webnovel

Proposal

Dua Tahun Berlalu

Seekor kuda yang ditunggangi Kalantha melaju dengan begitu cepat. Kecepatannya seolah melomba angin yang membelah rimbunnya hutan negri putih. Badan Kalantha terguncang dengan begitu hebat di atas pelana kudanya, namun itu tak membuatnya takut sama sekali. Kalantha malah tertawa lepas sambil sesekali menatap ke belakang. Dua orang peri yang mengikutinya dari belakang mempercepat laju kudanya, menyeimbangi kecepatan kuda yang ditunggangi Kalantha.

Bukannya memperlambat laju kudanya, Kalantha semakin mempercepat laju Zi, kuda terhebat dari negri putih. Aletha dan Alena berteriak menyerukan nama Kalantha supaya menunggu mereka berdua. Namun Kalantha adalah Kalantha, sang dewi dengan kepala yang sekeras batu. Zi melompati semak setinggi Kalantha dengan begitu mudah sehingga Alena dan Aletha tak dapat melihat mereka lagi.

Di depan sana, ada anak sungai setinggi lutut terbentang luas. Zi tetap berlari tanpa henti. Bahkan licinnya bebatuan sungai tidak membuat Zi tergelincir jatuh. Percikan air yang mengenai Kalantha membuat ia tertawa bahagia. Namun tiba-tiba saja, sebuah cahaya melintas dari wajah Zi. Zi memekik terkejut sehingga berhenti secara tiba-tiba. Zi berdiri dengan kedua kakinya, membuat Kalantha terpekik kaget.Ia mengeratkan genggamannya pada tali pelana Zi agar ia tak jatuh.

"Hhhikkkk..."

"KYA!"

Kalantha berusaha menenangkan Zi, namun tampaknya kuda jantan itu tak mendengarkan teriakan Kalantha. "Tenanglah, Zi."

Alena dan Aletha yang melihat dari jauh melotot kaget karena sikap Zi yang begitu agresif. Alena mempercepat kudanya. Tangannya terulur ke depan dengan mata yang menatap tajam pada Zi. Mulutnya terbuka mengucap mantra yang tak dimengerti oleh Aletha.

"Audi, Vide, Tace. Si tus vis vivere!"

Seketika kuda yang ditunggangi kalantha kembali tenang. Keempat kaki Zi telah kembali memijak tanah. Kalantha meraup udara begitu banyak. Dadanya bergerak naik turun karena telah kehabisan oksigen. Jantungnya terasa hendak melompat keluar akibat kejadian barusan.

"Astaga, Kalantha. Apa kau baik-baik saja?"

Aletha begitu panik melihat Kalantha yang terdiam sambil memegang dadanya yang naik turun tak karuan. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Aletha membuat kesadaran Kalantha kembali. Kalantha mengangguk kecil.

"Aku tak apa, sekarang sudah lebih baik. Terimakasih karena sudah menolongku."

Alena menatap garang pada Kalantha. Kalantha yang ditatap seperti itu seketika menajadi ciut karena takut.

"Apa yang baru saja kau lakukan, Kalantha?"

"Aku, aku hanya,"

"Aku tadi sudah berteriak-teriak untuk menyuruhmu pelan. Tapi kau malah semakin mempercepat kudamu. Bagaimana jika aku dan Aletha terlambat menyelamatkanmu? Kau pasti sudah mati megap-megap di sungai ini karena ditimpa oleh Zi."

Kemarahan Alena menguar dari bibir mungilnya. Mata peri cantik itu memerah serta rahang yang mengeras. Namun Kalantha tetap dapat melihat sirat kekhawatiran dari mata Alena.

"Sudahlah, Alena. Kalantha pasti terbawa suasana sehingga melajukan Zi dengan begitu cepat. Ini hari pertama dia menunggang Zi, jadi kau harus bisa memakluminya." Aletha mencoba meredakan amarah Alena. Aletha yakin kalau Alena sebenarnya begitu panik sehingga mengeluarkan amarahnya pada dewi alam itu.

Alena menghela sesaat. "Kau benar, maafkan aku putri. Tak seharusnya aku memarahimu padahal aku adalah pelayang disini."

Inilah yang tak disukai oleh Kalantha. Ia sangat paham dengan kemarahan peri dyrad ini. Dia akan memanggil Kalantha dengan gelar putrinya kalau sudah merasa begitu marah, Alena melakukan itu bukan tanpa sebab. Ia hanya ingin memperingatkan dirinya perihal batasan kepada sang dewi. Bagaimanapu, walau Kalantha sudah menyuruhnya untuk bersikap biasa, ia merasa tak seharusnya ia bersikap seperti itu.

"Oh, ayolah Alena. Jangan marah seperti itu. Aku tahu akulah yang bersalah disini, aku berjanji tak akan mengulanginya. Jadi jangan memanggilku seperti itu. Aku sudah paham dengan dirimu."

Kalantha menatap Alena dengan wajah bersalahnya. Alena jadi merasa tak enak sendiri karena membuat dewi itu meminta maaf, padahal Kalantha tak perlu bersikap seperti itu.

"Baiklah. Maafkan aku juga sudah memarahi seperti itu."

Kalantha tersenyum. "Tak masalah bagiku. Aku senang mendengar omelan dari bibirmu itu. Kau seperti ibuku jika sudah marah-marah begini. Ha ha ha. Jangan sungkan kalian berdua untuk memarahiku."

Alena dan Aletha tersenyum hangat dan mengangguk.

"Baiklah, ayo kita kembali. Hari sudah hampir gelap. Raja akan marah bila kita kembali saat matahari telah tenggelam." Aletha mengingatkan untuk segera kembali.

Kalantha menoleh ke arah langit. Aletha benar, matahari sudah berada di ufuk barat. Namun sinar jingganya masih bersinar begitu cerah dan menimpa ketiga wajah cantik mereka. Kalantha memejamkan matanya, menikmati hangatnya atmosfir sore yang begitu hangat. Hembusan angin membelai lembut kulit wajahnya, menenangkan saraf otak yang menegang akibat rutiniasnya sebagai dewi alam.

"Apa anda merasakan hal baik, tuan putri Kalantha?"

Kalantha memutar bola matanya malas. Ia tahu Aletha hanya sedang bergurau sehingga mengeluarkan suara seperti itu. Seperti suara mengejek.

"Ada apa memangnya?" Kalantha menatap Alena dan Aletha satu persatu.

"Rambutmu sebagian berubah menjadi putih."

Kalantha mengamati rambutnya. Ternyata benar, rambutnya berubah warna lagi. Namun kali ini dengan warna yang berbeda. Warna rambutnya membuat ia menjadi seperti dewi salju yang tengah tersesat di pedalaman hutan tropis.

"Sepertinya kekuatanmu sudah mulai terlihat, Kalantha. Rambutmu sudah sering kali berubah warna. Mungkin ia mengikuti suasana hatimu." Kata Aletha menyampaikan pemikirannya.

"Aku sependapat dengan Aletha. Kemarin, saat kau sedih karena tak dibolehkan bolos pelajaran sastra kuno, rambutmu berubah menjadi biru." Kata Alena.

"Ya, dan jangan lupakan dengan warna emasnya saat ia berhasil menyelinap ke dapur untuk mengambil satu buah kulsu." Tawa Aletha dan Alena mendadak pecah ketika mengingat tingkah konyol Kalantha yang menyusup demi sebuah kulsu.

Sungguh tidak putriawi. Kalantha mengerutkan bibirnya mendengar olokan kedua temannya. Ia melakukan itu bukan untuk iseng, ia benar-benar penasaran dengan rasa buah langka itu. Buah itu adalah buah yang dipakai sebagai persembahan pada para leluhur, sehingga ia tak diperbolehkan memakan buah itu.Dan akhirnya, ia tahu kalau buah kulsu rasanya sangat luar biasa lezat. Tak salah buah itu dipakai sebagai persembahan bagi para leluhur.

"Dan sekarang dia berwarna putih. Tapi sudah memudar. Mungkin sebentar lagi akan kembali hitam." Timpal Aletha.

"Baiklah, ayo kita pulang. Aletha, kau pimpin di depan. Aku akan menjaga dari belakang."

Mendengar intruksi dari Alena,Aletha segera memutar balik kudanya. Kalantha juga melakukan hal yang sama, namun entah atas dorongan apa kepalanya menoleh pada semak besar setinggi badannya yang jauhnya kurang lebih dua puluh langka dari sisi kanannya.

"Ada apa, Kalantha?" Tanya Alena karena melihat tatapan Kalantha yang tertuju pada semak itu.

"Tidak apa, aku hanya berpikir kalau aku tadi melihat Sesuatu di sana. Tapi ternyata tak ada."

"Kalau begitu silahkan jalan duluan, putri."

Kalantha mengangguk dan segera menjalankan kudanya menyusul Aletha yang telah berjalan lebih dulu.

***

Suasana di ruang makan begitu hening. Hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Kalantha mengunyah makanannya dengan perlahan, bukan karena ia suka. Ia hanya tak mau mendengar omelan dari ratu Chleo, ibunya karena tak menghabiskan makan malamnya lagi.

"Kalantha, jangan letakkan sikumu di meja. Lakukan seperti ini." Chleo lalu mempraktekkan cara makan yang benar pada Kalantha.

Kalantha hanya mengangguk dan melakukan apa yang tadi dipraktekkan ratu Chleo.

"Tegakkan badanmu. Jangan terlalu menunduk seperti itu. Kau seorang dewi, jadi sikapmu harus mencerminkan seorang dewi."

Lagi-lagi Kalantha hanya diam dan mengangguk. Ia tak mau berdebat dengan ratu satu itu. Karena ia tahu, tak ada gunanya berdebat dengan Chleo, wanita itu pasti akan mengatakan hal yang membuatmu tersudutkan dan memilih untuk mengalah. Mereka telah menghabiskan makan malam. Saatnya untuk duduk seraya meneguk segelas teh hijau. Teh yang dipetik saat matahari belum bangun dan embun masih begitu terasa aromanya. Ini adalah kebiasaan rutin mereka, menyempatkan waktu untuk berkumpul dan berbincang-bincang layaknya keluarga yang normal.

"Nah, putriku, bagaimana harimu?" Tanya Chleo membuka suara.

Kalantha tersenyum cerah. "Sangat hebat, ibu. Aku dapat menjinakkan Zi siang tadi."

Chleo dan Bacilio membelakkan mata mereka. Astaga, putri mereka menjinakkan Zi. Kuda jantan terhebat dan terbuas di istana. Evander bahkan menghabiskan waktu seharian penuh untuk menjinakkan kuda satu itu.

"Kau menjinakkannya? Bagaimana bisa?" Tanya Bacilio yang tampaknya mulai menikmati perbincangan mereka.

"Benar, ayah. Akupun tak tahu. Memang awalnya ia tak mau denganku, tapi saat aku berhasil mengelus rambutnya, ia seketika diam dan menundukkan tubuhnya. Seperti memintaku untuk naik ke punggungnya." Jawab Kalantha dengan semangat.

"Wow, kita memiliki putri yang begitu hebat bukan, Bacilio."

Bacilio mengangguk. Ia benar-benar bangga melihat keberanian dan kehebatan putri semata wayangnya. Namun tampaknya itu semua harus disudahi sekarang. Bacilio meletakkan gelasnya perlahan.

"Ehem.."

Kalantha yang paham akan isyarat dari ayahnya langsung menghentikan obrolannya dengan sang ibu. Ia melihat Bacilio memasang wajah yang tampak serius. Mata hijau itu menatap tajam ke arahnya, seolah mengatakan sekarang dengarkan dirinya bicara. Kalantha sendiri bingung, kapan ia tak memperhatikan pria itu saat pria itu berbicara. Jawabannya hanya satu. Tak pernah.

"Kalantha, berapa usiamu sekarang?"

Kalantha mengernyit heran dengan pertanyaan barusan. Benarkah dewa hutan itu menanyakan hal itu padanya? Hei, dia adalah ayahnya sendiri. Bagaimana bisa Bacilio melupakan usia putri semata wayangnya. Atau Bacilio mengalami benturan yang begitu hebat sampai membuatnya kehilangan sebagian kecil ingatannya.

"Tujuh belas."

"Kalau begitu, kau sudah dewasa."

"Mungkin."

"Jadi, karena kau sudah dewasa, ayah pikir sudah saatnya ayah dan ibumu melepaskan kau." Ucap Bacilio dengan wajahnya yang tetap serius.

Kalantha tak mengerti. "Melepaskanku? Ayah dan ibu mau mengusirku dari istana?" Mata Kalantha melebar.

Bukan itu maksud Bacilio. "Ayah mendapat lamaran dari Helios tadi siang."

"Helios, dewa matahari?" Tanya Kalantha memastikan ingatannya.

"Benar. Dia melamarmu untuk menjadi istrinya." Bacilio kembali melanjutkan penjelasannya.

"Lalu?"

"Ayah menerima lamaran itu." Jawab Bacilio santai seraya mendekatkan tehnya.

Kalantha membuka mulutnya lebar. Apa barusan yang ia dengar, ayahnya menerima lamaran dari dewa itu. Astaga, ia masih berusia tujuh belas dan akan menikah? Apa yang ada di otak Bacilio saat menerima lamaran dari Helios.

"Apa? Kenapa ayah tak bertanya padaku dulu sebelum menerima lamaran itu. Aku masih terlalu muda untuk menikah. Dan lagi, aku tak terlalu mengenal Helios dengan begitu baik." Kalantha tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Bacilio.

"Kau sudah berusia tujuh belas, Kalantha. Usiamu sudah cukup pantas untuk berkeluarga. Kau pasti tahu, Helios adalah dewa surya. Pusat dari segala alam semesta. Seharusnya kau merasa tersanjung karena dipilih menjadi istrinya." Tambah Bacilio lagi.

"Ayah, aku baru saja menjinakkan Zi. Dan aku sudah harus meninggalkannya begitu saja. Aku tak mau. Aku sudah bersusah payah menjinakkan kuda jantan itu. Aku tak mau menikah bahkan jika ada dewa yang lebih tertinggi dari Helios, aku menolak untuk menikah." Kalantha menolak dengan tegas.

Bacilio menggeram. Giginya bergemelatuk dengan keras karena sikap pembangkang Kalantha. "Tidak akan ada lagi menunggang kuda. Tidak akan ada lagi berlatih memanah. Kau akan tetap menikah dengan Helios. Setuju atau tidaknya kau, aku tak peduli. Kau akan tetap berangkat menuju istana Helios besok. Aletha dan Alena akan mendampingimu disana. Kau paham itu."

Emosi kalantha sudah tak tertahankan lagi. Ini gila. Dia berdiri dan menatap Bacilio dengan tatapan yang tajam.

"Tidak. Aku tak mau menikah dengan dia. Aku hanya akan menikah dengan pria yang ku pilih. Aku tak perduli dengan Helios!"

"Kalantha.." Chleo menggumamkan nama putrinya yang entah dari mana memiliki keberanian membantah ucapan Bacilio.

"Sedari dulu aku selalu hidup dalam peraturan yang ayah buat. Ayah tak pernah membiarkanku melakukan apa yang aku suka. Setiap hari hidupku sudah diatur oleh perintah ayah, tanpa ayah memikirkan apa aku suka atau tidak. Ayah selalu melakukan semuanya dengan alasan kebaikanku. Tapi apa, aku malah merasa hidupku menderita. Aku harus kabur setiap ada kesempatan untuk membuat diriku sedikit merasakan kebahagiaan. Tapi tak apa ayah, aku tahu ayah sudah memikirkan semuanya dengan matang. Tapi sekarang, saat usiaku sudah tujuh belas, saat aku rasa aku bisa belajar banyak hal di luar istana, ayah malah mau menendangku keluar dari sini. Apakah ayah tak bisa memikirkan perasaanku walau hanya sekali saja?" Kalantha berteriak. Wajahnya sudah memerah dengan rahang yang keras.

"Diam, Kalantha!" Desis Bacilio.

"Tidak, ayah. Kau yang harus diam saat ini. Kau harus tahu bagaimana tersiksanya aku saat kau menerima lamaran itu yang bahkan aku tak ada disitu. Apa maksudmu, ayah? Kau mau membuatku gila? Tidak cukupkah kau membuatku menderita selama tujuh belas tahun ini? Apa karena dia adalah Helios sehingga ayah tak memiliki keberanian untuk melawan dewa satu itu?"

Bacilio meremas kuat cawan yang ada di tangannya. Dadanya sudah bergemuruh marah, namun ia tahan. "Aku bilang diam, Kalantha!" Suara Bacilio naik setengah oktaf.

Namun tampaknya Kalantha tak memperdulika peringatan itu. "Kenapa ayah? Apa karena yang kukatakan adalah sebuah kebenaran? Apa ayah takut Helios akan memporak-porandakan istana ayah jika ayah menolak lamarannya? Jadi secara tidak langsung kau menjualku, begitu? Kenapa kau begitu tega ayah? Kau sungguh pengecut.

Brak!

"AKU BILANG DIAM!"

Tubuh Bacilio sudah membara karena tersulut api emosi. Ia melemparkan cawan dari tangannya. Chleo segera berdiri dan memeluk putrinya. Menjaga Kalantha dari lemparan cawan Bacilio. Belum lagi duri-duri raksasa yang tiba-tiba saja tumbuh memenuhi ruang makan mereka. Begitulah yang terjadi jika suaminya telah emosi, benar-benar menggambarkan sosok itu adalah dewa hutan.

Kalantha tampak terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Matanya menatap sekeliling yang telah dipenuhi tumbuhan tajam itu. Astaga, tampaknya ayahnya benar-benar marah sekarang.

"Kau tidak berhak menolak, Kalantha." Pekik Bacilio begitu kuat.

Emosi Kalantha kembali, rasa takut yang barusan ia rasakan mendadak sirna karena desisan Bacilio.

"Tidak, aku berhak untuk itu." Kalantha tak mau diperlakukan seperti ini.

Bacilio menggeram. "Kau akan tetap menikah dengan Helios, Kalantha. Jika kau tetap keras kepala, aku sendiri yang akan menendangmu dari sini ke istana Helios."

Helios berteriak saat mengatakan itu. Benar-benar teriak. Kalantha bahkan merasa kalau jantungnya sudah lepas dari tempatnya karena kaget. Perlahan surai hitamnya berubah menjadi warna yang senada dengan netra teduhnya, biru langit.

Bibir mungil Kalantha tampak bergetar, setetes air matanya tumpah ke sudut bibir. Chleo memeluk Kalantha. Astaga, sangat mudah untuk menebak perasaan Kalantha yang tampak begitu hancur karena bentakan Bacilio.

"Kembalilah ke kamarmu sayang. Ibu akan menenangkan ayahmu disini."

Kalantha hanya diam. Tak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu. Tak perduli apakah duri itu akan melukai tubuhnya. Tapi tampaknya Chleo memerintahkan para duri itu untuk menyingkir, memberikan jalan untuk putrinya.

Kalantha kini duduk bersandar pada jendela kamarnya. Kakinya ia tekuk untuk menumpu wajahnya. Tangannya mengusap kakinya yang tak tertutup apapun. Malam sudah begitu larut, tapi Kalantha tak merasa kantuk. Ia masih terus menatap langit yang begitu cerah karena bundaran penuh itu. Bintang bertebaran begitu banyak, namun tak mampu membuat warna biru Kalantha memudar.

Angin malam berhembus lembut membelai wajahnya. Surai birunya melambai-lambai di udara. Namun, Kalantha sama sekali tak berniat untuk meninggalkan jendela. Matanya tak pernah lepas menatap purnama. Matanya yang sendu seolah sedang mengadu pada sang dewi malam, betapa hancur ia sekarang. Dan tampaknya, dewi malam sudah tak tahan melihat wajah sendu Kalantha.

"Anakku, Kalantha."

Sapaan lembut itu membuat Kalantha menolehkan wajahnya dari langit. Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun sutra putihnya. Wajahnya yang teduh menatap iba atas apa yang terjadi pada Kalantha. Lihatlah, bahkan dewi bulan memilih turun ke bumi karena tak tega melihat wajah memilukan itu.

Tangan Selena-sanga dewi bulan- terentang. Kalantha segera berlari, berhambur ke dalam pelukan hangat Selena. Menyesap aroma menenangkan dari dewi itu. Selena menuntun Kalantha menuju tempat tidur. Dibaringkannya tubuh Kalantha dan menjadikan pahanya sebagai bantalan.Tangannya mengusap lembut surai biru Kalantha.

"Selena, aku begitu sedih."

"Aku tahu, Kalantha. Bahkan tanpa rambut ini berubah birupun, aku tahu kau sedang bersedih."

"Selena, aku tidak mau menikah dengan Helios." Kalantha mulai mengadu pada Selena.

Selena mengangguk. "Lanjutkan, sayangku."

"Selena, aku tak mencintai Helios. Aku tak mau menikah dengan dengan dia. Tapi ayah memaksaku untuk menikah dengannya. Aku sudah menolak mati-matian, tapi ayah begitu egois. Ia tak mau mendengarkan apa kataku. Hiks.."

Suara kalantha terdengar bergetar karena air matanya yang sudah tumpah. Tangan mungil Kalantha terangkat untuk mengusap air mata di pipinya.

"Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, Selena. Hanya karena Helios adalah dewa tertinggi, ayah tak berani untuk menolak lamaran itu. Kenapa mereka begitu jahat padaku, Selena?"

Selena membiarkan air mata Kalantha tumpah di pahanya, membiarkan semua kesedihan gadis itu keluar melalui perantara cairan asin. Tangan lembutnya mengusap punggung Kalantha dengan perlahan. Seolah memberi ketenangan pada dewi alam muda itu. Setelah suara tangisan Kalantha sedikit mereda, Selena mulai membuka mulutnya.

"Kalantha, pernahkah kau terpikir kenapa semesta memberimu nama Kalantha?"

Kalantha menggeleng kecil. Bagaimana untuk berpikir kesitu, memikirkan arti namanya saja tak pernah terlintas di kepalanya.

"Kalantha adalah sebuah bunga yang paling indah. Bersinar diantara bunga lainnya dan aromanya yang begitu khas. Di manapun ia menetap, semua kaum akan langsung tahu bahwa itu adalah bunga Kalantha. Bunga itu bisa hidup di manapun, cuaca yang berubah-ubah bahkan tak bisa membuatnya layu. Semakin ekstrim cuaca yang dihadapinya, makan semakin kuat pula ia untuk hidup." Kalantha menelentangkan tubuhnya untuk menatap wajah Selena.

"Untuk itulah semesta ingin kau menjadi seperti bunga Kalantha. Kau harus kuat, anakku. Jika memang semesta berkehendak kau harus menjadi istri Helios, maka kau tidak bisa menolak itu. Tapi, jika semesta berkehendak untuk menjodohkanmu dengan yang lain, maka Helios sendiripun tak akan bisa melawan itu."

Selena mengatakan hal itu dengan mantap. Kalantha seperti mendapat kekuatan dari penuturan Selena. Benarkah pernikahannya dapat dibatalkan atas izin semesta? Kalau memang iya, betapa ia akan mengabdi untuk semesta.

"Dan satu lagi, Kalantha. Ada hal yang perlu kau tahu." Kali ini Kalantha dapat melihat raut keseriusan di wajah lembut bak purnama itu.

"Apa itu, Selena?"

"Jika kau berpikir kalau Helios adalah dewa tertinggi, maka kau salah besar Kalantha. Hanya karna ia adalah pusat dari semesta, tidak menjadikan dia sebagai yang tertinggi. Dia hanyalah dewa yang sama kita semua, di lahirkan dari semesta dan akan kembali saat semesta yang memanggilnya."

Kalantha merasa bingung sekarang. "Kalau begitu, siapakah yang tertinggi itu, selena?"

tbc