webnovel

Berawal Dari Pertunangan

"Baiklah, Nak," ucap Zaelan saat menyadari ketakutan yang sangat kentara di wajah anaknya.

"Mas," panggil seseorang sangat pelan, tapi mampu didengar oleh Zaylan.

Dengan memberanikan diri Raeni masuk ke dalam kamar anaknya, diikuti oleh beberapa maid pria dari belakang sedang mendorong troli berisi makanan.

"Rama," panggilnya penuh kelembutan meski terbilang sangat ragu.

Zaelan memberi kode kepada istrinya untuk menjauh akan tetapi Raeni mengabaikannya, ia malah berjalan mendekat ke arah Pragma.

TAP

TAP

TAP

Bunyi suara high hells yang dipakai wanita paruh baya itu saling beradu dengan marmer lantai. Masuk ke dalam indra pendengaran Pragma, membuat pria itu beringsut mundur kala langkah Raeni semakin dekat padanya.

"Menjauh dari saya," teriak Pragma menggelegar saat Raeni sudah sampai di dekatnya. Bahkan ia ingin mengusap rambut Pragma.

"Jangan dekati saya, jangan," teriak Pragma lagi saat Raeni ingin menggapainya.

"Ini Ibu, Nak. Bukan penjahat." Dengan gerakan cepat Raeni menyentuh kepala Pragma, walaupun hanya sebentar. Dapat ia rasakan rambut anaknya itu lepek tidak seperti biasanya selalu lembut dan wangi.

"Kamu bukan Ibu saya, dia telah mati dua tahun yang lalu. Kamu itu penjahat, kamu yang menyingkirkan anak dan istri saya. Kembalikan mereka!" Pragma dengan brutal kembali meronta menggesekkan borgolnya dengan lantai. Membuat suara bising di sekitarnya.

Raeni merigis ngilu menyaksikan aksi Pragma berontak. Dengan memberanikan diri lagi ia duduk di depan Pragma. Digapainya wajah anak itu masuk ke dalam rengkuhan hangatnya.

"Ayah jauhkan wanita ini dari saya, tolong, Ayah." Akhirnya Pragma menyerah dan meminta tolong pada ayahnya. Selama ini dia jarang memanggil ayahnya, tapi sekarang pria itu menetap memelas ayahnya.

Hati Raeni terasa remuk menyaksikan Pragma lebih membutuhkan Zaylan, suaminya. Bukannya ia tidak suka dengan hal itu, namun ia juga ingin di posisi seperti suaminya dibutuhkan oleh anak kesayangannya.

"Hiks-hikss Rama tolong jangan mengatakan seperti itu, Nak. Ini Ibu, Ibu sangat menyayangi kamu, Nak." Raeni menuduk menangis terguguh di hadapan Pragma.

"Jangan menjauhi Ibu, Nak." Raeni memaksa Pragma untuk menatapnya.

"Ibu berjanji apa pun yang kamu inginkan, Ibu akan mengabulkannya. Katakan Rama apa yang kamu mau, Nak?" Raeni tatap anak semata wayangnya dengan senyuman lembut terukir di wajahnya.

Pragma akhirnya terdiam dan tak berontak. Berkutat dengan pikirannya sendiri, pria itu terdiam seribu bahasa menatap lantai marmer.

Zaylan was-was menatap anaknya, memberi kode pada istrinya untuk menjauh sedikit. Berjaga-jaga jika kegilaan Pragma kembali.

Raeni mendelik sinis pada suaminya, Zaylan helai napas gusar melihat kelakuan istrinya. Dengan pelan dia kembali mendekati Pragma, berpindah ke samping kanannya karena ada Raeni di samping kiri Pragma.

"Ayah tahu apa yang kamu pikirkan, tapi cobalah untuk bersabar lagi. Wanita itu akan segera berada di dalam genggamanmu lagi. Ayah berjanji," tutur Zayla mengerti apa yang sedang Pragma pikirkan.

"Ibu juga berjanji, Nak. tiga hari lagi dia akan berada di hadapanmu," sahut Raeni tanpa pikir panjang.

"Apa yang kamu ucapkan Raeni. Itu semua mustahil dalam tiga hari? Jangan memberinya janji yang tidak bisa kau tepati," protes Zaylan melirik Pragma takut-takut.

"Dan saya berjanji, jika istri saya dalam tiga hari kembali ke hadapan saya ...," ucap Pragma menggantung seraya menatap lekat ibunya.

Raeni turut membalas tatapan anaknya. Menyelami padmarini emerald itu.

"Akan melupakan kesalahan yang kamu perbuat kepada saya," lanjut Pragma sedikit melirih, matanya meredup menatap sayu ibunya.

"Itu pasti, Nak," sahut Raeni cepat tidak memedulikan tatapan tajam suaminya.

"Dalam tiga hari, Anda bisa berjanji pada saya?" tanya Pragma lagi.

"Iy–"

"Itu mustahil Pragma," potong Zaelan cepat sebelum istrinya memberi janji-janji yang tidak bisa ia tepati.

Pragma terdiam sejenak, sebelum tawanya menggelegar memenuhi ruangan.

"Kemustahilan yah?" tanyanya pada diri sendiri.

"Lalu kenapa kalian memisahkan saya, dengan istri saya?" tanyanya lagi. Kali ini ia menatap sang Ibu tajam.

Raeni terdiam menunduk kembali diselimuti rasa bersalah. Begitupun dengan Zaylan, memikirkan cara untuk menemukan wanita itu.

Ingatan mereka sekali lagi terlempar, pada kenyataan pahit. Kesalahan yang seharusnya tidak terjadi.

2 Tahun yang lalu

Seorang wanita cantik sedang duduk di kursi rodanya menatap keluar jendela. Pintunya dibiarkan terbuka, sehingga semiliar angin menerjang rambut gelombangnya. Wanita cantik itu tersenyum seraya meminum secangkir teh yang telah disediakan oleh maid mansionnya.

"Sayang," panggil seorang pria dari belakang. Wanita itu tidak berbalik, ia sangat hafal betul kelakuan suaminya saat pulang kerja.

Cup

Sebuah kecupan lembut ia daratkan di puncak kepala wanitanya. Berjongkok tepat di samping kursi rodanya, lalu dengan pelan ia membalikkan kursi roda tersebut agar menghadap dirinya.

"Sedang apa, hm?" tanyanya, mengamati wajah cantik istrinya.

Wanita tersebut diam, ikut mengamati sebuah senyuman palsu tersungging di bibir suaminya.

Huff

Lagi-lagi wanita berkursi roda itu mengembuskan napas gusar, seraya meletakkan cangkir teh di atas meja. Netranya bergulir menatap jemari tangan mereka, di sana masih bertenggar cincin pernikahan mereka.

"Tidak ingin mengatakan sesuatu, Mas? tanya wanita itu.

"Mengatakan apa, Sayang?" Dahi pria tersebut berkerut memikirkan sesuatu.

"Pertunangan Pragma tetap berlangsung malam ini! Dan kamu jangan menjadi penghalangnya." Seorang wanita paru bayah, baru saja datang dan langsung memperjelas semuanya. Terutama ia sangat tahu apa yang menantunya itu inginkan, dia akan mempropokasi Pragma lagi agar tak melanjutkan pertunangannya.

"Sayang?" Pragma menggoyangkan pelan lengan istrinya, ia tatap istrinya dengan gusar.

Istri Pragma melengos pelan. "Jangan harap aku menerimanya."

Raeni kembali melotot mendengar gumaman kecil menantunya, ingin kembali menyelah. Tapi sebelum itu, Pragma lebih dulu berkata, "Aku tidak akan mengkhianati Gelora, Ibu."

"Bukankah kamu sudah berjanji kepada Ibu, Rama?" tanya ibunya tidak suka.

"Iya, aku memang berjanji kepada Ibu. Tetapi aku tidak akan melakukan hal yang akan melukai Istriku, Ibu. Kumohon, mengertilah." Pragma bangkit dari posisinya berjalan mendekati ibunya. Sedangkan istrinya hanya diam mengamati apa yang akan dua orang itu lakukan.

"Tapi sampai kapan kamu harus bertahan dengan wanita cacat itu, Rama." Tunjuk Raeni pada menantunya.

"Kalian telah menikah selama empat tahun lamanya. Dan sekarang lihat kondisi Istrimu masih tetap sama. Ibu ingin menantu yang sehat, bisa menemani Ibu ke mana pun. Ibu iri melihat teman-teman Ibu yang sudah menimang cucu, lalu kapan Ibu akan menimang anakmu, Rama? Sadarlah Sayang, kamu itu butuh anak, butuh Istri yang dapat mengurus kamu dan juga kamu anak tunggal Ibu. Jelaslah Ibu memikirkan hal itu semua," ucap Raeni panjang lebar melirik menantunya sinis.

Sejenak Pragma terpaku menatap wajah ibunya terlihat memohon kepadanya. Ia mulai bimbang harus apa. Kembali ia tolehkan kepalanya ke belakang, istrinya masih menatap dirinya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.

"Hanya bertunangan saja 'kan Ibu?" tanya Pragma.

"Iya Nak, kalian harus saling mengenal dulu dengan pertunangan ini. Setelah itu kamu bisa mengambil keputusan selanjutnya, tapi Ibu harap kalian akan menikah." Tangan halus ibunya dengan lembut mengusap surai Pragma.

"Jika itu keputusan kamu Mas, maka aku menghargainya. Akan tetapi ...." Istrinya menyahut sengaja menggantung ucapannya.

"Hargai keputusan aku juga," lanjutnya tersenyum sinis pada Pragma.

Karena dirasa urusannya di sini telah selesai, Raeni pamit pada Pragma.

"Apa pun untukmu, Sayang." Pragma kembali berjalan ke arah istrinya.

"Dan semoga kamu dapat menerimanya nanti malam, Mas." Senyum sinis itu masih terpatri jelas di bibir ranumnya.

"Aku berharap kamu menderita Rama, karena aku sangat benci penghianat," batinnya masih menatap suaminya sinis.

Kembali pada kenyataan yang sekarang, kepala Pragma kesakitan dipenuhi oleh memori-memori itu. Masih sangat tergiang di dalam benaknya, suara istrinya. Dan semua keputusan yang di maksud istrinya, yaitu pergi dari kehidupannya bersama dengan darah dagingnya yang belum sempat ia lihat. Dia berpikir wanitanya tidak akan pernah meninggalkannya. Hanya demi pertunangan sialan itu, yang hanya pura-pura ia setujui. Mana mungkin ia akan bertunangan dengan wanita lain, jika istrinya saja sudah lebih dari cukup. Nyatanya berawal dari pertunangan itu kehancuran Pragma dimulai.

To Be Continue