webnovel

Harus Kembali!

Gelora terdiam didalam rengkuhannya. Wanita itu masih belum sadar dari rasa terkejut sekaligus ia masih tidak menyangkah. Dia akan menemukannya.

"Aku sangat merindukanmu honey," bisiknya tepat di telinga Gelora. Embusan napas pria itu sangat terasa menerpa lehernya, membuat ia merinding dan euforia di sekitarnya terasa memanas dan tercekat, seperti tidak ada oksigen. Dengan paksa Gelora melepaskan lilitan tangan kekar itu dari perutnya, sadar ada anaknya didalam sana yang akan kegenjet.

Tapi dengan enggan Pragma ingin melepasnya, dari perkataan wanitanya yang dingin itu, ia tahu kalau Gelora membencinya membuat dadanya sesak. Terpaksa dia meregangkan pelukannya, ia tidak ingin melepaskan pelukannya barang sedetik pun, kemungkinan besar Gelora kabur darinya lagi. Kira-kira itulah pikirnya.

"Lepaskan, saya merasa risih dengan Anda," tutur Gelora tanpa menatap lawan bicaranya.

"K-kenapa Sayang?" tanya Pragma terbata, berusaha tersenyum pada Gelora.

"Saya benci Anda," jawabnya lugas. Lagi-lagi hati Pragma mencolos mendengar itu, ia meremas pelan pinggang Gelora menyalurkan rasa sesaknya.

"Tapi aku suami kamu, Sayang," katanya lagi menatap wanita itu sayu. Gelora mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Pragma berusaha ingin berkontak mata dengannya. Mata Pragma adalah mata yang paling ia sukai, sekaligus benci di saat yang bersamaan.

Gelora terkekeh mendengarnya, "Suami kamu bilang? Bagi saya, sejak kamu menghianati saya. Kamu sudah tidak berarti bagi saya!"

Pragma semakin tersakiti mendengar ucapan yang menyayat hatinya, langsung dari Gelora. Wanitanya sangat berubah terhadapnya, tapi apa pun keadaannya, dia tetap membutuhkan Gelora untuk kelangsungan hidupnya, agar berjalan normal lagi.

"Aku tetap suami kamu Sayang! Apa pun keadaannya, ayo kita pulang." Pragma berpindah posisi tepat di samping Gelora, semakin memeluk erat pinggang wanitanya.

"Ayo," ajaknya sekali lagi, karena tak ada tanda-tanda dari Gelora yang ingin beranjak dari tempatnya.

Pragma kembali menatap wajah Gelora. "Anak kita bakalan ikut juga kok," ucapnya saat menebak apa yang Gelora pikirkan. Pasti wanitanya itu berpikir, mana mungkin ia akan ikut bersamanya tanpa anak mereka.

Luka itu kembali terbuka secara perlahan, saat Pragma mengingatkannya tentang anak mereka. Tanpa sadar kristal-kristal bening berjatuhan dari pelupuk matanya, ibu mana yang tidak akan menangis saat mengingat anaknya yang telah tiada tanpa sempat melihat dunia. Tanpa sempat ia menimang anaknya, bahkan ia belum melihat rupa malaikat kecilnya.

"Kamu kenapa menangis Sayang. Aku salah yah, anak kita masih ada kan?" tanya Pragma seraya menghapus air mata wanitanya. Dadanya kembali sesak saat melihat Gelora menangis, baginya air mata Gelora adalah lukanya. Saat bersama dulu Pragma tidak pernah membuat Gelora menangis karenanya. Tanpa Pragma sadari bahwa dia adalah penyebab dari semua penderitaan Gelora.

"Gavril sudah tenang di sisi Tuhan," gumamnya pelan tapi masih bisa didengar oleh Pragma. Seiring air matanya yang terus menetes.

"Semua ini gara-gara kamu," tukas Gelora menatap Pragma tajam. Membuat pria itu merasa sangat bersalah, bahkan ia ikut menangis tanpa suara.

"Maaf."

"Maaf Sayang!" Hanya kata 'maaf lah' yang terus ia ucapkan pada Gelora.

"Maaf kamu basi tahu gak!" balas Gelora menghempaskan kasar tangan Pragma dari pinggangnya. Bersiap-siap ingin pergi dari sana.

"Kamu tidak boleh pergi." Tahan Pragma mulai ketakutan tidak terkontrol. Ia gapai Gelora dengan paksa kembali dalam pelukannya.

"Lepaskan, lepas! Saya ingin pergi, sialan," amuknya pada Pragma. Dia terus meronta dalam kungkungan besar pria itu.

"Tidak akan," tekan Pragma semakin merapatkan tubuh mereka hingga tak ada jarak.

"Kamu milik aku Sayang," tekannya lagi.

"Rudolp," teriak Pragma pada bodyguardnya. Dia terus mengeratkan pelukannya pada Gelora.

Sedangkan yang dipanggil tersentak dari tempatnya, yang sedari tadi mengamati Tuannya dengan wanita itu, yang tak lain adalah Gelora wanita yang bisa membuat Tuannya kehilangan akal sehatnya.

"Mau saya pecat kamu sialan," sentak Pragma keras, matanya melotot pada Rudolp, serta rahangnya mengetat melihat Rudolp yang sangat lamban.

"Aku harus kabur," pikir Gelora mencari cara agar bisa lepas dari Pragma. Dia harus pergi dari sini secepatnya.

Ide licik mulai berseliweran di dalam pikirannya, Gelora berhenti memberontak dan berhasil membuat Pragma tidak kewalahan lagi menghadapinya.

"Sayang ka–"

Dukk

Ucapan Pragma terpotong saat Gelora menendang titik sensitifnya. Pragma lengah karena merasa kesakitan, pria itu menggerang tertahan sedangkan Gelora dengan secepat kilat melarikan diri. Tidak peduli mobilnya masih ada di basement rumah sakit, baginya kabur dari Pragma dulu adalah hal yang paling penting.

"Tuan tidak apa-apa." Rudolp datang, langsung membantu Tuannya untuk ke mobil. Tapi niat baiknya disambut kemurkaan oleh Pragma, dia mencekik leher Rudolp tak memedulikan organ vitalnya yang masih terasa sakit.

"Dasar tidak becus, ayo kejar istriku," sentaknya. Melepaskan cekikan lehernya pada Rudolp dengan kasar.

Sebelum Gelora menghilang dari pandangannya, Pragma dengan cepat menyusulnya, mengerahkan seluruh tenaganya berlari mengejar Gelora.

Rudolp tidak tinggal diam. Pria itu ikut berlari mengejar Tuannya, meski dalam hatinya ia mengumpati Pragma yang hampir membunuhnya.

"Dasar Tuan bucin," cibirnya sambil menambah kecepatan larinya.

Dan akhirnya Pragma berhasil menghalangi Gelora untuk kabur.

"Jangan mendekat," ancam wanita itu menatap Pragma.

"Rudolp tetap disana," titah Pragma saat melihat Rudolp berada tidak jauh dari belakang Gelora. Sekarang posisi wanita itu terjebak berada di antara Pragma dan Rudolp.

"Tolong jangan mendekat," mohon Gelora tidak ditanggapi oleh Pragma.

"Tidak ada cara lain. Maafkan saya Tuan," gumam Rudolp sambil memukul keras tengkuk Gelora.

"Heh apa yang kamu lakukan," sentak Pragma. Berkali-kali ia dibuat emosi oleh Rudolp, mungkin Rudolp sangat menyukai sentakan kasarnya.

"Sayang!" Pragma mengalihkan tatapannya menangkap tubuh Gelora agar tidak terjatuh.

"Sekarang kita harus pulang Tuan. Sebelum Nyonya sadar," ucap Rudolp tanpa beban.

"Kurang ajar kamu jerk," umpat Pragma sambil menyelipakan ke dua tangannya, pada lipatan lutut dan punggung Gelora.

"Astaga Tuan," pekik Rudolp saat tak sengaja menatap kaki Pragma yang mengeluarkan banyak darah, membuat perbannya terkena banyak darah, sehingga warna putihnya berubah jadi merah, yang berbau anyir. Bahkan perban kakinya juga sudah sangat acak-acakan tidak terbentuk.

"Biar saya yang menggendong Nyonya," sergahnya cepat menjulurkan ke dua tangannya ke depan, ingin mengambil alih menggendong Nyonya barunya.

Duk

"Akhh sakit," ringis Rudolp memegang betisnya yang ditendang keras oleh Pragma. Meninggalkannya seorang diri berjalan ke mobil. Namun sesaat kemudian, Rudolp kembali menyusul saat mendengar teriakan Pragma.

"Cepat kemari bodoh!"

"Astaga sial sekali saya," batinnya menatap miris punggung Pragma yang menghilang di balik pintu mobil yang ditutup keras.

Setelah menuruti segala kemauan Pragma yang seenaknya. Rudolp akhirnya bisa menghela napas lega, saat beberapa menit kemudian dia telah sampai di sebuah mansion bergaya eropa, yang luasnya beribu-ribu hektar itu. Salah-satu kekayaan dari keluarga Abraham.

"Rudolp buka pintunya!" Tiba-tiba suara Pragma kembali terdengar di pendengarannya. Dia kira ia akan bebas dari Pragma.

"Tuan, kan bisa menggunakan sensor wajah untuk membuka pintunya secara otomatis," jelas Rudolp tak habis pikir. Dengan terpaksa ia kembali mengetik beberapa angka di depan pintu mansion itu, dia lupa untuk mendaftar wajahnya ke dalam layar program otomatis itu saking sibuknya mengurus Pragma.

"Kamu tidak melihat ini," dengus Pragma sinis menatap punggung tegap pria di depannya.

Rudolp sponta membalikkan badannya. Menatap Pragma dari bawah ke atas, apanya yang mau ia lihat. Tuannya itu baik-baik saja menurutnya, cuma sikap temperementalnya yang harus dimusnahkan kalau bisa.

"Dasar bodoh," cibir Pragma. Apa dia tidak bisa melihat bahwa ia sedang menggendong wanitanya, ditambah kakinya yang sedari tadi sangat perih dan nyut-nyutan.

Setelah pintu terbuka dengan lebar mereka langsung masuk. Dan pintu langsung otomatis tertutup lagi, sungguh keamanan di mansion Abaraham itu sangat ketat. Mengingat banyaknya musuh dalam dunia bisnis, terlebih lagi Tuan Zaylan Abraham mantan mafia. Tentunya ia memiliki banyak musuh.

Bersambung..