webnovel

Penerus

"Blarr!! Blarrr!" Tembakan meriam itu meluluhlantahkan seisi lantai 2 SMA Arcmont. Seluruh warga sekolah mengamankan diri melalui jalur emergency. Berkumpul di lapangan olahraga di belakang sekolah. Sementara Jean dibantu beberapa personil kepolisian, lengkap dengan armor dan persenjataan. Tampak puing-puing kaca dan dinding yang hancur berserakan, jatuh ke halaman sekolah.

"Evakuasi seluruh warga sekolah, terutama mereka yang terjebak di dalam gedung." Polisi bersenjata dengan sigap menjalankan komando dari komandan mereka.

"Tap! tap! tap! tap! tap!" Jean berlari dengan cepat, melompati anak-anak tangga menuju lantai 2. Mendengar dari belakang decitan langkah kaki itu, Edward yang mengejar Lissa pun terhenti. Ia menyadari keberadaan seseorang yang berlari menghampirinya.

"Menyerahlah sekarang!" Jean menodongkan pistol revolvernya, bermaksud menghentikan pengguna Avatar itu dari kelakuannya. Lissa yang selamat dari kejaran kepala meriam langsung kabur menyelamatkan diri.

"Kau pasti sudah tahu akibatnya bila peluru itu menewaskanku, kan? Aku yakin kau takkan menarik pelatuk itu, kau hanya menakutiku. Sebuah kebetulan aku bisa bertemu denganmu." Ucapnya dengan nada sinis. "Sekarang panggil Avatarmu itu, mari kita adu siapa yang terkuat!". Kepala meriam itu malah menantang Jean untuk beradu Avatar.

"Menyala, Agnimodra." Memantik korek apinya, membakar kertas-kertas yang berserakan, Agnimodra mewujud. "Ini yang kau mau?" Dengan napas terengah-engah, Jean tampak serius di dalam ekspresi lelahnya, menghadapi kekacauan yang bertubi-tubi.

"Rabid, ini saatnya." Edward mengerahkan Avatarnya. Rabid berlari di atas telapak kaki raksasanya, beserta kuda-kuda untuk melontarkan pukulan mautnya, Cannon Punch.

"CANNOOOON PUUNCHHHH!!" Pekikan Edward memenuhi koridor sekolah.

Agnimodra pun turut merapalkan jurus pamungkasnya yang pernah membakar tubuh Svier.

"Akan langsung kuakhiri ini." Jean sudah kehabisan tenaga setelah semalaman dikejar oleh Dynavolt.

"BLAAAARRRRRRRRR!!!!!!" Dua kekuatan besar saling bertabrakan. Pukulan maut Rabid beradu dengan semburan api Agnimodra. Tubuh Rabid yang tercipta dari baja dapat menahan panasnya Blue Rupture. Avatar api biru itu terus menahan tekanan dari Cannon Punch, begitu pula sebaliknya. Semburan api bersibaran ke seluruh penjuru arah, membakar dinding di sekitarnya.

"WOAAAGGGHHHH!!!" Perbedaan kekuatan membuat Agnimodra kewalahan, ia terpental jauh. Belum selesai, Rabid menembakkan meriamnya kearah Agnimodra yang terlontar. Menyebabkan ia terdorong hingga menerobos dinding di ujung koridor. Jean masih tak ingin menarik Avatarnya, berharap Edward takkan berani menghabisinya.

Sementara itu, James, Lissa, dan teman-temannya turut serta membantu pengamanan di lapangan olahraga.

"Kamu ada urusan apa dengan orang itu?" Tanya James kepada Lissa.

"Aku membocorkan rahasia, tentang keberadaan Aaron sekarang." Gumam Lissa merasa menyesal.

"Aku memberitahu di mana Aaron saat ini kepada seorang wanita, katanya dia adalah keluarga jauh Aaron yang mau bertemu."

"Maksudmu wanita yang tampil di televisi tadi malam? bocah dari puing-puing itu maksudnya Aaron?" Sahut teman James penasaran.

"Iyap, yang dia maksud adalah Aaron. Sekarang kita tidak tahu nasibnya akan bagaimana, pasti wanita itu sudah menemuinya."

"Pasti dia baik-baik saja, sih. Selama dia bersama Jean yang sudah terkenal sering menyelesaikan kasus-kasus aneh seperti ini." James mempercayai teman akrabnya itu.

Pagi itu, di saat pertemuan Aaron dan Jennifer.

"Oleh karena itu, teruskan tekad ini. Ambil kekuatan ini. Aku yakin kau adalah orang yang terpilih." Ucap Jennifer dengan suara lirih, mendekati Aaron.

"Jean, dia seorang pembunuh bayaran? Selama ini dia melarangku untuk menggunakan kekuatan penyerapan ini karena bisa membunuh orang lain, tetapi dia juga..." Aaron tak habis pikir, kehabisan kata-kata setelah mendengar kebenaran itu.

"Cepat atau lambat, dia pasti akan mengincarku. Sebelum itu terjadi, ambillah kekuatanku, dan aku akan bertemu kembali dengan Daniel." Wanita itu menjulurkan tangannya, ia tampak pasrah dengan takdir hidupnya.

Edward berjalan menghampiri Jean yang hampir terkapar, kehabisan tenaga. Memungut revolver perak yang terjatuh di lantai, dan menodongkan moncongnya ke kening Jean.

"Ada pesan-pesan terakhir? Aku sudah lama ingin menghabisimu dengan tanganku sendiri, inspektur. Aku tahu betul siapa kau sebenarnya, seorang pembunuh bayaran yang merenggut nyawa temanku." Ujar Edward.

"...."

Jean terdiam mendengar itu. Sebuah tamparan keras baginya yang telah lama bekerja membereskan tindak kriminal di Arcmont.

"Klik!" Edward menarik tuas mulai bersiap menarik pelatuk. Jean hanya menatap mata Edward dengan tatapan kosong. Mengingatkan kejadian sepuluh tahun lalu, dimana ia harus kehilangan ketiga rekannya. "Roger.. Noah.. Rosalind.. Mungkin ini saatnya.. kita akan bertemu lagi."

"Selamat tinggal..."

"Dorrr!!" Timah panas itu ditembakkan. Aroma angus api mengisi lorong koridor itu. Asap sisa bakaran kertas cukup menghalangi pandangannya. Butuh waktu cukup lama untuk ia memahami apa yang terjadi. Listrik kembali mengaliri jaringan, seketika alarm asap berdering keras. Di balik asap yang mengepul di hadapannya, bersinar remang-remang sebuah cahaya hijau.

"Uhuk! Uhuk!" Ia telah menghirup banyak asap selama pertarungan itu, membuat dadanya sesak.

Sosok di hadapannya tampak hanya terdiam, cahaya itu meredup, ia menghilang.

"Blamm!" Pukulan keras menghujam tengkuk Edward dari balik pandangannya. Ia terpental ke dalam kepulan asap. Suara alarm itu cukup mengganggu konsentrasi, kekurangan oksigen ditambah pukulan keras di tengkuk itu turut mengaburkan pandangannya.

Dengan terseok-seok, ia mencoba memfokuskan tatapannya, melihat siapa orang yang memukulnya dengan keras.

"Aa.. Aaron?"

Kekuatan yang baru diperolehnya membuat dia dapat berpindah kemana saja secepat kilat, melalui jaringan listrik. Ia memikul Jean di bahunya, menyelamatkannya dari tembakan revolver.

"Serahkan ini padaku." Ucap Aaron dengan tegas. Jean masih terdiam dengan senyum tipis, tak menyangka bahwa dirinya masih bisa lolos dari maut, untuk kedua kalinya. Setelah menurunkan lengan Jean dari bahunya, ia dalam sekejap menghajar Avatar bertubuh baja yang berada di samping Edward.

"Jlarr!!!" Belum sempat memberikan perlawanan, pukulan beraliran listrik voltase tinggi menyengat, menembus tubuhnya dengan mudah hingga tubuhnya tak bisa bergerak. Edward dengan segera menarik kembali Avatarnya. Aaron yang kini dapat berpindah tempat dengan cepat kemudian melontarkan serangan membabi buta.

"Zip! Blam! Zip! Blam! Ziipp! Blamm!!!" Aaron berlari dengan langkah secepat kilat, menumbuk Edward bertubi-tubi dari berbagai arah, sampai ia hampir tak sadarkan diri.

"Aaron, Jennifer.. dia menyuruhmu untuk menghentikanku, kan?" Tanya Edward dengan nafas engap.

"Ya. Dia menyerahkan kekuatan ini kepadaku untuk meneruskan tekad Bethlam. Sekaligus menghentikan apa yang telah kau perbuat, semenjak kau memilih keluar dari kelompokmu."

"Seberapa banyak yang kau tahu soal Bethlam, hah? Aku benar-benar tak menyangka dia menceritakan semua ini kepadamu. Kami telah berpisah lama sejak sepeninggal Adam, karena merasa bersalah atas kepergiannya. Jennifer tetap bersama Daniel, sedangkan aku hidup sendirian. Aku mencoba untuk mengakhiri rantai kebencian yang diciptakan oleh ayahmu bersama Jean. Aku pikir dengan membunuh Jean maka ini akan selesai. Aku mencoba mengakhiri balas dendam tanpa ujung ini. Aku telah berusaha menutupi informasi keberadaanmu, tetapi temanmu membocorkannya kepada orang asing yang tak ia kenal. Hancurnya gedung sekolah ini adalah bukti kesabaranku yang telah habis. Maafkan aku." Edward meminta maaf oleh apa yang ia perbuat. Air matanya tercerai berai, membasahi luka-luka di sekujur tubuhnya.

"Jean, apa yang Jennifer katakan itu benar?" Aaron yang membelakangi Edward pun tergemap. Tak bisa menentukan kemana ia akan berpihak. Sosok Jean yang ia kenal kini berpaling seratus delapan puluh derajat setelah mengetahui kebenaran akan itu. Di sisi lain, kelompok yang mengambil nyawa kedua orang tuanya bukanlah orang yang benar-benar jahat, walaupun Aaron masih tak bisa menerimanya.

Ini sebuah dilema.

Edward pun akhirnya pingsan setelah kesulitan bernafas. Pihak polisi datang dan memborgolnya. Pemuda itu telah diamankan. Aaron bersama Jean perlahan turun memijaki anak tangga satu persatu, kembali ke toko barang antik.

Hari yang benar-benar melelahkan.