webnovel

Pertarungan Naya

"Gue pilih Tante Yuyun!" seru Naya lantang.

Semua orang menatap gadis itu bingung, kecuali Bambang, Om Uyon, dan Bang Dudung. Sebelumnya, aku mendapat bocoran dari Bang Dudung, kalau Tante Yuyun itu dulunya ketua geng di STM tempatnya sekolah dulu, dan Om Uyon adalah wakilnya.

Aneh? Tentu. Saat ketua geng adalah perempuan, bisa ditebak seberapa kuatnya dia.

Tapi, bukankah Tante Yuyun sudah sedikit lebih tua sekarang? Dia tidak sekuat itu harusnya.

"Kalem aja yank," Om Uyon menepuk pundak Tante Yuyun pelan.

Baiklah, dilihat dari ekspresi Bambang, sepertinya pilihan Naya kali ini salah.

Tante Yuyun melepas jaketnya, ia menggunakan tanktop hitam yang di padukan dengan celana training model loose, wana abu-abu.

Oh tidak, lihatlah otot-otot lengannya. Benar-benar pilihan yang salah.

Dengan senyum tipisnya, abang bergigi kelinci itu berdiri di antara mereka, dan mulai menjelaskan peraturannya.

"Pertarungan ini kita lakukan untuk melihat kekuatan dan kecepatan lo. Tentu akan berbeda dengan pertarungan di jalan, tapi seenggaknya kita harus tahu seberapa kuat dan cepetnya lo! Well, lo bisa nyerah dengan menepuk lantai, lempar handuk, atau ngomong aja, toh ini bukan pertandingan resmi! Dan, karena ini bukan pertarungan lawan blackstone betulan, kita bikin beberapa peraturan. Dilarang mencongkel mata, menyeruduk kepala, menjambak rambut, menggigit, menyerang pangkal paha, menyerang adam aple buat cowok, menyerang sendi-sendi kecil, menggunakan aksesoris, lepas gelang lo! Melukai bagian belakang kepala, area tulang belakang, dan, ekhem bagian yang gak boleh di sebutkan. Jadi, selamat bertarung!"

Setelah mengatakan itu, si abang bergigi kelinci langsung meniup peluit yang tergantung di lehernya.

Bugh!

Naya terhuyung ke belakang saat kaki Tante Yuyun menendangnya kuat.

Aku yang menonton saja bahkan belum siap.

Tendangan yang Tante Yuyun berikan barusan bagaikan ungkapan, kill me if you can, di mataku.

Baiklah, ini belum berakhir, Naya masih muda, ia tentu tidak akan membiarkan Tante Yuyun menang.

Naya maju, dan mulai melakukan strike, namun gerakan mengecoh tinju samping kirinya, bisa Tante baca, beliau menangkis tinju kanan Naya, lalu memeganginya sejenak, dan melepaskannya selagi kaki kanannya melakukan midle kick.

Naya pun terlempar dan jatuh di lantai.

Secepat mungkin Naya berdiri. Aku yang hanya melihat saja, bisa merasakan betapa sakitnya tubuh gadis itu.

Seolah tidak ingin memberi Naya jeda, Tante Yuyun langsung melayangkan tendangannya, tapi Naya menangkisnya, sedikit menghindar dan melangkah mendekat untuk memberinya flying smashing elbow.

Gadis itu lalu melompat dan menyikut keras dari arah atas bahu Tante Yuyun hingga dia terduduk dengan lutut yang menghantam lantai dengan sangat keras.

Itu terlihat sangat menyakitkan.

Tapi ....

Brak!

Tubuh Naya terbanting ke bawah saat Tante Yuyun menggunakan tangannya sebagai tumpuan dan mengangkat kaki kanannya mendorong tubuh gadis itu menyamping hingga ia kehilangan keseimbangan dan menghantamkan keras kaki ke perut Naya.

Ulu hatiku langsung berdenyut sesak dan panas.

Naya tergeletak di lantai dengan bahu dan perut berdenyut nyeri. Ia lalu terbatuk karena napasnya yang tersengal.

Tidak bisa di percaya, bagaimana mungkin kaki Tanye Yuyun cukup kuat untuk melakukan itu sementara Naya sudah menghantamnya dengan cukup keras tadi?

Wah! Ini luar biasa!

Naya melakukan pernapasan kasar, lalu berdiri dan mengatur jarak. Tante Yuyun yang sudah terlebih dulu berdiri tersenyum miring ke arahnya.

Naya benar-benar memfokuskan diri pada serangan Tante Yuyun sekarang, saat beliau melakukan hook, Naya bergerak cepat untuk menangkisnya, meletakkan lengan di belakang punggung Tante Yuyun. Naya menekan pergelangan tangan ke belakang leher Tante Yuyun.

Good Job! Itu tekhnik kuncian yang sangat berbahaya, aku tahu itu. Tante tidak akan mungkin bisa lepas.

Sorak sorai penonton langsung terdengar dari tribun penonton, tapi itu tidak bertahan lama, karena setelahnya, Tante Yuyun bisa melepaskan diri dari kuncian Naya.

Aku bahkan belum sepenuhnya menyadari cara Tante melepaskan diri saat tubuh Naya terpental ke belakang karena tendangannya.

Bagaimana bisa?

Apa yang salah dengan mataku?

Naya pun berdiri tegak.

Sebelum ia kembali berlari melakukan serangan, Tante Yuyun mengangkat tangannya ke arah wasit.

Tante Yuyun menyerah?

"Capek! Tante udah tahu kemampuan Naya dari pertarungan tadi, jadi kita akhiri saja!" seru Tante Yuyun yang langsung di sambut senyuman manis abang wasit.

"Well, karena Tante yang nyerah, aku putuskan Naya yang menang!" kata si abang dengan santainya.

Siapa yang peduli dengan kalah atau menang sekarang? Jelas-jelas Tante Yuyun lebih unggul, dan beliau mengalah!

Terlihat dari wajah Naya, bahwa ia terlihat kecewa. Ia tentu tidak menyukai kemenangan seperti ini.

Naya pun langsung turun meninggalkan ring dan duduk di sampingku. Dengan senyum hangat, aku menyambutnya. Aku pun memberikan sebotol air mineral padanya.

Naya meneguknya dengan kasar dan menghabiskannya.

"Kamu keren!" pujiku.

"Jangan ngeledek!" sahut Naya kesal.

"Kalau itu aku, sekarang ini pasti udah ada ambulan yang datang ke sini buat jemput!"

Naya terkekeh pelan ke arahku.

"Oke, selanjutnya," Om Uyon kembali mengambil secarik kertas dari dalam kotak.

"Bondan!"

Dengan santainya, Bondan si anak dari sekolah lain, naik ke atas ring. Ia membuka hoodienya dan melemparnya ke luar ring.

"Bang, maju sini lo Bang!" Bondan menunjuk si Abang Tiang listrik.

"Ada nyali juga itu anak," gumam Naya sambil memandang ke arah ring.

Saat pertarungan sengit tengah terjadi di atas sana, Naya memilih pergi keluar dari gedung.

Aku ingin menyusulnya, karena tahu ia pasti sedang kesakitan akibat pertarungan barusan. Akan tetapi, Paijo menahan lenganku.

"Lepasin, nggak!" seruku kesal.

"Nggak usah disusul! Nggak lihat lo? Noh, Yogo udah nyamperin dia!" sahut Paijo sambil menunjuk Yogo yang memang tengah menyusul Naya keluar dari ruangan.

Ah ya, aku mengerti. Mereka butuh ruang.

"Bisa lepasin?" tanyaku sekali lagi sambil melirik sinis Paijo yang masih mencengkeram tanganku.

Tanpa mengatakan apa pun, Paijo melepaskan tanganku.

"Jo, besok, kalau ada waktu, kita harus bicara empat mata!" ucapku lalu beranjak pergi dari sisi Paijo.

Aku berpindah tempat dan duduk di samping Bang Dudung.

Aku mengajaknya bertemu dan mengobrol empat mata, tak lain dan tak bukan, adalah karena aku ingin bertanya kepadanya, apa kesalahan yang aku lakukan hingga ia bisa bersikap begitu ketus padaku.

Sangat mengganggu saat melihat dia begitu baik kepada perempuan lain, tapi begitu galak dan ketus padaku. Ayolah, memangnya apa yang telah kulakukan padanya?!

"Kamu lagi mikirin apa? Kok manyun?" tanya Bang Dudung dengan begitu lembut.

Aku tersenyum, lalu menggeleng pelan.

"Kalau ada yang gangguin kamu, bilang aja ke abang, biar abang kasih paham itu orang!"

Aku tersenyum semakin lebar, dan mengangguk pelan.

"Bang, abang izinin Bambang buat turun nyerang Blackstone? Bahaya tahu, Bang!" bisikku, karena takut Bambang akan mendengarnya.

Bang Dudung menggelengkan kepalanya pelan.

"Bukan cuman Bambang, abang juga akan turun! Kamu tenang aja, semua akan berjalan sesuai rencana! Kita harus berani ambil resiko, Mel! Karena, kalau bukan kita yang bertindak, siapa lagi?"

Next chapter