webnovel

The Lost of Him

Selena tersenyum datar, tidak ada kelembutan yang terpancar dari wajah rupawan Selena. Matanya seperti menyiratkan sesuatu yang Kalantha tak bisa selami. Tangan selena mengelus wajah Kalantha, menatap netra biru milik Kalantha. Ada jeda yang sedikit panjang sampai Selena mau membuka suaranya.

"Dia yang hilang, Kalantha."

***

"Apa yang sedang kau pikirkan, putri?"

Kalantha terperanjat keget akibat suara Alena yang begitu tiba-tiba. Untunglah Alena sigap memegang bahunya agar tak terjatuh dari griffin yang dinaikinya. Griffin adalah salah satu hewan yang dilindungi di negri putih. Hanya kaum dewa dan dewi yang boleh menunggangi hewan itu. Griffin sendiri adalah singa yang memiliki sayap elang. Dan dalam rombongan ini, hanya ialah yang menunggangi griffin. Alena mengendarai elang raksasa sedangkan Aletha berada di punggung Evander, yang setengah Pegasus hanya termasuk kedalam sepupu.

"Maafkan aku, Putri." Alena merasa bersalah karena mengagetkan Kalantha.

Kalantha menggeleng, "Tak apa, Alena. Aku hanya sedikit terkejut. Salahku yang tak memegang tali pelana dengan erat. Apa yang tadi kau tanyakan?"

"Oh, aku melihatmu dari tadi hanya dia. Menatap kosong pada awan. Sebenarnya apa yang mengganggu pikiranmu?"

Kalantha memilih diam. Ia mengulum bibirnya karena bingung harus menjawab apa. Apa perlu ia mengatakan hal ini pada Alena atau lebih baik diam dan memendam rasa penasarannya seorang diri saja.

"Kalantha." Alena kembali memanggil Kalantha yang tak menjawab pertanyaannya. Ia semakin yakin kalau ada yang sedang dipikirkan dewi alam itu.

"Ah, tidak ada. Aku tak memikirkan apapun, Alena." Kalantha tersenyum mengulum.

"Apa kita baru saja berteman lima menit yang lalu?" Alena tampak menyindir Kalantha yang tak bisa berbohong.

Kalanta mendengus lucu. "Bukan hal penting, Alena."

"Jangan menyembunyikan apapun dariku. Aku tak suka saat kau melakukan itu." Alena tetap memaksa Kalantha untuk berbicara.

Kalantha menyerah. Ia memang tak bisa menyembunyikan apapun dari dyrad satu ini. "Baiklah, aku sedang memikirkan ucapan Selena semalam."

"Selena? Dewi bulan? Jadi dia mengunjungimu semalam?" dan dijawab anggukan oleh Kalantha.

"Memangnya apa yang dikatakan oleh Selena?" Tanya Alena penasaran.

Kalantha menatap Alena. "Dia yang hilang."

Sontak saja senyuman di bibir Alena menghilang. Kalantha bahkan bisa melihat wajah Alena yang mendadak mengeras. Bahkan Alena tiba-tiba saja menggenggam kuat tali pelananya. Ada apa? Apa Alena mengetahui tentang 'dia yang hilang'?

"Ada apa, Alena. Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak apa, Putri. Aku rasa ini akibat udara yang tiba-tiba saja berubah. Aku harus segera beradaptasi. Hamba mohon permisi sebentar."

Alena memutar Elangnya menuju Aletha yang berada tak jauh di depan Kalantha. Kalantha tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Boro-boro mendengar, melihat gerakan bibir saja Kalantha tak bisa. Alena menutupi perbincangan mereka karena membelakangi Kalantha.

Namun Kalantha merasa ada yang tak beres dengan mereka. Apalagi setelah melihat raut wajah ketiga orang itu yang mendadak saja mengeras. Evander berteriak memerintahkan prajurit daun untuk lebih cepat. Mereka harus sampai sebelum matahari tenggelam.

Dan seperti yang tadi dikatakan oleh Evander, mereka sampai sebelum matahari terbenam. Mereka disambut oleh para prajurit minotaur -setengah banteng.

Sekarang mereka sedang menyantap hidangan yang disediakan oleh raja Helios. Dilihat dari ruang makan dan peralatan disini, Kerajaan Helios memang adalah kerajaan terbedar dan termewah. Tempat makan saja terbuat dari emas.

Dewa surya duduk di kursi yang terletak di kepala meja, kursi berlapis emas. Kalantha sadar bahwa dewa satu it uterus saja memperhatikan gerak-geriknya, namun ia begitu lelah untuk hanya merasa tak enak. Sebaiknya ia segera menghabiskan makannya dan permisi untuk istirahat.

"Megaly."

Wanita bersayap elang itu berjalan dengan penuh hormat memasuki ruang makan. Kalantha tahu kalau wanita itu adalah kaum harpy.

"Megaly, tolong tunjukkan kamar putri Kalantha. Dia perlu istirahat karena perjalan yang begitu melelahkan." Megaly menjawab dengan mengangguk sekali.

"Nah, Kalantha, kau sudah dapat beristirahat. Apalagi besok adalah hari yang panjang untuk kita berdua." Helios tersenyum dengan maksud yang terlihat begitu jelas.

Kalantha tak terlalu menanggapi itu. Ia hanya mengangguk lalu mengikuti harpy itu. Di belakangnya ada Alena dan Aletha yang selalu setia mengikuti kemana ia akan pergi.

"Ini adalah kamar anda, tuan putri.

Kalantha tak bisa menutupi rasa kagumnya akan kemewahan kamar ini. Kasur berbentuk lingkaran dengan ukiran emas itu membuat Kalantha terasa ingin cepat-cepat tidur. Apalagi di kamar ini ada kolam pemandian yang cukup luas yang dapat dilewati dengan jembatan kecil.

Namun Kalantha tak terlalu menyukai aroma terapi kamar ini. Terasa begitu menyengat. Membuatnya serasa ingin muntah. Setelah Megaly permisi keluar, Kalantha segera membuka pakaiannya sendiri.

"Jika kalian kelelahan, kalian bisa istirahat. Aku tak keberatan." Ucap Kalantha tanpa menatap Alena dan Aletha.

"Tidak, Kalantha. Mari aku bantu membersihkan dirimu." Ujar Alena menawarkan diri.

"Aku juga akan membantu." Ikut Aletha namun segera ditahan oleh Kalantha.

"Kau tak perlu ikut, Aletha. Kau boleh keluar untuk menemui Evander. Aku tahu kalian tak pernah punya cukup waktu untuk bertemu."

Pipi Aletha mendadak bersemu merah. Sepertinya dugaan Kalantha kalau elf satu ini memiliki hubungan dengan panglimanya. Kalantha menggeleng-geleng saat Aletha menanyakan apakah ia memang boleh keluar untuk menemui Evander. Alena tertawa melihatnya. Karena merasa malu, Aletha bergegas permisi keluar dari ruangan Kalantha.

Setelah gaun Kalantha terbuka seluruhnya, Kalantha segera menenggelamkan dirinya ke dalam kolam berisikan air jernih iu. Merelekskan tubuhnya akibat perjalanan yang begitu melelahkan. Alena mengambil susu dan menuangkannya ke rambut dan tubuh Kalantha. Tangan terampilnya memberikan pijatan pada kepala dan bahu Kalantha. Kalantha merasa penatnya terangkat karena pijatan Alena. Matanya terpejam, mencoba untuk lebih meresapi setiap jengkal sentuhan Alena pada kulit mulusnya. Mungkin tak masalah kan jika ia tidur sebentar saja.

Kalantha terus berlari, entah dari apa tapi ia merasa begitu ketakutan. Kepalanya menoleh cepat ke belakang, seperti tengah memastikan sesuatu. Jantungnya berdebar begitu cepat. Kakinya semakin ia percepat sampai tak sadar bahwa ada akar pohon yang cukup besar menyembul keluar dari tanah.

Kalantha kembali berdiri cepat, memasuki gelapnya hutan yang ia tak tahu apa nama hutan itu. Kalantah kembali terjatuh saat ia merasa menginjak sesuatu yang aneh. Ternyata itu adalah ranting yang tajam, menusuk telapak kakinya. Ia berjalan pincang, tak memperdulikan duri yang masuk semakin dalam ke kakinya. Namun lagi-lagi ia harus kembali terjatu. Dadanya terasa begitu nyeri Karena menghantam tanah yang begitu keras.

Mata kalantha membuka lebar saat melihat sepasang kaki berdiri di depannya. Kalantha mendongakkan wajahnya, ingin melihat wajah orang yang sedang berdiri itu. Namun wajah pria itu tak terlihat jelas karena membelakangi bulan. Mata Kalantha menyipit, mencoba menajamkan indra penglihatannya. Namun tetap saja gagal.

"Kau siapa?"

"Aku adalah orang yang sedang kau cari-cari itu, Kalantha."

Entah kenapa Kalantha seperti bisa merasa kalau sosok itu tengah menyeringai kepadanya. Namun, ia begitu menyukai suara berat itu.

"Aku tak mencari siapapun." Jawab Kalantha lemas.

"Kau mencariku, Kalantha."

Kalantha semakin tak mengerti. "Siapa yang sedang kucari, tuan? Aku merasa sedang tak mencari siapapun."

"Dia yang hilang."

Kalantha membuka matanya cepat. Mengerjap-ngerjapkan bulu mata lentiknya lalu berusaha menormalkan degup jantungnya. Dia memandang sekeliling. Ia masih berada di sini. Di tempat yang sama. Kolam dengan Alena yang masih setia memijat tubuhnya, tadi. Astaga, jadi tadi itu hanya mimpi. Tapi entah kenapa terasa begitu nyata. Ia bahkan bisa merasakan rasa nyeri saat ia terjatuh dalam mimpinya itu.

"Kalantha, apa kau baik-baik saja?"

Kalantha tak menggubris pertanyaan Alena. Tangannya menepuk dadanya pelan. Sekali lagi Alena bertanya hal yang sama, namun Kalantha tetap diam. Alena menghela nafas pendek lalu berdiri mengambil kain penutup tubuh Kalantha. Setelah membalut tubuh Kalantha, Alena berjalan menuju kotak kayu berisi pakaian Kalantha. Ia memilih gaun tidur berwarna biru dan memakaikannya pada gadis itu.

Alena menyisir rambut panjang Kalanta seraya mengajak dewi itu berbincang-bincang. Namun Kalantha sama sekali tak mendengar apa yang dikatan oleh dyrad itu. Pikirannya melayang ke mimpi yang baru saja ia alami. Entah kenapa itu terasa begitu nyata. Ia belum bisa menerima bahwa itu adalah sebuah mimpi.

"tha, Kalantha."

Kalantha terkejut karena tepukan di bahunya. Ia mendapati Alena yang menatap ia dengan tatapan khawatir. "Astaga, sebenarnya ada apa dengamu?"

"Aku tak apa. Hanya memikirkan mimpi barusan." Jawab Kalantha.

"Apa yang sebenarnya kau mimpikan, huh?"

Lagi-lagi Alena dibuat geram karena hanya mendapat gelengan dari Kalantha. "Oh, ayolah. Ceritakan apa mimpimu barusan. Kau terlihat seperti orang aneh, Kalantha."

"Buat apa aku menceritakannya, kau saja tak akan mau memeberi tahu apa yang nantinya aku tanyakan kepadamu." Kalantha tampak kesal karena terus di paksa mennceritakan mimpinya.

Alena mendengus. Ia paham sekarang kalau Kalantha tengah merajuk padanya.

"Baiklah, aku akan menajawab pertanyaanmu."

Kalantha mengangkat alisnya, seperti mempertanyakan keseriusan dari kata yang baru saja diucapankan oleh Alena.

"Apa? Kau tidak percaya denganku?" Ucap Alena dengan sinis.

"Baiklah. Kalau begitu beritahu aku, siapa itu 'dia yang hilang'?"

Alis Alenya mengernyit, menandakan ia tak suka membahass tentang itu. Namun, semakin Alena menolak menjelaskan semakin tinggi rasa penasarannya.

"Sebenarnya apa yang membuatmu begitu penasaran tentang itu?" Tanya Alena.

"Kau cukup menjawabnya, Alena. Kau sudah berjanji."

Entah sudah berapa kali Alena menghela nafas. Akhirnya ia menyerah. Kalantha akan tetap seperti itu sampai ia mendapat jawaban dari pertanyaannya barusan.

"Baiklah, dengarkan aku baik-baik. Aku hanya akan menjelaskan ini satu kali. Tidak ada pengulangan." Ucap Alena memperingatkan.

"Telingaku masih cukup baik untuk mendengar penjelasanmu." Timpal Kalantha.

Alena memutar bola matanya. "Dia yang hilang adalah penguasa dari negri bawah, sang kegelapan. Abadi dan tak tertandingi kuasanya. Dia adalah raja kaum demon. Terkenal akan kesadisan dan kekejamannya. Ia adalah kaum terkutuk yang tak pantas berada di atas muka bumi ini."

Kalantha mengernyit tak suka, tapi kenapa ia harus tak suka. apa yang membuat ia tak suka? "Alena, kenapa dia disebut sebagai dia yang hilang?"

"Karena dia tak pernah lagi terlihat selama 5000 tahun. Dia seperti hilang, Kalantha. Tapi tetap saja tak pernah ada yang berani menyebutnya. Entah kenapa, tapi setiap yang menyebut namanya pastilah akan mati. Untuk itu aku melarangmu menyebutnya." Alena mencoba menjelaskan pada Kalantha.

"Lalu, kenapa kau dan aku tidak mati?"

Alena mengedikkan bahunya. "Entahlah. Akupun tak paham."

Kalantha hanya diam dan menatap kosong ke depan. Entah kenapa sulit baginya untuk menerima semua penjelasan yang dilontarkan Alena. Hatinya seperti menolak keras setiap hal itu. Tapi kenapa? Ada apa dengan hatinya? Seperti ada gemuruh yang begitu keras dalam dada.

"Kau tidak berbohong kan?" Tanya Kalantha penuh selidik.

Mata Alena membulat, tak percaya dengan suara yang ditangkap oleh indera pendengarnya. "kau tak mempercayaiku?"

"Bukan, bukan seperti itu maksudku. Hanya saja, ah sudahlah. Aku akan tidur."

Kalantha tak tau mau mengatakan apa lagi. Kepalanya terasa berputar-putar karena sosok gelap itu. Tapi, jika kata Selena sosok itu adalah yang tertinggi, kenapa harus dari kaum terkutuk itu? Kenapa tidak dari kaumnya?

Jauh di bawah perut bumi, seorang pria tengah menyeringai. Taringnya menyembul keluar dari dalam mulutnya. Matanya berkilat merah. Sangat merah, bahkan melebihi warna darah. Sayap hitamnya terbentang begitu lebar.

Sungguh indah namun mematikan. Seringaiannya begitu mengerikan di balik wajah rupawan itu. Secawan yang berisikan cairan merah kental masuk melewati kerongkongannya. Begitu manis pikir pria itu.

Ia meletakkan cawan itu ke atas nampan yang berada di sebelah singgasananya. Kepalanya terangkat dengan kedua tangan yang melipat di depan mulut. Besok, hanya tinggal besok. Ia harus cukup bersabar untuk memiliki dewi itu.

"HA HA HA."

Suara tawanya menggelegar ke segala ruangan. Mengusir kesunyian dalam kegelapan. Matanya kembali berkilat merah dengan seringainya yang semakin jelas. Segala kaum yang berada di dekatnya memilih untuk mundur perlahan, meninggalkan ruangan sang penguasa tersebut.

Walau suasana hati pria itu sedang baik, tak menutup kemungkinan pria itu akan membunuh mereka yang dapat merubahmood baiknya. Iblis bodoh mana yang mau berurusan dengannya? Bahkan dewa saja tak berani mencari masalah dengannya walau ia tak pernah menampakkan dirinya kembali ke permukaan.

Sebentar lagi, ia akan kembali ke permukaan. Ia akan keluar dari persembunyiannya yang sudah berabad abad. Dewi itu akan menjadi alasan ia untuk kembali ke permukaan dan tidak ada yang dapat menghalanginya. Bahkan Helios yang mereka agung-agungkan tak akan mampu mengalahkannya. Karena dialah yang telah hilang dan akan segera kembali.

tbc