Saat ini Gelora sedang asik memasak di dapur dibantu oleh beberapa maid. Hari ini dia sengaja ingin memasak makanan kesukaan Pragma. Agar pria itu percaya, bahwa dia tidak akan kabur lagi.
Beberapa saat kemudian, Gelora telah menggoreng daging ikan fillet dilapisi oleh tepung, itu adalah salah-satu makanan kesukaan Pragma. Kentangnya juga telah masak, selanjutnya dia menyusunnya di atas piring. Akhirnya fish and chips Pragma telah jadi, Gelora bersorak senang melihat hasilnya.
"Nyonya, semua makanan sesuai permintaan Anda sudah jadi. Semuanya juga sudah dihidangkan di meja makan," beritahu Suzie pada Gelora. Dia memang sengaja menyuruh Suzie membantunya memasak, menu makanan kesukaan semua orang. Kecuali menu makanan Pragma sendiri.
"Kamu panggil Tuan Zaelan dan Nyonya Raeni saja," sahut Gelora.
"Baik Nyonya," jawab Suzie.
"Jangan lupa panggil Rudolp juga," tambah Gelora mengingatkan.
Membuat Suzie terdiam karena Rudolp tidak pernah ikut bergabung makan bersama dengan keluarga Abraham di meja makan. Biasanya pemuda itu akan makan bersama pengawal yang lain di ruangan khusus mereka. Ruangan yang memang disediakan untuknya.
"Kenapa?" tanya Gelora bingung melihat reaksi Suzie.
"Tuan Rudolp memiliki ruangan makan pribadi, Nyonya. Apakah saya harus memanggilnya?" Bukannya menjawab Suzie malah bertanya balik.
"Yah panggil saja. Ini perintah dariku, dia sudah seperti saudara Pragma sendiri," jelas Gelora mengingat kebaikan Rudolp semalam yang membantunya. Bahkan tadi pagi dia mengingatkan Gelora lagi, agar segera ke kamar Pragma. Sebelum pria itu bangun tanpa melihat ia di sampingnya, Pragma akan mengamuk dan salah paham lagi padanya. Bisa gawat kalau ia terlambat satu menit saja.
Suzie akhirnya mengangguk dan pergi dari sana. Senyuman hangat terpampang di wajahnya, saat melihat Raeni dan Zaelan berjalan ke arahnya. Jadi dia tidak perlu repot-repot untuk memanggilnya, bukan?
"Ada apa Suzie. Kenapa kamu nampak sumringah seperti itu?" tanya Raeni.
"Nyonya Gelora menyuruh saya memanggil Anda dan Tuan," jawab Suzie.
"Serius?" tanya Raeni tak percaya.
Dan Suzie mengangukkan kepalanya semangat. "Iya Nyonya, dia sudah memasak makanan kesukaan semua orang. Termasuk makanan kesukaan Tuan Pragma."
"Astaga aku tidak menyangkah dia akan berbuat seperti itu," ucap Raeni tertawa pelan membuat Zaelan ikut tersenyum tipis. Keluarganya jauh lebih hidup sekarang, sejak kedatangan wanita itu. Dia sudah jarang melihat Raeni murung dan Pragma yang mengamuk tidak jelas.
"Baiklah Suzie terima kasih sudah memberitahu saya," balas Raeni masih dengan sisa tawanya.
"Rudolp kenapa kau lambat sekali mendorong kursi rodanya," decak seseorang keras mengalihkan atensi mereka.
"Bersabarlah Tuan," balas Rudolp. Heh jangan salahkan dia, Pragma saja yang terlalu lebai seperti ini. Dia sudah mendorong kursi roda tersebut sewajarnya.
"Ckck kau ini," dengkus Pragma tidak suka.
"Selamat pagi Tuan, Nyonya, Bibi Suzie," sapa Rudolp mengabaikan decakan Pragma.
"Pagi," sahut Raeni dan Suzie bersamaan. Berbeda dengan Zaelan dia menatap anaknya.
"Bagaiamana kondisimu?" tanyanya sembari mengusap rambut Pragma.
"Jauh lebih baik, Ayah," sahutnya.
"Syukurlah," balas ayahnya mengambil alih pegangan kursi roda Pragma. Menyuruh Rudolp untuk menyingkir, membiarkan dia yang mendorong kursi roda anaknya.
Berbeda dengan Raeni dia masih terlihat canggung terhadap Pragma.
"Ada apa Ibu?" celetuk Pragma tiba-tiba, menyadari gerak-gerik Raeni yang sepertinya ingin berbicara dengannya.
"Tidak ada Sayang," jawab Raeni cepat entah mengapa aura Pragma kali ini terlihat lebih positif terhadapnya.
Selebihnya tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Sampai di mana Gelora terlihat, sedang menata makanan barulah Pragma menyunggingkan senyum lebar.
"Rama."
"Lora."
Sapa mereka secara bersamaan, membuat mereka berdua sontak tertawa.
"Selamat pagi Sayang," ucap Pragma menyudahi tawanya lebih dulu.
"Pagi Rama," sahut Gelora mendudukkan dirinya di samping Pragma.
"Selamat pagi," sapa Zaelan.
"Pagi Ayah," balas Gelora.
"Rudolp kamu mau ke mana?" tanya Gelora bingung saat Rudolp ingin pergi dari sana. Setelah membantu Pragma duduk.
"Sarapan Nyonya," jawab Rudolp mengerutkan ke dua alisnya. Jangan bilang Gelora ingin menyuruhnya lagi. Aish ini tidak bisa dibiarkan, Rudolp sama sekali belum mengisi perutnya.
"Kamu tidak ingin ikut sarapan bersama kami? Padahal saya, sudah menyiapkan sarapan untuk kamu juga," beritahu Gelora membuat Pragma segera meraih tangan Gelora di bawah meja. Dia mengenggam erat tangan wanitanya, sebagai bentuk protes tidak suka atas perkataan Gelora tadi.
"Saya sarapan di ruangan pribadi bersama yang lain," sahut Rudolp kalem pada Gelora. Yaiyalah tidak mungkin dia menjawabnya dengan sinis seperti biasanya.
"Kamu sarapan bersama kami saja," ucap Gelora dengan penekanan.
"Tapi saya tidak bisa Nyonya," bantah Rudolp mulai jengah.
"Rama, bilang padanya untuk sarapan bersama kita. Aku sudah lelah mempersiapkan semua makanan kesukaan semua orang, termasuk dia, tapi dia sama sekali tidak menghargaiku." Jika Gelora sudah mengadu menggemaskan seperti ini. Pragma tidak bisa untuk menolaknya, begitupun dengan Rudolp juga.
"Rudolp turuti apa maunya istriku, meskipun aku sedikit cemburu. Tapi tak apalah, kali ini aku mengizinkan Gelora memasak untukmu. Tapi lainkali, itu tidak akan terjadi lagi," kata Pragma panjang lebar dengan wajah datarnya.
Zaelan akhirnya bisa mengembuskan napas lega karena Pragma akhirnya, tidak berbuat hal buruk lagi ketika dia tidak menyukai sesuatu.
"Baik Tuan," jawab Rudolp
"Kamu duduk di sini," ucap Raeni menyuruh Rudolp.
"Selamat menikmati," sahut Zaelan mulai menyantap makanannya. Begitupun dengan yang lainnya, berbeda dengan Gelora dia sedang menyuapi Pragma dengan talenten.
"Sangat enak," puji Pragma saat telah menelan makanannya.
"Kalau enak yah dimakan lagi dong," imbuh Gelora memasukkan kentang goreng itu ke dalam mulut Pragma.
Pragma diam menerima suapan Gelora lagi. Bersama Gelora sangat menyenangkan membuatnya tenang.
"Kamu tidak melupakan makanan kesukaan kami yah," sahut Raeni tak tahan untuk berbicara kepada Gelora.
"Masakan kamu masih selalu enak. Seperti dulu," tambah Zaelan. Memang benar adanya, rasa masakan Gelora tidak berubah sedari dulu. Dia jadi merindukan semua masakan anak itu, yang selalu memanjakan lidahnya.
"Saya tidak akan pernah lupa tentang hal itu," sahut Gelora.
Berbeda dengan Rudolp dia terlihat canggung berada di tengah-tengah keluarga majikannya. Anda saja, dia makan di ruangan pribadinya. Pasti dia tidak akan menjaga imagenya dalam makan. Sungguh masakan Gelora sangat enak, pantas Pragma sedari dulu ingin makan masakan wanita itu. Ternyata masakannya sangat enak.
"Kamu tidak makan?" tanya Pragma saat melihat Gelora terus menyuapinya. Dia telah menghabiskan setengah dari makanannya.
"Nanti aku makan," jawabnya dibalas gelengan kepala oleh Pragma. Pria itu menutup mulutnya rapat, saat Gelora ingin menyuapinya kembali.
"Kamu juga harus makan," ucap Pragma.
Sejenak Gelora mengembuskan napas, beralih meletakkan sendok di piring. Dia ingin mengambil makanan untuk dirinya sendiri, namun Pragma menghentikan pergerakannya.
"Kamu bisa makan di piringku Sayang," tegurnya membuat Gelora mematung.
Wanita itu diam sehingga seluruh atensi mengarah kepadanya. Menyadari Gelora yang enggan makan sepiring dengannya, Pragma membuang pandagannya ke arah lain.
"Apakah aku semenjijikkan itu. Sehingga kamu tidak ingin makan di bekasku, padahal aku tanpa ragu memakan-makanan bekas darimu!" Pragma kembali menatapnya, sehingga Gelora menguasai kesadarannya kembali. Dia tidak boleh membuat Pragma curiga kepadanya.
"Baiklah Rama, jangan marah seperti itu. Dan lihatlah." Gelora menyendokkan makanan bekas Pragma ke dalam mulutnya.
Wanita itu mengunyahnya dengan pelan. Pragma bungkam dibuatnya, sehingga beberapa saat kemudian Pragma kembali membuka mulutnya, Gelora yang mengerti langsung menyuapinya kembali.
Rudolp berdecih dalam hati melihatnya. Pria yang satu itu mengalihkan pandangannya, menatap piring makanannya.
"Ibu senang melihat kalian akur seperti itu," celetuk Raeni sambil mengelap bagian mulutnya dengan tissue.
"Tetap seperti itu. Jangan bertengkar lagi," tambah Zaelan sambil mengecek jam di pergelangan tangannya.
"Saya pamit duluan, mau ke kantor," ucapnya lagi membuat Pragma langsung menatap ayahnya.
"Ayah aku ingin kembali bekerja. Tetapi, setelah semua luka di tubuhku sembuh," beritahunya cepat membuat Zaelan semakin bahagia.
"Akhirnya kamu kembali seperti dulu lagi. Ya sudah, Ayah berangkat dulu," sahutnya tersenyum hangat pada Pragma.
"Ayo Tuan," ujar Rudolp yang ternyata sudah selesai menyantap makanannya. Yang diangguki oleh Zaelan. Tersisa Pragma dan Gelora di meja makan, karena Raeni ikut mengantar suaminya keluar.
To Be Continue.