"Kek gini nih, yang gue nggak suka sama perempuan kayak lo!" celetuk Paijo dengan entengnya.
"Perempuan kayak aku? Yang kayak gimana maksud kamu?"
"Anak orang kaya, yang super manja, dan sukanya nyusahin orang! Lo emang nggak kasihan gitu ya sama orang-orang ya lo susahin? Ya gue ngerti sih, dari lo kecil, lo pasti dapetin apa pun yang lo mau, semua orang pasti nurutin apa pun yang lo omongin! Makanya lo nggak pernah mikirin orang lain."
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Paijo. Setiap kata yang ia ucapkan, sungguh menohok nuraniku.
Andai dia benar. Andai aku memang seperti itu, selalu mendapatkan apa yang kumau. Andai saja ....
"Kalau nggak ngerti apa-apa tentang hidup orang, nggak usah sok tahu! Kalau kamu nggak ikhlas, nggak dengan sukarela buat bantuin orang, nggak perlu marah, dan ngomong buruk tentang orang yang kamu bantu!" sahutku pelan.
Mungkin benar bahwa Paijo membenciku. Dari awal, dia memang selalu berpikiran buruk tentangku.
Tapi kenapa? Aku tidak pernah mengganggu, atau mencari masalah dengannya? Kenapa aku selalu begitu buruk di matanya?
Perempuan manja yang suka menyusahkan orang lain? Yang benar saja!
"Ketemu!"
Aku tersenyum, lalu mengeluarkan senter dari dalam tasku.
Dengan enggan, Paijo mengambil senter itu dari tanganku, dan menyalakannya.
"Ayo!" serunya sambil berjalan mendahuluiku.
Dengan sekuat tenaga, aku berdiri, dan menyeret kakiku untuk berjalan mengekori Paijo.
Kakiku terasa sangat sakit setiap kali aku melangkah. Aku terjatuh berkali-kali, dan kembali melangkah sebelum Paijo kembali mengomel.
Mungkin aku terlalu banyak melangkah hari ini. Sungguh, aku tidak tahu bahwa aku selemah ini.
Sebuah cahaya terlihat beberapa meter di depan kami, saat cahaya itu mati, terlihat Gepeng berlari menghampiri kami.
"Kalian nggak apa-apa?" tanya Gepeng khawatir.
"Untung lo dateng, gue hampir lupa jalan balik!" sahut Paijo dengan santainya.
"Mel, kaki lo kenapa? Gue lihat jalan lo agak pincang tadi," ucap Gepeng pelan.
Aku hanya menggeleng lemah. Sesakit apa pun itu, selama aku masih bisa menanggungnya, aku tidak akan menyusahkan orang lain.
"Lo yakin nggak kenapa-napa?" tanya Gepeng sekali lagi.
Aku pun hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaannya.
"Ya udah, yuk. Yang lain pasti pada khawatir. Mel, jalan di samping gue aja, kalo di belakang, takutnya lo ketinggalan!"
Good manner! Seorang pria harusnya mempunyai sikap seperti ini.
Gepeng menungguku, lalu berjalan di sampingku, sementara Paijo mengekor di belakang kami.
"Kok lo bisa nyasar sih, Mel?" tanya Gepeng tanpa menoleh ke arahku.
"Tadi karena ada yang pingsan, aku suruh Bambang jalan duluan, biar anak itu bisa cepet dapet pertolongan. Ini salahku sih karena nggak dengerin ucapan Bambang buat nunggu aja di sana."
"Nyusahin doang emang!" celetuk Paijo dari belakangku.
Terserah!
Bruk!
Sial! Kenapa aku harus terjatuh di saat seperti ini? Paijo pasti akan semakin gencar menuduhku suka menyusahkan orang lain.
"Lo nggak apa-apa, Mel?" pekik Gepeng yang langsung ikut berjongkok untuk melihat keadaanku.
Baiklah, aku menyerah. Egoku tidak cukup kuat untuk menahan rasa sakit ini lagi.
"Kaki ..." lirihku.
Paijo mengarahkan senter ke arah kakiku, sementara Gepeng langsung melepas sepatuku dan melihat kondisinya.
"Kaki lo bengkak, nggak heran jalan lo pincang!"
Celaka! Sepulangnya aku dari sini, ibu tidak akan mengizinkan aku ikut acara seperti ini lagi.
Gepeng kembali memakaikan kaus kakiku, lalu mengangkatku begitu saja di punggungnya.
"Peng, kamu mau apa?"
"Kalo dipaksa jalan, yang ada tambah sakit kaki lo, jadi gue gendong aja!" sahut Gepeng sambil mulai melangkah.
"Nggak usah, aku berat!"
"Kalau lo banyak bicara, yang ada tambah berat! Jadi, mingkem aja udah!"
Jujur saja, aku cukup lega dengan perlakuan Gepeng yang seperti ini. Toh ini demi kebaikanku juga. Untung dia mau gendong, kalau tidak, kapan aku bisa sampai post 2 dengan kaki seperti ini?
"Maaf ya, ngerepotin. Next, kalau kamu butuh bantuanku, apa pun itu, kamu ngomong aja," ucapku pelan.
"Lo masih inget nggak apa yang gue omongin di lapangan waktu itu? Soal menjaga lo, itu juga tugas gue!" sahut Gepeng dengan santainya.
"Dan kamu pasti inget apa yang aku omongin waktu itu, kalau sesuatu yang seperti itu tuh nggak perlu, Peng! But, thanks buat saat ini."
Suasana hening setelahnya, hingga tiba-tiba Paijo bersuara.
"Masih jauh nggak, Peng?"
"Palingan sepuluh meter lagi. Noh, ada cahaya di depan!"
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Paijo pun melangkah lebih dulu, dan meninggalkan kami.
"By the way, ntar kalo Bambang ngomel, lo diem aja pokoknya, nggak usah dijawab, kalau lo jawab, dia akan semakin lama ngomelnya," ucap Gepeng setengah berbisik.
"Oke. Tapi, emang marah banget ya, dia? Kalau aku pura-pura pingsan aja gimana?"
"Kenapa gitu?"
"Biar Bambang nggak ngomelin aku!" sahutku berbisik juga.
Gepeng terkekeh pelan.
***
Aku meregangkan otot-otot tangan dan kakiku yang terasa kaku, setelahnya aku mencoba membuka mata.
Oke, aku berada di dalam tenda sekarang. Sangat aneh memang, karena rencana awal, aku hanya pura-pura pingsan di gendongan Gepeng, tapi siapa sangka aku malah ketiduran?
Tapi, bukankah itu bagus? Aku jadi terhindar dari omelan Bambang.
Karena kantukku sudah benar-benar lenyap, aku pun memutuskan untuk keluar tenda. Di luar, hanya ada beberapa orang, di dekat api unggun, dan kebetulan sekali mereka adalah teman sekelasku.
Aku berjalan pelan menghampiri mereka.
"Mel, kaki lo gimana?" pekik Nisa yang menyadari kehadiranku.
"Masih sakit, tapi lumayanlah udah bisa jalan," sahutku sambil duduk di sampingnya.
"Kita khawatir banget sama lo!" sela Eka.
"Yang penting sekarang Melody baik-baik aja, jadi ya udah." samber Nisa.
Aku hanya mengangguk setuju dengan ucapan Nisa barusan.
"Bukan cuman kita aja yang khawatir, Mel! Semua anak Roullete yang ikut hiking pada panik nyariin lo!" celetuk Eka.
"Bener banget, apalagi Bambang sama Paijo! Wih, gila! Mereka itu sampai naik turun gunung gak jelas buat nyariin lo!"
Oke, tidak aneh jika Bambang seperti itu. Tapi Paijo? Yang benar saja! Dia pasti mencariku karena Bambang yang memintanya.
"Dan lebih menghebohkan lagi, lo dateng digendong Gepeng dong! Gila! Semua perempuan di sini pada langsung ribut!"
Oh tidak, sepertinya aku akan kembali kena bully setelah ini.
"Asli, manly banget Gepeng. Dia itu kek nggak ngerasa keberatan sama sekali pas gendong lo! Seakan-akan lo itu kapas yang ringan banget!"
Aku tersenyum mendengar ucapan Nisa. Mungkin, karena sering tawuran, anak-anak Roullete jadi punya fisik yang cukup kuat. Padahal, aku tidak sekurus itu hingga bisa dibilang ringan!
"Mel, pas digendong Gepeng, lo ngerasain sesuatu gitu nggak?" desak Eka.
"Heh, gila lo! Melody pingsan waktu itu! Mana bisa dia ngerasain sesuatu! Otak dipakai sayang!" geram Nisa.
Apa ya yang kurasakan saat itu?
Selain dia yang benar-benar harum dan hangat, aku tidak merasakan apa pun.
Halo readers semuaaa ^^
Terima kasih sudah baca, gimana nih pendapat kalian tentang novel ini? Boleh spill di kolom komentar, yaaa.
Biar author tambah semangat nulisnyaa