Emma hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata Alex. Pemuda itu benar. Ini bukan urusannya. Hanya saja mengingat Mary ternyata menyukai Haoran, Emma merasa tidak enak jika memberi tahu gadis itu bahwa ia sebenarnya cukup kenal dengan Haoran, dan bahkan sering ke rumahnya. Dalam hati ia hanya bisa berharap Mary tidak usah tahu sampai selamanya, minimal sampai mereka lulus SMA.
"Ini minumannya," petugas konter minuman menyela obrolan mereka. Emma menerima minumannya dan mengangguk arah Alex.
"Aku duluan."
Alex hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap ke arah Emma yang berjalan menemui kedua teman makan siangnya. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan memfoto Emma dari jauh. Dengan menyunggingkan cengira iseng, ia mengirim foto itu ke ponsel Haoran.
[Ha. Suruh siapa kau tidak mau ikut ke kantin hari ini] Ia menuliskan pesan di bawah foto itu.
Emma merasa senang karena Mary dan Nadya mengajaknya makan siang bersama. Kedua gadis itu tampaknya menyukai Emma. Karena mereka duduk di dekatnya, Mary dan Nadya sedikit banyak sempat berinteraksi dengan Emma.
Sehingga, setelah beberapa minggu mereka akhirnya menyimpulkan bahwa Emma tidak sombong dan tak mau bersosialisasi; gadis itu hanya pendiam dan tidak mempedulikan urusan yang bukan urusannya. Tidak seperti kebanyakan orang lain yang selalu ingin tahu dan senang bergosip.
Setelah acara makan siang bersama Mary dan Nadya hari itu, hubungan Emma dan kedua teman sekelasnya itu menjadi lebih baik. Sesekali Emma akhirnya akan ikut ke kantin bersama mereka, walaupun tidak sering. Ia masih suka menyendiri di kelas dan mempersiapkan bahan-bahan mengajarnya.
***
Semakin dekat waktu libur musim panas, Emma semakin rajin menghitung hari menuju perjalanan karyawisata ke Paris. Ia sudah tidak sabar untuk menginjakkan kaki ke kota itu dan mencari informasi tentang orang tuanya.
Semakin lama sikapnya terlihat semakin tegang. Ia benar-benar sudah tidak sabar. Namun demikian ia berusaha untuk menenangkan diri dan menfokuskan dirinya pada ujian akhir semesternya dan juga ujian akhir semester murid-murid lesnya.
Bagaimanapun Emma merasa bertanggung jawab atas peningkatan nilai Haoran, David, Eric, Dinh, dan Alex. Ia akan merasa bersalah telah menerima uang mereka kalau ia gagal membuat nilai-nilai mereka meningkat.
"Bagaimana kalau kita menambah frekuensi belajar setiap hari selama minggu ujian?" tanya Haoran seminggu sebelum ujian akhir semester. Mereka sedang berkutat dengan soal-soal latihan buatan Emma dan ia merasa persiapan mereka masih jauh dari memadai. Targetnya bukan main-main: pindah ke kelas A saat kenaikan kelas 3 nanti.
"Ya, aku merasa kita perlu banyak latihan seminggu sebelum ujian tiba, dan setiap hari selama minggu ujian," cetus David menambahkan.
Ayahnya yang seorang pengacara terkenal sangat senang melihat niat anaknya untuk mulai belajar dan sudah menjanjikannya hadiah mobil kalau David memang berhasil pindah ke kelas 3A di saat kenaikan kelas nanti. Iming-iming hadiah itu membuat David menjadi lebih bersemangat dari yang lainnya.
Emma mengangguk.
"Aku setuju. Bagaimana dengan kalian yang lain?"
Seharusnya Emma tahu bahwa pertanyaannya tidak berguna, sebab bagi Eric, Dinh, dan Alex, perkataan Haoran adalah hukum. Jadi, tentu saja mereka akan setuju dengan rencananya. Apalagi David juga sudah bersemangat untuk menambah jadwal les mereka selama ujian.
Melihat mereka semua mengangguk, Emma tersenyum puas. "Kalau begitu, hari jumat kita akan belajar untuk mata ujian hari Senin. Sementara nanti di minggu ujian kita akan bertemu setiap hari. Mulai Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Jumat kita tinggal beristirahat dan menghibur diri di hari terakhir ujian."
Kelima pemuda itu mengangguk bersamaan.
***
"Astaga... tidak terasa, minggu depan sudah ujian. Setelah itu libur semester dan kita ke PARIIIIISSS..." cetus Nadya dengan penuh semangat. Ia duduk di kursi depan Emma dan menarik tangannya. "Emma, bagaimana kalau di hari terakhir ujian kita berbelanja barang-barang keperluan untuk karyawisata ke Paris?
Emma yang sedang membereskan buku-bukunya mengerutkan keningnya keheranan. Siang itu adalah adalah hari jumat terakhir belajar normal sebelum mereka menghadapi ujian minggu depannya.
Nadya sudah memperhatikan bahwa akhir-akhir ini Emma terlihat tegang dan ia mengira gadis itu diresahkan oleh minggu ujian. Karena itulah ia mengusulkan kepada Emma untuk membuat rencana menghibur diri setelah ujian berlalu dengan berbelanja.
"Belanja untuk apa? Kita kan tidak perlu barang khusus untuk bepergian ke sana?" tanya Emma heran. "Minggu depan Paris sudah memasuki musim panas. Kita tidak perlu jaket atau apa pun."
"Bukan itu maksudku," Nadya memutar matanya dan mendecak karena Emma ternyata tidak suka belanja. "Kita harus belanja pakaian yang cantik-cantik. Masa kau tidak ingin kelihatan mempesona di setiap foto yang diambil di depan menara Eiffel, di Sacre Coeur, dan semua tempat wisata di Paris?"
Emma menggeleng. "Tidak."
"Astaga... kau ini perempuan atau bukan sih?" Nadya mengomel-ngomel. Ia lalu menoleh kepada Mary. "Bagaimana denganmu? Kau mau pergi berbelanja denganku sebelum acara karyawisata kita? Kau pasti ingin kelihatan cantik di depan Haoran selama acara di Beijing nanti, kan?"
Mary mengangguk kuat-kuat dan tersenyum lebar. "Tentu saja!"
Mendengar betapa Nadya dan Mary begitu bersemangat dengan rencana belanja mereka, Emma menjadi tidak enak. Selama ini ia memang tidak suka berbelanja. Barangnya pun tidak banyak. Namun, ia suka berteman dengan Mary dan Nadya.
Akhirnya, walaupun dia sebenarnya tidak berminat untuk belanja ataupun melakukan kegiatan-kegiatan perempuan lainnya, Emma merasa bahwa kali ini ia harus membuat pengecualian.
"Uhm... aku ikut, deh." Akhirnya Emma berkata kepada Mary dan Nadya yang sudah membuat daftar barang-barang yang ingin mereka beli. Kedua gadis itu menoleh ke arah Emma saat mendengarnya bersedia ikut. Wajah mereka tampak senang sekali. "Aku bisa ikut. tapi mungkin aku tidak belanja apa-apa..."
"Wah, bagus! Sekarang sih kau bisa berkata begitu, tapi lihat saja nanti kalau kita sudah ke pertokoan dan melihat berbagai barang cantik-cantik, pasti kau akan luluh. Aku yakin aku bisa menemukan satu atau dua barang yang akan kau sukai," cetus Nadya dengan penuh semangat.
Emma tidak yakin Nadya akan berhasil membuatnya membeli barang yang tidak perlu, tetapi ia senang melihat temannya itu tampak begitu gembira karena Emma memutuskan ikut dengan mereka.
***
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Haoran tiba-tiba saat dia menyerahkan lembar latihan soal dari Emma yang sudah di isinya.
"Eh.. apa?" tanya Emma. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Haoran dengan ekspresi meminta pemuda itu mengulangi pertanyaannya. Hari ini Emma tidak terlalu fokus pada sekelilingnya.
Haoran tersenyum tipis. "Pasti kau sedang membayangkan segera tiba di Paris. Kepalamu penuh dengan pikiran itu sehingga tidak bisa memikirkan yang lain."
"Kau benar," Emma menatap Haoran dan berpikir bahwa di dunia ini rasanya yang paling mengerti dirinya adalah Haoran. Karena, sama seperti dia, Haoran juga sama-sama merindukan suatu tempat yang tidak bisa didatanginya.
Ah, setidaknya Emma kali ini akhirnya akan bisa datang ke Paris setelah memimpikannya selama hampir 12 tahun. Haoran tetap tidak bisa menemui ibunya di China. Tentu kerinduan nya selama lima tahun ini sudah begitu mendalam.
Emma segera dipenuhi simpati terhadap Haoran. Ia menyentuh tangan pemuda itu dan menepuk-nepuknya dengan lembut.
"Haoran, kau pasti suatu hari nanti akan bisa bertemu ibumu."
Pemuda itu balas menatap Emma. Sesaat kemudian Haoran mengembangkan seulas senyum tipis dan mengangguk.
"Aku harap begitu," balasnya pelan.
Keduanya tidak banyak berbicara berdua selama ini. Kegiatan mereka bersama selalu disibukkan oleh belajar dan belajar. Emma bisa melihat keseriusan Haoran untuk benar-benar pindah kelas ke kelas A dan tekadnya ini diikuti pula oleh keempat temannya.
Emma menduga, walaupun Haoran menyukainya, pemuda itu tidak mencoba untuk melakukan langkah-langkah pendekatan secara serius kepada Emma karena ia merasa belum pantas untuk gadis itu secara akademis. Statusnya sekarang adalah murid kelas F dengan reputasi sebagai murid paling gagal di sekolah, sementara Emma berasal dari kelas terpandai.
Kadang-kadang Emma berpikir bagaimanakah perasaannya terhadap Haoran sendiri. Selama ini mereka berteman dan hubungan mereka cukup baik. Tetapi Emma tidak tahu apa yang akan dilakukannya kalau Haoran benar benar akan menunjukkan rasa suka kepadanya secara terbuka.
Ia tahu bahwa Haoran menyukainya sejak mereka pertama bertemu dari Alex. Pemuda itu senang menggosipkan Haoran setiap kali ia mengantar Emma pulang ke rumah setelah pelajaran les. Tetapi hingga kini, Haoran masih bersikap biasa kepada Emma.
Ia selalu santai dan tidak pernah sengaja mendekati Emma dan memintanya menemuinya, hanya mereka berdua saja.
"Ah, Emma... buat apa kau memikirkan hal yang belum pasti?" Emma mengomeli dirinya sendiri saat ia memikirkan Haoran ketika ia sedang menyiapkan contoh latihan soal ujian. "Saat ini kau punya dua tugas. Yang pertama adalah memastikan anak-anak lesmu mendapatkan nilai ujian yang bagus. Dan yang kedua adalah mencari informasi tentang orang tuamu di Paris. Kau tidak boleh membuang waktu."
***
Waktu berlalu begitu cepat dan tanpa terasa akhirnya minggu ujian pun tiba. Wajah-wajah murid SMA St. Catherine yang biasanya ceria dan penuh kegembiraan, selama seminggu penuh berubah menjadi serius dan gelap.
Anak-anak kelas kelas unggulan, baik itu kelas 1A, 2A, maupun 3A, dan sebagian dari kelas B, rata-rata miliki respons yang sama terhadap ujian. Mereka tampak siap dan bersemangat. Sementara anak-anak kelas C, D, hingga F, semuanya tampak keruh dan putus asa. Ujian selalu menjadi momok yang tidak disukai siswa pada umumnya.
Semua siswa kelas 2F membenci ujian dan berharap minggu ujian segera berlalu, kecuali lima orang pemuda yang sudah belajar keras selama dua bulan terakhir. Mereka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka bisa berubah. Apalagi target mereka tidak tanggung-tanggung. Mereka ingin pindah ke kelas A saat kenaikan ke kelas 3 nanti.
[Selamat ujian. Semangat ya.] Emma menulis pesan itu kepada kelima muridnya. Sebagai guru les mereka, ia merasa paling deg-degan dengan hasil ujian mereka.
[Kami tidak akan mengecewakan] balas Haoran satu menit kemudian. [Kami akan membuat guru les kami bangga.]
Emma tersenyum tipis saat membaca balasan dari Haoran. Mary melihat Emma yang sangat jarang tersenyum itu tampak tersenyum sambil memandang ponselnya dan menjadi curiga.
"Itu SMS dari siapa? Kau tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta," komentarnya.
Emma mengerutkan keningnya saat mendengar kata-kata Mary. "Benarkah?"
Mungkin benar, pikirnya dalam hati.