaranya lembut. Bernada iba. "Sejak tadi dia mengigau terus. Memanggil-manggil anaknya."

"Lihat, dia sudah membuka matanya."

Gwen mengedip-ngedipkan matanya dengan heran. Ada sinar yang amat terang menyilaukan matanya. Dia terpaksa menutup matanya kembali. Di mana dia sekarang? Dan di mana Rafa?

Ingat Rafa, Gwen cepat-cepat membuka matanya kembali. Dan dia melihat mereka. Laki-laki dan perempuan yang mengelilingi dirinya. Salah satunya ada Rangga dan Suster yang sedang merawatnya.

"Rafa" Gwen mulai merintih lagi. Dibukanya matanya lebar-lebar. Ditatapnya mereka satu per satu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Di mana Rafa?" tangisnya lirih. "Di mana anak kita Mas?"

"Tenanglah, Sayang," Rangga menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. Ditatapnya Gwen dengan Sedih. "Tabahkanlah hatimu...."

Tabah? Apa yang terjadi dengan Rafa? Di mana dia?"

"Anak kita sudah meninggal..."

Meninggal! Kata itu menguakkan gumpalan-gumplaan kabut kebingungan yang menyelimuti otak Gwen. Meninggal!

To Be Continued