webnovel

~ 17 ~

Mata Fabian yang tajam bak elang itu tak berhenti melirik kesana dan kemari. Sesekali ia menunduk untuk melihat dua buah tiket bioskop di tangan kanan nya. Sementara tangan kiri pria itu masih nyaman menggenggam erat tangan mungil milik Diva.

Sekali sentak, pria berbadan tinggi semampai itu kembali menarik Diva. Dan kembali di hadiahi dengusan oleh si gadis.

Mata Fabian kembali menatap setiap lantai pijakan tangga di bioskop itu, disana terdapat kode angka yang menandakan Row atau barisan kursi yang terjejer.

Row F Seat 3 dan 4, tertulis dengan jelas di kedua tiket yang di pegang oleh Fabian.

Tak mudah untuk nya menemukan kursi untuk mereka. Karena keadaan bioskop yang sudah cukup ramai memudahkan mereka menemukan dua kursi kosong bersebelahan yang telah Fabian pesan.

Lalu, kedua nya duduk bersebelahan dengan Diva di sebelah kiri Fabian. Wajah wanita itu berseri menatap layar bioskop yang masih gelap, melupakan kejengkelan nya dengan Fabian. Terlihat jelas gadi itu sangat tidak sabar menonton film yang sudah sangat ia nantikan.

Diva melepas tas selempang miliknya kemudian dipangkunya. Gadis itu tidak sadar akan pria di sebelah nya yang kembali sibuk dengan ponsel di tangan nya.

Dengan tidak sabar wanita itu mengayunkan kaki nya. "Fab! Balikin Hp aku dong! Aku mau bikin snapgram nih," Katanya menoleh ke Fabian.

"Apasih? Gausah alay!" Sarkas Fabian. Ia langsung mematikan ponsel nya dan menatap Diva yang kembali cemberut.

"Kalo lo megang hp, nanti ga bakal fokus sama film nya."

"Oh iya, ya! Aku kan, kayak kamu yang suka lupa dunia kalo udah megang hp. Tapi bedanya aku ga sampe kacangin orang" Ucap Diva menyindir. Gadis itu menyender kan badan nya malas dan melipat kedua tangan di depan dada.

Memutar kedua bola matanya kesal Fabian tak mengindahkan sindiran Diva barusan dan kembali sibuk dengan ponsel nya.

"Mau kemana?" Kata Fabian sesaat setelah melihat Diva bangkit dari duduk nya.

"Toilet." Kata Diva acuh, ia mengalung kan tas selempang berwarna dusty pink itu di lengan kanan nya dan berjalan keluar teater bioskop untuk menuju toilet, sebagai sarana di bioskop itu.

Sebenarnya ia tidak sedang ingin buang air. Pergi ke toilet hanya alasan klasik dari nya yang sudah malas Fabian acuh kan. Malam Minggu kali ini dengan Fabian sama seperti malam Minggu sebelumnya.

Tidak sesuai ekspektasi.

Bibir Diva mencebik kesal, menatap penampilan nya di cermin toilet wanita. Membenarkan sedikit posisi jaket besar milik fabian. Kemudian, ia menyalakan kran air tersebut dan mulai membasuh tangan nya.

Persetan dia akan ketinggalan film tersebut. Tiba-tiba mood nya kembali memburuk. Tentu saja, karena Fabian alasan nya.

Mengembuskan nafas berat, gadis berumur 16 tahun itu mengeluarkan liptint di tas selempang nya. Kemudian membaurkan liptint tersebut di bibir merah alami miliknya. Setelah dirasa cukup ia kembali memasukan liptint tersebut kedalam tas dan bersiap kembali menuju teater. Persetan, Fabian juga tidak akan mencari nya.

Bruk

"Sorry..." Gumam seseorang yang baru saja menabrak Diva dengan tidak sengaja.

"Ck! Jalan pake mata dong mas!" Cerca nya. Tanpa menatap pria itu Diva kembali melanjutkan langkah kaki nya.

"Galak amat," Gumam pria beralis tebal tersebut. Pria berperawakan lebih tinggi dari Fabian itu langsung mengangkat bahu nya acuh dan tubuh tegap nya pun menghilang di balik pintu toilet pria.

***

"Lama banget," Sahut Fabian saat Diva baru saja mendudukkan bokongnya di kursi bioskop.

"Penuh tadi," Alibinya.

Fabian hanya ber-oh ria. "Bibir lo kurang merah tuh," Ucap Fabian yang berisi sindiran.

"Masa?" Dengan cepat gadis itu membuka tas selempang miliknya dan berniat mengambil cermin kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.

Namun, tangan besar Fabian berhasil menahan nya. "Gua nyindir lo bego! Ngapain sih pake lipstik menor begitu."

"Liptint," Ucap Diva mengoreksi. "Ya, suka-suka aku lah! Bibir bibir aku, mau di katain orang sekalipun juga ga peduli."

"Kok lo sewot sih?!" Emosi Fabian mulai terpancing.

Bibir Diva kembali terkatup saat akan membalas perkataan Fabian. Ia menyadari kalau perdebatan nya dengan Fabian berhasil menyita perhatian orang-orang yang duduk tak jauh dari kursi mereka.

Lagi, gadis itu kembali membuang nafas kasar. Percuma berdebat dengan Fabian, ia akan kalah karena Fabian pandai memainkan kalimat.

Tak lama berselang film pun di mulai. Semua mata menatap layar besar bioskop, tak terkecuali pasangan yang duduk bersebelahan itu.

Fabian dan Diva.

Perlahan tapi pasti senyum kembali mengembang diwajah ayu milik Diva. Tingkah konyol Woody dan teman-teman nya berhasil mengembalikan mood nya.

Saking seru nya menikmati film tersebut Diva tak sadar sudah menempatkan kedua kaki nya di atasnya kursi dan menegapkan badan nya.

Fabian mencuri pandang sesekali, memandang gadis itu. Memang, kalau sudah terfokus pada suatu hal Diva acap kali tak sadar dengan apa yang dia lakukan. Tak jarang pula Fabian akan menegurnya. Namun, untuk kali ini Fabian memilih untuk membiarkan. Ia tidak ingin mengusik gadis itu. Tampak jelas dari wajah nya, ia sangat menikmati film tersebut.

Fabian kembali menonton film tersebut yang tengah menampilkan adegan Bonnie yang tengah membuat mainan dari sebuah garpu plastik. Adegan tersebut berhasil mengundang tawa sebagian orang di dalam bioskop. Tak terkecuali Diva dan Fabian. Hal itu di sebabkan oleh bentuk mata mainan itu yang berukuran tidak sama.

Fabian makin di terkekeh, perutnya tergelitik melihat mata mainan tersebut yang terkesan juling. "Anjir! receh banget si Forky," Ucap nya tak sadar.

Diva menghentikan tawanya dan melirik Fabian. "Forky? Siapa Forky?"

"Itu, garpunya. Nama nya Forky."

Diva sempat memicing bingung menatap Fabian, namun di hiraukan gadis itu dan memilih menikmati film itu kembali.

Selama tiga puluh menit film berlangsung. Banyak adegan di film tersebut yang berhasil mengundang gelak tawa penonton nya. Terlebih Diva yang sangat menyukai film tersebut bahkan dari seri pertama film itu di tayang kan.

"Ngeselin banget sih, si jereng!" Gumam Diva yang merasa gemas dengan Forky yang beberapa kali mencoba untuk melarikan diri karena merasa dirinya tak layak untuk di jadikan mainan.

Fabian terkekeh mendengar keluhan Diva. "Iya, emang. Dia itu awal dari semuanya. Biang nya tuh dia." Kata Fabian.

"Oh..." Ucap Diva, gadis itu kembali menyadarkan tubuhnya di kepala kursi.

Fabian sedari tadi memang memperhatikan gadis itu yang berulang kali sibuk merubah posisi duduk nya. Dari bersandar di kursi hingga kembali menegapkan badan nya, terlihat dengan jelas antusiasme Diva terhadap film itu.

Fabian ikut menyandarkan badan nya, menyamai posisi nya saat ini dengan Diva. Kemudian pria itu berkata, "Taruhan sama gua. Lo bakal nangis liat endingnya," Katanya dengan percaya diri.

Saat itu juga, Diva langsung menoleh. Menatap Fabian dengan matanya yang memicing. Ia sadar, kemana arah pembicaraan Fabian sedari tadi.

"Tunggu-tunggu! Ini aneh." Kata Diva yang mulai curiga. "Kamu tau nama mainan garpu itu, bahkan di film nya belom di sebutin siapa nama karakter nya. Kamu juga bilang Forky biang masalah nya, padahal film ini masih belum masuk ke konflik. Dan kamu bertaruh sama aku tentang ending film ini, bahkan film ini ditayangin belum ada setengah dari durasi film nya," Ucap Diva dengan sekali tarikan nafas. Bahkan tak dihiraukan lagi oleh nya posisi mereka di tengah keramaian seperti ini.

Diva memejam kan matanya, menarik nafas dalam dan kembali menatap tajam Fabian. "Segitu detil nya kamu tau film ini?"

Fabian tertegun. Berusaha keras menelan salivanya. "Jangan berisik Div, lo ganggu yang lain." Ucapnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Jawab aku! Kamu udah pernah nonton sebelum nya kan?" Diva menyeringai. "Sama siapa? Jenisa? Adek kelas kamu yang kecentilan itu?"

"Div!" Fabian hampir saja membentak nya. Tangan Fabian meremas kuat pegangan kursi tersebut.

Diva mendongakan kepalanya guna menahan air mata yang mendesak keluar. "Jadi, i-ini alasan kamu ga angkat telefon aku waktu itu? Kamu lagi jalan sama dia?" Ucap Diva lirih.

Diam

Fabian membungkam, ia sama sekali tak berani menatap Diva yang masih terus menatap dirinya meminta penjelasan. Ia memilih membuang wajah nya dan menatap kosong ke arah depan.

Diva tertawa sumbang, mengalung kan tas di lengan. Bangkit dari kursinya, dan memilih pergi tak berminat menyaksikan kembali film tersebut.

Fabian menggeram, mengacak rambut kesal dan dengan segera menyusul Diva.

Sementara itu, Diva setengah berlari meninggalkan tempat tersebut. Ia mengusap kasar air mata yang kini mulai deras turun dari mata teduhnya. Persetan dengan film itu, tak peduli dengan seberapa menguras air mata akhir cerita film tersebut. Karena kisah cinta nya tak jauh berbeda dari film itu. Bahkan lebih menguras air mata.

"Div!" Fabian berhasil menahan lengan gadis itu. "Film nya belum selesai."

Diva memberontak sekuat tenaga melepas cengkraman pria itu. Namun nihil, tenaga nya tak sebanding dengan pria itu.

"Div! Jangan kekanakan lah." Kata Fabian, lagi.

Diva membalikan badan nya dan langsung menatap pria itu. "K-kekanakan kamu bilang? Hiks, aku capek kamu boongin. Aku juga capek Fab kamu hiks giniin terus."

Ada rasa tak enak hinggap di hati Fabian menatap mata Diva yang basah karena air mata.

"Lo childish Div! Gua cuma jalan sama Jenisa. Nemenin dia nonton, ga lebih," Alibi nya.

"Huh! Terserah. Kali ini, aku ga peduli." Dengan sekali sentak Diva berhasil menepis tangan Fabian. Dan dengan cepat gadis itu berlalu.

Berjalan gontai meninggal kan Fabian yang masih meneriaki namanya. Tak peduli banyak pasang mata yang menatap ke arah nya. Ia terus tetap berjalan.

Sesak di dadanya kembali bertambah saat Fabian sama sekali tak ada niat untuk mengejar nya. Perlahan gadis itu kembali menatap kebelakang dan melihat Fabian dengan santai masuk kembali ke dalam bioskop itu.

***

Setelah membayar taksi yang baru saja ia tumpangi. Dengan langkah gontai Diva masuk ke dalam rumah nya yang sudah dalam keadaan sepi.

Baguslah, tak kan ada yang menyadari penampilan nya berantakan dengan sembab di matanya.

Saat akan menaiki tangga menuju kamarnya, ia tak sengaja berpapasan dengan Rio yang sudah kembali kerumah. Entah selepas dari mana pria itu, tapi Diva sempat mencium aroma Rio yang sangat mengusik Indra penciuman nya.

Rio berlalu begitu saja melengos di hadapan nya. Diva yang masih memikirkan aroma tubuh Rio yang tak biasa itu pun memilih kembali melanjutkan langkahnya.

Ia langsung menjatuhkan tubuh nya di atas kasur berukuran queensize setelah sampai di kamar milik nya. Mata nya membelalak menyadari satu hal.

Ponsel nya masih berada di tangan Fabian.

TBC.

Malem gaiss. Selamat hari ramadhan semua semoga puasa kalian lancar ya untuk sebulan kedepan. Nah! Sambil nemenin kalian jalanin ibadah puasa. Biar makin semangat aku bakal up chapter 18 secepatnya. Dan untuk chap seterusnya akan aku up secepat nya juga. So, di tunggu aja yaa