webnovel

Dia Membuka Topeng

"Hey bung, bicaralah. Apakah kepalamu terasa nyaman setelah ditusuk dari balakang?"

***

Rayyan berjalan di depanku. Ia mematikan senter saat kami berada di jalan keluar. Cahaya rembulan sudah cukup untuk menerangi jalan, minimal kami tidak menabrak dinding secara tiba-tiba. Aku mengamati gedung. Bangunan yang dulu menjadi primadona cerita menyeramkan di kalangan masyarakat sekitar, terpaksa kumanfaatkan untuk dijadikan tempat aksi balas dendam. Ini adalah tempat yang sempurna. Jauh dari pemukiman, adanya bumbu 'angker' membuat Vivi bersemangat melancarkan aksi penyamaran menjadi Haniyah malam ini.

Semua sudah terjadi. Ini seperti panggung teater bagi kami. Dibuka dengan kejadian Haniyah terseret sebenarnya adalah ulah Vivi. Target pertama kami adalah menimbulkan kesan permainan seakan-akan sudah dimulai. Dan benar saja, semua panik ketakutan. Mereka menyangka sosok Midnight Man hadir meneror Haniyah. Sekarang babak permainan mulai masuk tahap akhir.

Aku tiba-tiba tertawa tanpa sebab. Mengingat betapa payahnya teman-teman termakan permainan setan gadungan ini.

"Kenapa?" tanya Rayyan. Aku menggelengkan kepala. "Nggak, cuman nggak nyangka aja semua bakal selesai habis ini." Kataku.

"Ya. Semua bakal selesai. Lo sama Vivi nggak ada dendam setelah ini."

"Dendam tetap dendam. Sekuat apa lo selesai balas dendam. Luka lama masih ninggalin bekas." Jawabku. Mengingat alasan mengapa aku melakukan semua ini sebenarnya hasil dari luka lama yang tak akan pernah sembuh.

Aku menendang batu yang tergeletak di tanah. Batu tersebut terlempar jauh di belakang semak-semak.

"Lo bener. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa."

Aku tidak menanggapi.

Satu menit berlalu, Rayyan tidak berkata apapun saat melewati gedung ke gedung. Ia menuntunku melewati jalan tercepat. Saat tiba di gedung tersebut, Rayyan bilang kepadaku. "Gedung ini nggak ada yang lain."

"Cuman ada Meira, Jennie." Rayyan melanjutkan. Aku paham maksudnya. Aku harus pura-pura seperti biasa saat menemui Meira. Tidak ada adegan sedih, aku harus bersikap penuh kekhawatiran.

Rayyan membawaku melewati lantai dua. Tak perlu waktu lama, seseorang datang dari ujung lorong sambil menyalakan senter. Rayyan menyorot sosok tersebut. Benar saja, dia adalah Jennie. Saat melihat kami berdua tatapan matanya berubah aneh. Seperti ada perasaan takut yang amat mencekam. Suasana berubah sunyi. Jennie menunduk.

"Lewat sini." Kata Jennie lalu berbalik meninggalkan kami.

Aku mengangkat bahu. Kami mengikutinya.

Rayyan mengeluarkan sebuah pisau dari balik punggung. Melihat hal itu aku menahan tangannya. "Gue yang urus." Kataku menjelaskan kalau masalah Jennie aku sendiri yang tangani. Tidak sekarang. Dia masih berguna.

"Tapi nggak sekarang." Tambahku.

Rayyan menyetujuinya. Ia lalu kembali memasukkan pisau tersebut.

"Lo mau ngelakuin apa?" tanya Rayyan memecah keheningan.

Rencanaku memanfaatkan Jennie untuk mengantarkan Meira pergi dari sini. Menggunakan mobil yang sudah kusiapkan sebelumnya, aku akan berkata kalau situasi sudah berubah. Jalan keluar sudah ditemukan. Meira dan Jennie bisa keluar dari sini sementara aku dan Rayyan akan mengurus Citra. Tentu saja Meira akan bertanya mengapa aku tidak ikut keluar juga. Aku akan menjawab kalau ada orang lain yang butuh pertolongan di menara, membawa banyak orang dari menara akan membuat hantu tersebut datang. Lebih baik aku dan Rayyan pergi menolong.

"Pintu belakang bisa dipake kan?" aku malah balik bertanya, tidak menjawab pertanyaan Rayyan.

"Masih. Ini kuncinya gue bawa."

"Nanti Meira pulang sama Jennie naik mobil gue." Kataku cepat.

Rayyan menghentikan langkahnya. Dia menyorotkan senter tepat ke wajahku. Aku menoleh. "Lo bercanda kan?" tanya Rayyan.

Aku menepuk pundak Rayyan.

"Percaya ama gue. Gue yang urus."

Aku lalu berjalan di depan Rayyan. "Lo yang urus biasanya gue yang beresin." Celetuk Rayyan. Aku terkekeh. Rayyan menyinggung urusan Akmal. Rayyan yang membunuh Akmal padahal perjanjiannya itu adalah bagianku. Tapi karena aku pergi meninggalkan mereka berdua saat di gedung dua, alhasil Rayyan yang membereskan. Sebelum pergi ke menara aku memberitahu Vivi kalau Akmal berada di gedung dua bersama Rayyan. Aku bermaksud menyuruh Vivi membantu Rayyan. Soal bayangan yang kutemui saat hendak menuju lubang? Sebenarnya itu adalah Vivi, aku tidak bersembunyi melainkan menunggunya agar bisa bicara.

"Masih untung Vivi udah gue suruh." Balasku. "Harusnya lo bersyukur udah ketemu ama cewe lo."

Rayyan dan Vivi adalah pasangan. Aku belum memberitahu ini sebelumnya kalau kisah jatuh cinta Rayyan dan adikku sudah berjalan dua tahun lalu. Kedekatan mereka bermulai berberapa bulan pasca kematian ayah ibu, saat itu semua hancur. Hidupku tidak tentu arah, ditambah Vivi mengalami gangguan jiwa akibat depresi ditinggal ayah ibu membuatku sulit menerima semua kenyataan pahit. Butuh waktu berberapa tahun agar Vivi pulih dan salah satu faktor Vivi bisa pulih adalah hadirnya Rayyan dalam hidupnya.

Rayyan meludah. Wajahnya kusut.

Aneh. Padahal perkataanku barusan hanya sindiran.

Jennie berdiri di depan ruangan. Kami berada di belakang. Ia menggeser satu tumpukan meja agar pintu bisa terbuka. Saat sudah terbuka, Jennie menyorotkan lampu senternya ke arah Meira yang terbaring di lantai beralas kardus. Tubuhnya diselimuti jacket merah milik Jennie.

Aku terkejut.

"Lo apain-"

"Dia pingsan." Potong Jennie cepat.

Aku langsung mendekat mengecek tubuh Meira. Dengan perasaan khawatir apakah dia baik-baik saja. Keningnya dingin, pergelangan tangannya lembab. Meira masih bernapas dengan normal.

Sementara itu, Rayyan langsung mencekik leher Jennie dan memhantamkannya ke tembok. "Lo apain sampai pingsan!? Hah!?" teriak Rayyan marah. Jennie merintih kesakitan, mulutnya tidak bisa menghirup udara karena saking kerasnya cekikan Rayyan. Tangannya mencoba mendorong Rayyan tapi tidak bisa. Tubuh Rayyan justru mendorong balik.

"Ng-ngg-ak ada." Eja Jennie.

Rayyan semakin kuat mencengkram leher Jennie.

Mengetahui hal tersebut, aku langsung meraih pergelangan tangan Rayyan. Melepaskan cengkramannya dari Jennie. Jennie batuk. Rayyan tampak bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal ini.

Aku hanya membalas dengan tatapan tegas. Yang berarti, diem atau gue yang bertindak keadaan bakal tambah buruk.

Jennie jatuh sambil memegangi lehernya. Aku menghampiri Jennie. Jennie malah refleks memundurkan badannya, wajahnya depresi. Dia sangat tertekan .

Aku berusaha menenangkannya dengan berkata. "Nggak, nggak. Nggak papa. Gue nggak bakal nyakitin lo."

"Gue minta maaf. Gue cuman pengen tau Meira kenapa."

Tangan Jennie gemetar. Dalam satu tarikan napas, dia berkata. "Meira s-sampai si-ni u-udah ping-san." Rayyan hendak memukul kepala Jennie, segera kuhentikan dengan mengangkat tangan. Aku tau kenapa Rayyan bertingkah seperti itu, dia berpikir tanggung jawab mengamankan Meira adalah tugasnya, aku memang berkata demikian. Tapi sudah cukup bagiku sekarang bisa melihat meira. Itu sangat berarti bagiku.

"Sum-pah Bal. Gue nggak nga-pa ngapain Meira."

"Iya gue percaya." Kataku.

Aku melanjutkan. "Sekarang lo gue minta tutup mulut ya."

Jennie mengangguk cepat. Dia paham sekaligus takut nyawanya hilang jika tidak menurut. "Bagus." Aku tersenyum. "Lo mau pulang kan? Lo masih mau ketemu keluarga kan?"

Jennie mengangguk lagi. Bibirnya terbuka, matanya sayu. Mata penuh pengharapan.

"Kalau gitu ikut gue." Kataku. "Yan lo buka pintu belakang." Pintaku pada Rayyan.

Rayyan mendengus kesal lalu menarik lengan Jennie hingga dia berdiri. "Kita mau kemana?" tanya Jennie memasang wajah meronta. Rayyan tidak membalas, dia menyalakan senter.

Aku menggotong Meira yang masih pingsan. Dari dekat wajah meira yang sedikit berdebu membuatku mengusap berberapa bagian wajahnya. Wajah cantiknya tidak pantas dihiasi debu-debu kotor. Aku mencium keningnya.

"Sekarang sudah aman sayang." Kataku setengah berbisik.

Kami menuruni lantai dua. Keluar dari gedung dan berjalan memutar menuju pintu belakang. Tempatnya agak jauh, selain sebagai akses lain untuk keluar dari area asrama ini, pintu tersebut biasa digunakan untuk akses menuju hutan belakang. Karena area hutan dirasa tidak sembarangan orang bisa masuk, pintu tersebut sengaja dikunci dengan rantai. Alhasil, tidak banyak orang mengetahui tempat tersebut. Hanya kami.

Saat sudah berada di depan pintu, penampakan pintu tersebut tidak secara gamblang bisa dilihat. Banyak rumput seukuran manusia atau bahkan lebih tinggi menutupi permukaan pintu. Semak belukar dan pohon yang lebat membuat siapapun tidak sadar ada jalan keluar di balik itu.

"Perasaan terakhir kali udah gue potong." Kata Rayyan heran.

Dia lalu membuka jalan dengan memotong berberapa rumput yang menghalangi. "Awas. Sebelah sini rawa." Kata Rayyan lalu mengarahkan sorot senter ke kanan. Terlihat ada semacam genangan tenang dengan eceng gondok di atasnya. Rayyan melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Mencoba melihat pijakan yang pas untuk kita lalui.

"Di sini aman kan?" tanya Jennie memandangi genangan air.

"Coba lo cek sendiri." Tanggap Rayyan. Dia lalu tersenyum. Jennie menggelengkan kepala. Dia berpikir ada binatang buas bersembunyi di bawah rawa tersebut. Buru-buru dia mengalihkan pandangan lalu kembali berjalan.

Di depan pintu yang berkarat. Rayyan mengeluarkan kunci dari balik saku celana. Memasukkan kunci ke dalam gembok, untungnya tidak ada masalah, kunci masih bisa digunakan. Saat sudah terlepas, Rayyan mendorong pintu sedikit keras.

Kami lalu memasuki kawasan hutan.

Dari balik pagar, gedung dan menara bisa terlihat dari sini. Sedangkan area hutan sulit dilihat dari atas gedung. Di perjalanan, tidak ada yang berbicara satu kata pun. Kami diam, Rayyan fokus memimpin jalan, Jennie bertugas menerangi jalanan. Aku menarik napas panjang, perasaan lega datang menghampiri. Meira masih belum bangun, ingin rasanya aku melihat dia tersenyum lagi. Walau tak masalah bagiku harus menerima jeweran di kuping. Aku tahu dia pasti marah dan khawatir tentangku.

Ra. Asal kamu tau justru sekarang aku yang khawatir. Batinku.

Tepat di depan gerbang. Area parkir kendaraan.

Rayyan membuka pintu belakang mobilku. Aku membaringkan Meira dengan hati-hati. Posisi kepalanya kubiarkan menoleh ke samping, aku sengaja menutup tubuh Meira dengan jacket Jennie. Tak lupa kubersihkan lumpur yang mengotori pergelangan kaki Meira. Setelah selesai perlahan kututup pintu mobil.

Aku lalu menarik pergelangan Jennie. Membawanya menyingkir sejenak. Aku ingin bicara dengannya.

"Lo tau kan akibatnya apa?" tanyaku. Aku yakin Jennie paham arah omonganku.

"Iya. Gue tutup mulut."

"Bagus." Aku berdeham. "Gue tau semuanya, gue juga tau harus gimana. Termasuk ngebiarin lo keluar dari sini. Kalau lo masih pengen main sama gue pake acara lapor polisi. Itu terserah lo."

Aku mendekat ke telinga Jennie.

"Gue pastiin akhir mainnya ada di tangan gue."

Aku memberikan kunci mobil pada Jennie. Dengan tangan gemetar Jennie menerimanya dan bergegas masuk ke mobil. "Bawa Meira pulang ke rumah."

"I-iya." Jawab Jennie.

Aku tersenyum simpul. "Makasih Jen."

Mobil menyala. Lampu depan menyorot kami berdua yang berdiri sambil memandangi Jennie. Seperti kesambet setan, Jennie lekas memundurkan mobil, lalu tancap gas pergi.

Hufftt

Aku berbalik melihat kumpulan mobil dan motor yang masih terparkir di depan gerbang, memandangi kendaraan tak bertuan. Masing-masing dari kita datang beramai-ramai tapi sekarang tidak seorang pun dapat menyentuh kendaraan mereka. Atau lebih tepatnya kendaraan terakhir mereka, oiya kecuali Jennie barusan.

"Mau diapain semua ini?" tanya Rayyan.

"Nggak tau. Dipikir nanti aja." Kataku. "Sekarang waktunya acara utama." Aku tersenyum lebar.

***

Tok tok!!

Suara ketukan pintu terdengar keras dari luar ruangan. Citra berdiri dan melihat ke arah Yasmine. Dia masih terjaga dari tidur. Sementara itu, Eugine dengan kakinya masih terangkat sudah terlelap tidur. Citra bangkit, mendekat ke arah pintu.

"Buka pintunya Cit."

Suara yang tidak asing. Itu suaraku yang meminta Citra membuka pintu. Ini urusan penting. "Iqbal." Lirih Citra. Tapi dia menahan pergelangan tangannya untuk menyentuh gagang pintu.

"Penting Cit. Bahaya. Kausar butuh elo." Aku memberi alasan.

Citra masih tidak menjawab. Diam dalam keheningan. Aku mengerti Citra pasti berhati-hati kali ini. Ada bagian yang sudah diketahui. Aku sendiri yang membiarkannya. Langkah terbaik untuk membujuknya adalah dengan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. "Buat apa?" tenya Citra dari dalam.

"Tsaqib nyuruh kita semua kumpul. Kausar gawat Cit. Dia terluka."

"Nggak ada waktu buat jelasin." Tambahku.

Aku menggedor lagi. Kali ini sedikit keras hingga membangunkan Eugine. "Siapa?" kata Eugine, Yasmine memegang pundaknya. "Iqbal."

"Cit." Aku memohon.

"Ada yang ganjil Bal." jawab Citra. Suaranya sedikit ragu. "Ada catetan di sini. Nota, buku yang lainnya. "

"Catetan apa cit? gue nggak paham."

"Ada yang ngatur semua ini Bal." Potong Citra.

Ada jeda hening sebentar.

"Dan lo nuduh gue?" tanyaku.

Tidak ada jawaban. Citra diam, begitu juga denganku.

"Nggak ada waktu Cit. Kausar butuh elo. Cuman lo yang bisa bantu." Jelasku. "Please."

"Apa buktinya?" tanya Citra.

"Cit. lo udah gila apa ya? itu temen lo sekarat, elo malah minta bukti buat apa."

"Buat mastiin nggak ada lagi penghianat diantara kita Bal. Udah cukup Zakky mau bunuh Eugine. Sampai sekarang gue juga nggak tau Haqi masih hidup apa enggak. Yang jelas, psikopatnya ada di antara kita dan gue nggak mau ambil resiko."

Yasmine mendekat ke arah Citra. Dia mencoba menenangkannya. Citra membalas dengan pelukan.

Aku menggenggam tangan erat.

"Cit. Gue bela-belain ke sini, main petak umpet sama psikopat kaparat itu demi Kausar. Buat jemput elo sama yang lain. Tapi sekarang gue harus balik dengan tangan kosong? Dengan tuduhan kalau gue psikopatnya? Elo tau psikopat itu gak main-main buat mecah belah kita. Ini hasilnya. Kita terpecah belah." Kataku lirih.

"Iqbal benar Cit." kata Eugine. "Gue rasa ini bener."

Citra menatap tidak percaya. "Tapi gin-"

"Nggak papa." Potong Eugine. "Gue percaya ama Iqbal."

"Tapi kaki lo." Kata Yasmine. "Kalau kita tinggal, Eugine gimana." Citra sependapat dengan Yasmine. Mereka tidak bisa membiarkan Eugine sendirian.

Eugine berpikir.

Dua detik berlalu saling tatap.

"Kita nggak bisa ngebiarin Kausar. Dia yang mimpin rencananya, kalau Kausar dalam masalah rencananya bisa berantakan." Kata Eugine. Citra menjawab. "Rencananya udah gagal Gin. Semua udah kacau. Pintu keluar udah nggak aman, kita sekarang cuman bisa lari sembunyi."

"Tapi kita bisa susun ulang rencananya Cit. Percaya ama gue. Kita bisa." Eugine masih ngotot dengan pendapatnya.

"Gimana? Gimana caranya?" Citra sudah putus asa meladeni Eugine.

"Dengan kita kumpul kembali."

Citra dan Yasmine diam.

"Kalau gitu, cuma gue yang pergi." Kata Citra angkat bicara. "Lo mau jaga Eugine kan min?" Pinta Citra pada Yasmine. Yasmine membalas dengan anggukan kepala, tapi raut wajahnya yang khawatir tidak bisa ia sembunyikan. Khawatir terjadi sesuatu terhadap Citra jika pergi sendirian. Di samping itu, meninggalkan Eugine yang tengah cidera juga tidak boleh. Ada dilema antara keduanya. Dan Yasmine bingung memilihnya.

Eugine menggelengkan kepala.

"Nggak, gue yang sendiri di sini."

"Eugine-"

"Citra. Gue beban di sini. Gue bakal ngerepotin lo sama Yasmine. Lo berdua yang pergi, susun rencana untuk kabur. Kalau lo semua bisa kabur, lo bisa kembali buat jemput kita yang tersisa."

"Kita nggak bisa ngebiarin lo sendiri. Kalau psikopat itu datang ke sini,"

"Justru itu, Justru kalau gue sendiri ruangan ini nggak bakal ada yang curiga. Akan lebih beguna kalau Yasmine ikut sama lo. Lo berdua harus bareng." Kata Eugine menatap mata Citra. Matanya tampak yakin akan keputusannya. Tidak ada keraguan sama sekali. Eugine lebih mementingkan keselamatan Citra ketimbang dirinya sendri.

Membawa Eugine ikut bersama juga bukan pilihan tepat. Butuh tandu agar cedera kakinya tidak parah, ditambah lagi harus berjalan sembunyi-sembunyi dari kejaran psikopat tentu tidak mudah untuk dilakukan. Kali ini keadaan memaksa Citra mengambil keputusan yang dibuat Eugine.

Citra menggigit bibir.

Aku masih menunggu di luar.

Tak berselang lama. Suara meja terdorong ke samping. Membuka halangan agar pintu dapat dibuka.

Aku tersenyum simpul.

Citra dan Yasmine keluar ruangan. Aku mengangguk. "Syukurlah." Kataku. Aku lalu berjalan di depan untuk memandu.

Senter dimatikan. Hanya mengandalkan sinar rembulan yang menerangi area lapang, akses menuju gedung delapan bisa digunakan.

"Ini bener lewat sini?" tanya Yasmine berbisik.

Aku menoleh. "Ya. Sebelah sana terlalu terbuka. Nggak aman."

Ketika melewati area pepohonan, aku menyuruh satu persatu melintas. Karena pintu gedung enam terbuka, ini saatnya bergerak.

Aku melambaikan tangan ke atas.

Citra dan Yasmine yang tengah berjalan tiba-tiba berhenti. Kami berada di sebuah lorong.

"Ada apa?" canya Citra.

Aku menyalakan senter lalu berbalik ke belakang.

"Lo tau Cit? sebaiknya lo tadi tetep di ruangan itu." Kataku pada Citra.

Dari belakang, Rayyan berjalan cepat menenteng satu balok kayu. Satu ayunan cepat berhasil menghantam kepala Yasmine hingga jatuh menabrak dinding.

Brak!!

Citra kaget, balik menatap Rayyan. Tanpa menunggu lama aku mencengkram kepala Citra lalu kuhantamkan ke dinding.

Brak!!

Darah keluar dari bagian belakang kepala. Citra linglung, matanya lalu terpejam. Dia jatuh pingsan.

***