webnovel

Ketulusan

Pagi ini, kami kembali bersiap untuk mendaki ke post 3. Dan entah mengapa, Bambang benar-benar tidak  pernah membiarkan aku berada jauh darinya lebih dari satu meter.

Ia terlihat sangat over protective, karena itu banyak anak yang berbisik tentang kedekatan kami, bahkan mereka terang-terangan menggosipkan kami pacaran.

Dan sialnya, kenapa Bambang diam saja? Harusnya dia membungkam mulut mereka dengan menyanggah gosip itu.

"Kaki lo udah nggak sakit, 'kan?" tanya Bambang setelah sekian lama terdiam.

Aku menggeleng pelan. Ya, kakiku memang sudah jauh lebih baik setelah di urut salah seorang guruku. Jadi, aku masih bisa melanjutkan pendakian ini. Aku sudah sampai sejauh ini, sangat rugi jika tidak sampai ke puncak.

"Kalo ngerasa sakit, jangan ditahan. Langsung aja ngomong sama gue!"

"Iya."

Setelahnya, tidak ada percakapan apa pun di antara kami. Sepertinya Bambang masih marah karena aku tidak menuruti ucapannya untuk tetap tinggal kemarin. Padahal, aku sudah menjelaskan panjang lebar padanya, tapi sepertinya itu tidak berpengaruh apa pun.

"Mbang," panggilku pelan.

"Hum?" sahut pria itu datar.

"Kamu nggak risih, di gosipin pacaran sama aku?" tanyaku pelan. Sebenarnya aku ragu harus bertanya atau tidak, akan tetapi rasa penasaranku jauh lebih besar.

Kenapa ada orang yang begitu santai digosipkan seperti itu?

Tidak mungkin kalau dia tidak mendengarnya, 'kan? Ayolah, para gadis di belakang kami berbicara sekencang itu.

"Biarin aja, orang mereka punya mulut!" sahut Bambang dengan entengnya.

Ya, dia benar, mereka memang punya mulut. Tetapi, hanya karena mereka punya mulut, bukan berarti mereka boleh mengucapkan apa pun semau mereka yang berpotensi mengganggu orang lain. Seperti aku misalnya, sungguh aku sagat terganggu dengan ucapan mereka yang seolah mengisyaratkan aku tidak pantas untuk Bambang.

Memangnya, siapa juga yang suka padanya?! Lagian, bukan aku tidak pantas untuk Bambang, tapi dia yang tidak pantas untukku!

"Mbang, kamu baik sama aku kenapa?"

"Lo sebenernya mau nanya apaan sih, heran gue!"

Aku tersenyum lebar. Kami masih berjalan beriringan.

"Kamu nggak mungkin baik karena suka sama aku, 'kan?"

Setelah bertanya, aku memperhatikan  wajah Bambang lekat-lekat.

"Lo bukan tipe gue, jadi nggak usah mikir macem-macem, lo!" sahut Bambang dengan santainya.

Aku mengangguk pelan. Bagus kalau memang aku bukan tipenya.

"Terus, kenapa baik? Kata anak-anak, lo itu bukan tipe orang yang akan baik ke sembarang orang!" desakku.

"Karena nyokap lo baik! Dia baik sama gue, jadi ya gue harus baik ke anaknya dong."

Ah, sial! Ini bukan jawaban yang kuinginkan. Aku berharap, dia baik padaku karena kita ini teman.

"Jadi, kamu baik karena aku anak ibu? Gitu doang?!"

Bambang berhenti melangkah, lalu menatap lurus ke arahku.

"Emangnya lo berharap karena apa?" tanyanya bingung.

"Teman! Aku pikir, karena kamu udah anggep aku sebagai temen, makanya kamu baik sama aku! Jadi, kebaikan kamu sama aku itu nggak tulus? Ya udah!" Aku langsung berjalan mendahuluinya setelah mengatakan itu.

Jujur saja, jawaban Bambang membuatku merasa tidak enak hati. Pria itu pasti merasa terbebani karena harus selalu menjagaku. Lalu, secara tidak langsung, apa yang diucapkan Paijo kemarin itu benar. Aku memang suka menyusahkan orang, terutama Bambang.

"Nggak usah mikir kejauhan. Gimana bisa sih, lo meragukan ketulusan gue?!" gerutu Bambang sambil kembali merendeng langkahku.

Aku tidak merespon ucapan Bambang, dan terus melangkah.

"Mbang, tahu nggak, aku lagi belajar naik motor, dan sekarang udah lumayan bisa!"

"Terus, hubungannya apaan sama gue?" ketus Bambang.

"Kalau aku udah lancar naik motor, kedepannya, kamu nggak perlu anter jemput aku ke sekolah! Aku mau naik motor sendiri, jadi nggak akan nyusahin kamu lagi!"

Bambang terlihat cukup terkejut mendengar ucapanku. Lagi-lagi ia berhenti melangkah, begitupun aku yang ikutan berhenti karena penasaran dengan reaksi pria itu.

"Jangan aneh-aneh deh, lo! Gue nggak pernah keberatan anter jemput lo!"

Aku menggeleng pelan.

"Aku cuman nggak mau nyusahin orang, apalagi dia bukan siapa-siapaku!"

"Kok bisa gitu lo bilang gue bukan siapa-siapa lo!"

Terlihat Bambang mulai kesal. Tapi, bukankah tidak ada yang salah dengan ucapanku? Dia bukan siapa-siapaku. Dia hanya menjagaku karena permintaan Ibu dan Tante Yuyun.

"Kamu bahkan bukan temenku!" seruku tanpa ragu.

Kami sama-sama terdiam ketika beberapa orang berjalan melewati kami.

"Anggep aja, kita ini sodara temu gedhe!" seru Bambang pada akhirnya.

Saudara ketemu gedhe maksudnya?

"Kamu nganggep aku saudara kamu? Kita ini seumuran, lho!" protesku.

"Lo lahir bulan apa?!" tanya Bambang menahan kesal.

Aku menggeleng pelan.

Ibu panti tidak tahu kapan pastinya aku lahir, aku ditinggalkan di depan panti saat aku masih bayi. Dan orang yang seharusnya menjadi ibuku, tidak pernah memberikan petunjuk apa pun mengenai kelahiranku, atau siapa namaku. Menyedihkan bukan? Sial!

"Gue bulan lahir bulan februari! Jadi, anggep aja gue ini abang lo! Kelar! Nggak usah mikir kejauhan! Iyain aja! Orang bilang, nggak ada pertemanan yang tulus antara pria dan wanita, makanya, gue jadi abang lo aja biar ga ada salah paham di antara kita! Gimana?"

Aku mencoba mencerna baik-baik ucapan Bambang. Dan setelah dipikir-pikir, ide dia boleh juga.

"Oke, kalau gitu, mulai sekarang aku adek kamu, dan kamu abang aku!" Aku tersenyum lebar, sementara Bambang hanya tersenyum kecil.

Kami pun kembali melangkah menyusuri jalan setapak di hadapan kami.

Setelah sampai di post 3, kami beristirahat sebentar. Bambang mengeluarkan termos mini dari tasnya, dan dua buah mie dalam cup rasa soto. Ia memberikan satu padaku setelah mengisinya dengan air panas, dan mencampurkan bumbunya.

"Untuk saat ini, mending lo urungin niat lo buat naik motor sendiri ke sekolah," ucap Bambang tiba-tiba.

"Kenapa gitu?"

"Kita sekolah full day, balik menjelang magrib mulu! Banyak begal, apalagi jalan ke komplek rumah lo agak sepi!"

"Tapi selama ini kita nggak pernah di begal, tuh!"

Bambang menghela napas berat, ia lalu melirik ke arahku dengan tajam.

"Kita nggak pernah tahu apa yang bisa terjadi ke depannya. Buat jaga-jaga aja! Jadi, sebelum benar-benar aman, lo gue jemput aja. Atau, kalau lo lagi gak mau bareng sama gue, minta supir buat nganterin lo!"

Tidak. Kedua pilihan itu sama beratnya. Semua siswi langsung bergosip setiap kali kami sampai di parkiran. Dan supir? Tidak semua temanku adalah orang kaya, aku tidak ingin dicap sebagai anak orang kaya yang manja karena harus diantar supir.

"Dilihat dari muka lo, kayaknya lo nggak akan dengerin ucapan gue, dan bakalan nekad bawa motor sendiri!" tebak Bambang.

"Banyak temen-temen bawa motor sendiri, dan aman-aman aja!" protesku.

"Mereka udah biasa! Dan kebanyakan, yang bawa motor itu pria! Naca aja gak mau bawa motor sendiri, padahal dia jago beladiri, nah lo yang cuman bisa jambak orang, sok-sokan mau bawa motor sendiri!" gerutu Bambang.

"Mie-ku udah mateng! Selamat makan!" selaku untuk membuat Bambang berhenti mengomel.

Next chapter