"Mel, ga ada pelajaran, 'kan? Jalan yuk! Nonton, nyeblak, atau ke mana aja deh terserah!"
Aku tidak bisa mempercayai ini. Gepeng mengajakku pergi? Sekarang? Ini baru jam 1 siang! Dia mengajakku membolos?
"Kamu ngajak aku bolos sekolah?" tanyaku bingung.
Saat ini, kami sedang berada di kelas Naya, dan Andi.
"Gue pengen ngabisin waktu berdua sama lo, ngisi batre sebelum gue abisin buat latihan nanti!" Gepeng menatapku penuh harap.
Andi yang duduk tepat di sebelahku, langsung tersedak dan memuncratkan air yang baru saja diteguknya dari botol.
"Jorok!" pekik Naya kesal.
Andi mengabaikan gadis itu, dan masih sibuk mengelap seragamnya yang basah. Kelas sudah sepi sekarang, anak-anak pasti sedang bersantai di kantin karena tidak ada pelajaran sekarang ini.
"Brengsek si Gepeng! Lu kalo mau ngerdus liat-liat dulu, Bos! Jangan pas ada gue, kan jijik gue jadinya!" semprot Andi.
Gepeng langsung tertawa renyah. Entah apa yang dia tertawakan sekarang. Ucapan kardusnya atau wajah kesal Andi. Yah, apa pun itu, syukurlah dia masih bisa tertawa.
"Eh, ngomong-ngomong, Bang Dudung itu siapa sih? Gue masih gak paham kenapa kita harus nurutin itu orang!" tanya Andi yang langsung membuat tawa Gepeng terhenti seketika. Wajahnya kembali ke mode serius sekarang.
"Abangnya Bambang!" Sahut Gepeng datar.
Andi pun mengangguk pelan.
"Dia itu temen Mas Angga juga. Dulu, dia dan temen-temennya juga berjuang dan cari cara buat ngalahin Blackstone, tapi mereka berhenti karena gak nemu jalan. Gak ada harapan saat itu. Dan sekarang dia balik karena dia lihat kita sebagai harapan buat dia bales dendam! Gitu sih garis besarnya!" terang Naya.
Sekali lagi, Andi mengangguk paham.
"Jadi, bisa dibilang, kita ini senjata dia buat nyerang Blackstone! Dia ingin mengasah senjata itu sebelum digunakan untuk melumpuhkan lawan!" Sambung Yogo yang entah sejak kapan ada di situ.
Bisa kusimpulkan bahwa mereka benar-benar serius ingin melumpuhkan Blackstone. Seniat itu! Mereka enggak bercanda!
"Melihat wajah mereka bikin gue ngerasa lemah dan kecil. Kampret! Lo berdua lihat kan waktu mereka memandang remeh kita, jadi penasaran gue, sehebat apa sih mereka." Andi merengut kesal.
Aku tidak mengerti kenapa Andi bisa begitu kesal. Aku pernah beberapa kali bertemu Bang Dudung, dan sungguh, dia sangat baik, dan lembut!
"Gue mau nantang si gigi kelinci yang suka merintah-merintah kita kemaren! Pengen tahu gue, seberapa hebat itu orang!" Andi masih berapi-api.
Yogo hanya tersenyum tipis lalu menepuk pundak Andi pelan.
"Atur aja, Bro!" Ucap Yogo pelan.
Ada empat orang yang datang kemarin, si gigi kelinci, si absurd, si tukang makan, si ganteng, dan si tiang listrik. Kami belum sempat berkenalan karena Bang Dudung mengantarku pulang setelah makan.
Yang kutahu pasti adalah mereka teman abangnya Yogo.
"Alhamdulillah!" celetuk Paimin tiba-tiba.
Sejak kapan kelas ini di penuhin anggota Roullete?
Aku, dan yang lainnya, langsung menoleh ke arah Paimin.
Mungkinkah dia mendapat penglihatan lagi?
"Kenapa Min? Lo lihat apa?" tanya Naya dengan penuh semangatnya.
"Gue dapet penglihatan bagus!" Paimin langsung tersenyum lebar.
Kami langsung berhambur merapat duduk mengelilingi Paimin.
"Lo lihat kita habisi Blackstone?" tanya Yogo antusias.
Paimin menggeleng sambil tersenyum lebar.
"Lo lihat Om Uyon gratisin durennya lagi?" tanya Naya.
Sekali lagi Paimin menggeleng.
"Kamu lihat aku ketiban rejeki?" Aku menatapnya penuh harap.
"Bukan juga!" sahut Paimin masih dengan cengiran lebarnya.
"Terus apaan?" sergah Gepeng.
"Gue bakal ketemu jodoh gue di sego kobong triple X! Alhamdulillah!"
"Halah tai!" Umpat Andi kesal.
Andi dan Yogo langsung beranjak meninggalkan Paimin. Entah ke mana mereka mau pergi.
"Cantik gak, Min?" tanya Naya yang sejujurnya terlihat malas.
"Cantik dong! Tapi kok gue liat-liat, wajahnya kayak gak asing ya?" Paimin bergumam pelan.
"Emang kali ini kelihatan wajahnya? Biasanya kan penglihatan lo blur Min!"
"Kali ini jelas Nay! Gue aja bisa liat bentuk hidungnya!"
"Mancung apa pesek?"
Paimin tersenyum lebar, ia lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Ssst, jangan kepo! Sana ke kantin aja! Yogo lagi banyak duit! Pagi tadi gue lihat dompet dia isinya merah sama biru semua!" sahut Paimin.
"Ayok cari dia!" seru Naya sambil berjalan secepat mungkin meninggalkan kelas.
***
@Gedung XXX, 18.30 WIB.
Aku tidak tahu mengapa Naya sekarang hobi menyeretku untuk ikut di dalam setiap kegiatan Roullete. Seperti saat ini, ia mengajakku melihat bagaimana Roullete berlatih.
Tapi, tunggu! Bukankah itu Bambang? Tumben dia bisa bercanda ketawa-ketiwi bersama Naca?
"Ngelamunin apa sih lo? Ngeliatin Bambang doang sampai segitunya! Naksir lo sama Bambang?"
Aku menoleh, dan mendapati Paijo sedang berdiri dengan santainya di sebelahku. Pria itu menatapku dengan sangat tajam.
"Apaan, sih! Aku cuman heran aja, tumben mereka bisa bercanda kayak gitu!" sahutku enggan.
"Gak ada kerjaan banget lo ngurusin asmara orang! Pikirin aja tuh diri lo sendiri!" ketus Paijo.
Abaikan saja! Bukan hal baru jika Paijo bersikap sinis ke aku.
Aku pun beranjak pergi meninggalkan Paijo, dan duduk dengan anak Roullete yang lain.
"Ini udah pada ngumpul semua?" Om Uyon sedikit mengeraskan suaranya agar kami semua bisa mendengar suara merdunya.
"Tinggal nunggu anak GPS, Om! Mereka ijin telat karena ada ujian praktek!" seru Gepeng.
Om Uyon mengangguk pelan.
"Jadi, pertama, Om mau lihat seberapa kuatnya kalian! Dengan gitu Om bisa nilai mampukah kalian ngelawan Blackstone!"
Semua orang terdiam menatap tajam Om Uyon.
"Well, untuk hari ini, persiapkan diri kalian! Om sudah catat semua nama kalian dan Om masukkan ke kotak ini. Yang namanya terpilih, langsung naik ke ring dan bebas pilih lawan! Pilih yang sekiranya bisa kalian kalahkan!"
"Gausah ngincer Paijo! Lawan Yogo kalau mampu!" bisik Naya kepada seorang pria yang setahuku bernama Gabriel.
Naya berada tak jauh dariku, hingga aku mampu mendengar ucapannya.
"Kalo gue bisa ngalahin Yogo, lo harus turutin satu permintaan gue!" Gab balas berbisik.
Serius, kenapa mereka harus berbisik-bisik sekeras itu? Aku kan jadi tahu!
"Apa pun itu asal gak ngeluarin duit, gue usahain! Tanggal tua, harap maklum!" balas Naya dengan santainya.
Gab terkekeh pelan, ia lalu mengacak-acak
"Halohaaa, Abang ganteng dataaang!" teriak seseorang dari arah pintu masuk.
Cih! Ganteng dari mana?
Si abang absurd datang bersama Bang Dudung, dan abang-abang lainnya.
Herannya, kenapa mereka ganteng semua? Kenapa tidak ada yang jelek, coba?
"Wuih Mbang, ini cewek di samping lo siapa? Pacar lo?" celetuk Bang Dudung dengan senyuman lebar dan mata berbinar-binar.
"Halo, Adik manis!" Bang Dudung mengelus pelan pucuk rambut Naca.
Celaka!
Tangan kiri Naca terulur pelan untuk meraih tangan Bang Dudung yang masih betah mengelus rambutnya.
Lalu, "Argh!" pekik Bang Dudung saat Naca memelintir tangannya.
Bambang yang menyaksikan itu langsung tertawa dengan puasnya.
Naca memang seperti itu, jadi aku sudah tidak terkejut lagi.
"Mampus lo!" teriak si Abang Tiang Listrik.
Semua yang ada di sana hanya menahan tawa dalam diam melihat betapa merah wajah Bang Dudung menahan sakit di tangannya.
"Lo pikir gue cewek apaan! Maen pegang-pegang aja! Pacar gue aja gak pernah pegang-pegang!" ketus Naca.
"Emang kamu punya pacar?" tanyaku dan Bambang kompak.
"Eh iya, gak punya. Lupa!" sahut Naca pelan.
Aku hanya terkekeh pelan.
"Ngobrolnya entaran! Ini tangan gue lepasin dulu woy!" Pekik Bang Dudung.
Abangku sayang abangku malang.
Naca melepaskan tangan Bang Dudung dengan tatapan datar.
"Bisa kita mulai?" tanya Om Uyon setelah berhasil menghentikan tawa pelannya.
Om Uyon lalu mengambil sebuah kertas dari dalam kotak, ia tersenyum tipis lalu menatap ke arah Naya.
"Maju, Nay!" teriak Om Uyon dengan senyuman separonya.
Wah, kenapa Naya yang pertama? Dia perempuan, tidakkah ini berbahaya?
Gabriel menepuk punggung Naya pelan, dan tersenyum. Gadis itu pun berjalan gontai masuk ke dalam ring.
Naya mendekat ke arah si abang dengan gigi kelinci yang bersiap menjadi wasit.
"Mau nantang siapa Nay?" tanya Om Uyon.