Ceklek
Pintu kayu terbuat dari Jati itu terbuka. Menampilkan siluet sosok lelaki dengan tubuh tinggi tengah memasuki ruangan yang dalam keadaan temaram tersebut. Tangan besar lelaki itu tampak meraba dinding untuk menggapai saklar lampu.
Keadaan berubah saat Fabian berhasil menyalakan saklar lampu. Ruang kamar yang tadi terlihat temaram, kini sudah terlihat terang. Menampilkan kamar dengan aroma musk yang dominan dan dinding yang dilapisi cat abu-putih, menambah kesan maskulin pemilik kamar tersebut. Biar pun seorang lelaki yang menempati kamar tersebut, namun keadaan kamar itu nampak bersih dengan barang-barang milik Fabian yang tertata dengan apik. Berbanding terbalik dengan nalar orang awam yang mengira kalau kamar lelaki jauh lebih berantakan dan tak tertata di banding kamar wanita.
Fabian berjalan sedikit tergopoh menuju kasur yang berada di pojok ruangan. Dihempaskan begitu saja bokong lelaki itu setelah sampai disana. Fikiran nya masih terganggu dengan perkataan Diva saat di bioskop tadi. Nampak jelas dari wajah gadis itu, bahwa ia sudah sangat lelah menghadapi diri dan egonya yang secara tidak langsung menyakiti hati murni gadis itu.
Ia merogoh saku nya guna mengeluarkan ponsel miliknya. Tanpa ada niat membukanya Fabian melempar ponsel berlogo apel sudah tergigit itu dengan asal ke kasur. Kemudian, ia kembali merogoh sakunya dan menemukan ponsel Diva disana. Sepertinya gadis itu lupa memintanya. Atau mungkin ia yang lupa untuk mengembalikannya?
Tanpa ambil pusing, Fabian meletakan ponsel itu di atas nakas yang berada di sakunya dan berniat untuk merebahkan tubuh di atas kasur berukuran single yang empuk itu. Saat akan membaringkan tubuhnya, ia dikejutkan dengan suara notifikasi masuk. Ia langsung meraih ponselnya dan melihat layar ponselnya yang gelap, menandakan bukan ponsel miliknya yang berbunyi. Lalu Fabian kembali melempar ponsel itu ke kasur dan meraih ponsel Diva yang baru saja ia letakan.
Benar.
Ponsel Diva lah yang berbunyi. Ada sebuah pesan masuk dari Whatsapp gadis itu. Sayang, ia tidak dapat melihat siapa pengirim nya karena ponsel tersebut dalam keadaan terkunci.
Namun rasa penasaran lelaki itu kian membuncah sesaat setelah ponsel tersebut kembali berdenting diikuti dengan notifikasi pesan selanjutnya.
“Siapa nih yang nyepam Diva?” Katanya penasaran. Ia meng-scroll up layar kunci itu dan coba menerka 6 angka yang merupakan password untuk membuka ponsel tersebut. Tangan dengan lihai mengetikan beberapa angka disana, tanggal kelahiran Diva.
Gagal
Pria itu sempat berdecak. Ia kembali memutar otak untuk menebak angka berapa yang menjadi password ponsel tersebut.
Ya! Diva tipikal wanita simpel dan tidak mau ribet. Mungkin password ponselnya menggunakan angka yang sama sebanyak 6 kali. Tetapi angka berapa?
Fabian mengacak rambutnya semakin kesal. Karena ponsel Diva kembali berdenting dan mungkin saja itu dari pengirim yang sama. Angka apa yang harus ia coba? Tidak mungkin ia mencoba satu-persatu karena ponsel Diva bisa saja terblokir. Setelah berpikir panjang akhirnya pria itu memilih angka 0 untuk dicobanya.
Masih gagal
Fabian mengerang kesal. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan dengan cepat menuliskan nya disana. Dan...
Berhasil
Diva menggunakan tanggal jadian mereka sebagai ponsel tersebut. Seketika Fabian tersenyum mengetahui itu, disatu sisi ia juga senang akhirnya ponsel tersebut dapat terbuka. Namun sedetik kemudian, senyuman pria itu luntur dan digantikan dengan geraman dari bibirnya saat melihat display name pengirim pesan beruntun kepada Diva tadi.
“Bangsat!”
***
“Kamu jaga rumah ya! Papa mungkin pulang agak malem,” Kata Alvin sembari menepuk anak punggung anak sulungnya, Rio. Tanpa melihat respon Rio terhadap dirinya, Alvin langsung bergegas menuju Salsa dan Diva yang sudah menunggunya di dalam mobil.
“Udah, Pa?” Tanya Salsa saat Alvin baru saja masuk ke dalam mobil dan menempati kursi kemudi. Alvin mengangguk dan tersenyum. Alvin menoleh sekilas ke putri bungsunya yang duduk di kursi belakang dengan ipod di tangannya, gadis itu tengah sibuk mendengar lagu.
Alvin sempat dibuat bingung dengan perubahan Diva yang mendadak menjadi pendiam. Bahkan saat ia bertanya pukul berapa gadis itu pulang, hanya dijawab senyum tipis olehnya.
“Kamu kalo mau dirumah aja gapapa, Div,” Kata Alvin sembari men-starter mobil nya.
Diva menatap sekilas lelaki itu dari kaca spion tengah mobil. Melepas sebelah headphone nya sedari tadi tidak menyala gadis itu menjawab, “Aku mau ikut aja, Pa. Aku bosen di rumah.”
Gadis itu tampak murung. Bahkan Salsa, yang cantik dengan balutan baju berwarna Pink dengan hijab berwarna abu-abu itu juga menyadarinya.
Diva, gadis itu tampak seperti manusia purba tanpa ponsel ditanganya. Ia memang tergolong orang yang tak bisa lepas dari benda pipih tersebut. Dia juga bingung bagaimana cara ia meminta Fabian mengembalikan ponselnya. Karena sekarang ia sudah malas berhadapan dengan pria itu lagi.
Tidak memakan waktu lama untuk sampai tujuan mereka, yaitu Rumah adik perempuan dari Alvin yang bernama Amara. Wanita itu baru saja melahir kan anak kedua nya. Dan itu menjadi alasan Diva memilih untuk pergi kerumah tante nya karena ia suka dengan bayi terlebih aromanya.
Alvin mematikan mesin mobil dan keluar setelah memarkirkan mobilnya di garasi. Ia berjalan beriringin dengan Salsa yang membawa sebuah di tangan nya. Sementara Diva membuntuti mereka dari belakang.
Rumah tante nya Diva akui sangatlah nyaman. Tantenya itu sangat gemar merawat tanaman. Bahkan rumah ini di kelilingi dengan taman yang di tanami berbagai jenis tanaman hijau. Gadis itu menghirup nafas dalam menikmati udara segar yang tercipta disana. Mungkin ia akan mengikut jejak tantenya saat ia mempunyai rumah sendiri nanti, karena ia suka dengan suasana segar yang sangat terasa disini.
“Aunty Diva!” Teriak anak lelaki sesaat saat melihat Diva. Bocah lelaki itu terlihat datang dari arah belakang rumah. Disusul dengan wanita yang menggendong seorang bayi mungil di tangannya, ia tersenyum mengetahui siapa yang bertamu.
Wanita itu menghampiri Alvin dan Salsa untuk bercipika-cipika melepas rindu di antara mereka. Sudah lama mereka tidak bertemu. Hal itu disebabkan oleh Arkan, suami Amara. Dia melarang Amara untuk mengunjungi rumah Alvin karena kondisinya yang sedang hamil. Selama masa kehamilan Arkan sangat posesif pada Amara.
“Kamu apa kabar?” Tanya Alvin. Nampak jelas kerinduan dari sorot mata lelaki paruh baya itu. sedikit sesak dihatinya karena tidak menyempatkan diri untuk berkunjung kerumah adik satu-satunya itu karena kesibukan nya.
“Baik kok kak.” Balas Amara. Amara mengalihkan pandangan nya menatap Salsa. Ia tersenyum dan dibalas oleh Salsa.
“Sukur deh kalo kamu gapapa. Oh ya! ini, aku sama Diva yang buat,” Dengan bangga Salsa memberikan papper bag coklat berisi brownis kepada Amara dan diterima dengan senyum bahagia oleh wanita itu.
“Wah! Wanginya udah kecium. Pasti enak nih.” Amara mengendus papper bag itu. Salsa memang pandai dalam hal memasak dan membuat kue. Dan itu diakui oleh orang-orang terdekat yang berkesempatan menyipinya.
“Pasti enak dong, Tan. Ada campur tangan aku tuh,” Celetus Diva. Gadis itu berjalan mendekat ke arah Amara dan menyalami tangan wanita itu.
Gadis yang sopan.
“Yah! Agak ragu ini mah tante kalo ada campur tangan kamu,” Ledek Amara dengan tatapan Jahilnya.
“Ish!” Diva merengut, mencebikan bibirnya. Amara, Alvin dan Salsa tertawa melihat itu. Amara dan Diva memang sangatlah akrab layaknya sorang bibi dengan ponakan nya. Keduanya tak sungkan untuk mengejek dengan nada bercandaan satu sama lain.
Diva mengalihkan pandangan nya. Sedikit menunduk menatap bocah lelaki yang tadi memanggilnya. Dengan jahil Diva mengacak rambut bocah itu dan berbisik kepadanya, “Mama kamu minta di sleding, Bi.”
Abi, nama bocah lelaki itu. Menatap bingung ke arah Diva. Tak mengerti apa yang gadis itu katakan. “Aunty, ngomong apa sih?”
Diva terkekeh.
Sementara Amara memicing tajam menatap Diva karena mendengar bisikan gadis itu.
“Peace, Tan!” Diva tersenyum jahil mengacungkan dua jari nya.
“Aunty! Aunty!” Panggil Abi, bocah lelaki itu menarik-narik baju Diva berusaha menarik perhatiannya.
“Apa, Bi?”
“Ikut aku yuk!” Tanpa aba-aba bocah berumur 5 tahun itu menarik Diva.
“Eh! Mau kemana?” Diva yang tak siap itu mengikuti Abi, dengan sedikit tergopoh. Diva mengikuti Abi yang menariknya ke area belakang rumah tersebut.
Ketiga orang dewasa itu menggelengkan kepala menatap mereka.
“Yuk kak, masuk!”
***
“Pelan-pelan aja, bi! Nanti kamu jatoh.” Ucap Diva memperingati dan tak di indahkan oleh bocah itu. Dia masih mengikuti Abi yang masih menarik bajunya sambil berlari. Diva tak tahu, kemana bocah ini akan membawanya.
“Huft! Aku capek, Aunty.” Keluh Abi. Tangan mungilnya tergerak mengusap peluh di keningnya. Masih terus berlari ia menarik Diva sampai ke area taman belakang rumahnya. Tepatnya, ke sebuah kandang besi 2 tingkat dengan kucing di dalamnya.
“Kamu yang ngajak aunty lari, kamu yang capek.” Nafas Diva sedikit tersengal, mengingat jarak dari halaman depan ke area belakang rumah Tante nya ini cukup jauh dan luas. Abi memang benar-benar menguras tenaga nya.
Dengan cekatan bocah itu membuka kandang besi tersebut dan dengan perlahan mengeluarkan kucing kecil bewarna putih yang tadi ada didalam nya. Abi mengelus sayang anak kucing tersebut, kemudian duduk bersila tepat di depan kandang besi itu. “Aunty! Sini!”
Diva mendekat dan duduk di hadapan bocah laki-laki itu.
“Liat deh! Lucu kan kucing Abi.” Dengan tersenyum bangga bocah itu mengangkat anak kucing tersebut dan memamerkan nya di depan Diva.
Mata kucing yang bulat itu menatap penuh ke arah Diva yang juga menatap gemas kepadanya, badan nya yang gembul ditutupi bulu berwarna putih nan bersih.
“Ih! Kok gemes sih, Bi.” Diva dengan cepat meraih anak kucing itu kemudian menggendongnya. Jika dilihat sekilas anak kucing tersebut berwarna putih. Namun, jika diliat lebih teliti lagi bulu nya tidak putih sepenuhnya. Di kepala anak kucing tersebut terdapat warna hitam pudar dan warna oren muda di sekitar hidungnya.
Abi sempat merengut karena Diva dengan asal merebut kucingnya. Namun, tak lama ia tersenyum bangga mendengar pujian dari Diva. “Iya dong. Kucing siapa dulu.”
***
“Arkan kemana?” Tanya Alvin sambil menyesap kopinya.
“Meeting dadakan, kak.” Amara sibuk menimang bayi nya yang tengah tertidur.
“Lagi libur malah kerja,” Sindir Alvin. Ia meletakan dengan perlahan cangkir dengan kopi yang sudah sisa setengah di dalam nya di atas meja. Ia menyandar di sofa menatap Amara yang terunduk dengan senyum tipis di bibirnya.
“Ga ngaca kamu, Pa?” Balas Salsa menoleh padanya dengan menaik turunkan alisnya.
“Pfftt!” Amara menahan tawanya melihat kakak iparnya yang berhasil membuat lelaki itu terdiam.
Mereka bertiga tengah berada di ruang tengah rumah bernuansa mediterania itu. Sofa nya di susun apik membentuk huruf U dengan TV layar datar besar yang ada di hadapan nya. Rumah ini di cat dengan warna dominan putih dan cream tua di beberapa sudut.
Tak lama gadis dengan balutan jeans dan kaos putih itu masuk dengan wajah cemberut dengan bocah lelaki di belakangnya. Gadis itu duduk dengan tidak santainya menatap sengit ke arah bocah yang duduk di samping ibunya dengan menjulurkan lidah, meledek ke arahnya.
Alvin, Salsa dan Amara menatap mereka bergantian. Mereka bingung, sebelumnya mereka baik-baik saja tetapi tidak dengan sekarang. Diva yang cemberut dan menatap sengit ke arah Abi. Dan bocah itu membalasnya dengan meledek Diva.
“Ini anak kenapa lagi?” Tanya Alvin menatap Diva.
“Abi tuh, Pa! Aku gak boleh main sama kucingnya. Padahal aku baru pegang bentar.” Ucap Diva setengah merengek. Badan mungil nya merosot di sofa dan merengek seperti anak kecil.
Salsa menghembuskan nafasnya. Diva memang seperti anak kecil yang tidak mau mengalah. "Kamu udah gede loh, Div. Masa ngambek gitu aja."
"Ish..."
Amara melirik Abi, dan bertanya dengan bocah itu dengan lembut. "Kenapa ga boleh aunty nya main sama kucing kamu?"
"Nanti Aunty Diva bawa pulang kucing aku," Kata Abi dengan wajah polos nya.
"Ish emang pelit!" Seru Diva tak terima.
Diva meraih gelas berisi sirup merah dengan es batu di dalam nya sambil menatap Abi yang ada di depan nya dengan sengit.
"Wajar Abi begitu, dia masih kecil belum paham. Dia ngerasa itu milik dia dan dia berusaha buat ngejaga dia. Kek kamu ga gitu aja. Emang mau apa yang udah kamu milikin di milikin orang juga?" Kata Alvin menasehati putri bungsu nya itu.
"Uhuk~" Diva menepuk dada nya perlahan yang terasa sakit karena tersedak.
TBC
Hai sesuai janjinya Minggu ini Possessive Playboy up dua kali. Kemungkinan lusa udah up lagi. So, di tunggu aja ya.
Oh ya buat kalian yang suka sma cerita about "kinky" besok aku bakalan publish cerita baru aku lohh. So, stay tuned terus.
See you next chapter