"Saat pulang sekolah, seseorang pernah melihat isi tasku dan dia lari ketakutan. Keesokan harinya dia tidak datang ke sekolah dan isi tasku bertambah berat."
***
"Satu. Dua. Tiga."
"Siram."
Byurrr!! Basah
Citra langsung membuka matanya dengan cepat akibat siraman air secara tiba-tiba. Mulutnya terbuka, ia batuk akibat air masuk melalui lubang hidung. Matanya terlihat tidak siap mengalami kejadian barusan.
Aku melihatnya dengan tatapan tirus. Bersandar di dinding.
Berada di suatu ruangan besar dengan nyala lilin di setiap sisi. Berbaris rapi layaknya sebuah persiapan sekte pemuja setan. Citra masih bingung melihat keadaan sekitar, pakaiannya basah, kepalanya terasa sakit.
Citra menggerakkan tangan dan kakinya. Tidak bisa. Dia baru tersadar kalau tangan dan kakinya diikat rapat menggunakan simpul mati ganda. Tubuhnya berdiri menempel, di belakang badannya disandarkan papan kayu membentuk simbol +. Alhasil Citra diikat menyerupai salib. Lengkap dengan ikatan di leher.
Aku tersenyum.
"Bagus. Udah bangun rupanya."
Citra menatapku. Napasnya naik turun. Dia meludah ke samping.
Saat meludah, Citra melihat orang yang tengah diikat sama sepertinya. Itu adalah Yasmine. Kondisinya masih pingsan, terlihat dari tubuhnya yang tidak bergerak kepalanya menatap ke bawah.
"Lo mau apa?!" kata Citra kesal.
"Anjing lo." Tambahnya.
Ekspresi yang bagus. Aku menyukainya. Aku menyukainya sampai-sampai jantungku berdetak kencang. Antara perasaan kegirangan atau perasaan kesal, aku tidak bisa membedakannya. Saat ini, semua perasaan terasa sama saja.
Sama-sama penuh kenikmatan.
Aku mengambil pisau dengan cepat. Satu tatapan mata, kulempar pisau tersebut ke arah Citra.
Jleb!!
"Aaaaaa!!!!!" teriak Citra.
Pisau tersebut menusuk telapak tangan Citra hingga tembus ke belakang. Darah mengalir keluar, aku bisa melihatnya dengan kepala sendiri. Napas Citra tak beraturan. Mencoba menenangkan diri sendiri. Tak bisa. Darah masih terus keluar. Citra mendengkus sekaligus mengerang.
"Sakit?" tanyaku.
Pertanyaan ini terdengar bodoh karena dilakukan seseorang saat menjadi penyebab rasa sakit tersebut. Sayangnya, aku menginginkan jawaban itu.
"BANGSAT LO!!" Teriak Citra tiba-tiba. Matanya melotot ke arahku. Tatapan penuh amarah dan kebencian.
"GUE SALAH APA AMA LO!! KITA SALAH APA SAMA LO BAL!!"
"Ssstt!!!" bisikku.
"Terlalu cepat tanya hal itu Cit." aku mengambil pisau dan kuletakkan di depan bibirku. Insyarat tutup mulut.
Rayyan kembali dari luar sambil menenteng bak air yang sudah diisi penuh. Tanpa panjang lebar, Rayyan menyiramkan air tersebut tepat ke tubuh Yasmine. Yasmine terbangun dari pingsannya. Matanya kebingungan, tiba-tiba saja tubuhnya diguyur air. Setelah berberapa saat kemudian, Yasmine baru bereaksi menggerakkan tangan dan kakinya yang terikat. Reaksi yang sama seperti yang Citra lakukan: apa yang sebenarnya terjadi di sini.
"Citra?" kata Yasmine melihat Citra.
Citra menggigit bibir.
"Bal, please kalau lo punya masalah ama gue lo bisa lakuin apa aja, tapi nggak dengan Yasmine. Dia nggak ada urusannya."
Aku mengangkat jari telunjuk. Lalu kutempelkan di mulut. Tanda kalau bicara lagi satu pisau akan melayang ke arahmu.
"Siapa yang nggak ada urusan?" kataku. "Yasmine ikut main. Permainnya baru akan dimulai."
Aku terkekeh. Tepuk tangan sendiri.
"Btw. Lo udah lihat catatannya kan? Buku 'itu'? nggak mungkin nggak lah ya, soalnya kan lo mampir ke gudang."
Citra mengerutkan alisnya. Dia berpikir sejenak, aku mencoba menerka apa yang ia pikirkan. Dia yakin semua ini sudah direncanakan, aku mempertegas pikiran tersebut dengan menyebut-nyebut buku dalam gudang. Buku yang berisi catatan siapa saja list target pembunuhan. Dalam list tersebut, Citra dan Yasmine berada diurutan terakhir. Yang berarti, Eugine saat ini dalam bahaya.
Citra terkejut.
"Eugine." Kata Citra.
"Kenapa Cit?" tanya Yasmine masih tidak paham.
"Kita bodoh ninggalin dia sendirian Min." ekspresi wajah Citra berubah total.
***
Di gudang. Tempat Eugine bersembunyi, ruang dengan sedikit cahaya yang hanya terdengar suara deru malam dan suara ringkikan jangkrik.
Eigune bersembunyi di bawah kolong meja pojok ruangan. Dia berusaha sekuat tenaga memposisikan tubuhnya simetris agar kakinya baik-baik saja. Walau masih terasa sakit saat digerakkan setidaknya dia kali ini bisa bersembunyi.
Tempat yang gelap tidak akan dicurigai psikopat itu. Walau dia curiga, Eugine yakin dia pasti kesulitan mencarinya di bawah sini karena banyaknya tumpukan meja dan balok kayu membuat psikopat itu berpikir tidak ada orang.
Tapi keyakinan Eugine tidak semua benar. Dia lupa, orang biasa akan berpikir demikian. Tapi dalam kegelapan psikopat tidak kenal rasa takut. Dia akan berdiri dalam gelap, menyapa siapapun yang ditemuinya dengan senyum khasnya.
"Halo." Sapa seseorang dari balik pintu. Suaranya pelan tapi terdengar oleh Eugine. Suara perempuan.
Eugine refleks menutup mulut. Dia kaget apa yang barusan dia dengar. Nggak, mungkin salah dengar. Batin Eugine
"Kak Eugine. Main yuk."
Jrenggg!!!
Dagdigdug kembang kuncup. Suara itu terdengar kembali. Kali ini suara tersebut menyebut nama Eugine. Ini nyata. Eugine tidak bisa mengelak lagi. Jelas-jelas ada seseorang berdiri di balik pintu tersebut. Dan orang itu adalah psikopat tersebut.
Mampus gue. Batin Eugine
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam di tempat. Sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi mencurigakan.
Krek! Bunyi gagang pintu.
Kiek!!
Hawa dingin dari luar masuk ke dalam ruangan. Suasana berubah drastis, atmosfir tiba-tiba mencekam. Ruangan tiba-tiba bertambah terang. Eugine menelan ludah. Dari bawah Eugine melihat sepasang kaki melangkah masuk ruangan. Dari pancaran cahaya kuning dia tampaknya membawa lilin. Berjalan mengitari sudut ruangan, lalu berhenti di salah satu jendela keluar. Eugine tidak berani melihat. Tapi yang jelas, jarak mereka lumayan dekat. Eugine ketakutan setengah mati.
Perempuan itu diam menatap keluar jendela. Seperti sedang melihat sesuatu yang menarik atau jangan-jangan dia tengah berpikir.
"Mati." Kata perempuan itu.
Tidak jelas apa maksudnya. Dia bicara pada dirinya sendiri.
Eugine menahan napas. Matanya tertutup.
"Kak Eugine."
Jrenggg!!
Bulu kuduk Eugine seketika berdiri. Dia bicara lagi padanya. Ini bukan hal yang lucu, dia sudah tau Eugine ada bersembunyi di bawah sini. Dia mengulur waktu seolah-olah Eugine yakin tidak ada yang tau dia masih bersembunyi.
Eugine harus gerak. Tapi bagaimana?
"Kakak tau Kak Citra di mana?"
Eugine menelan ludah. Eugine mencoba menggerakkan kakinya. Keluar dari kolong meja.
Sakit. Sakit sekali. Rasanya tulang sudah patah menjadi dua bagian.
"Kok diem aja kak. Kenapa kakak nggak ikut mereka?" Kata perempuan itu lagi. Posisinya masih tidak berubah. Dia diam melihat keluar jendela.
Bahaya.
Perempuan itu jongkok melihat ke bawah meja. Eugine tidak bisa bersembunyi lagi, wajahnya pucat pasi. Saat perempuan itu mengarahkan lilinnya, Eugine melihat jelas wajah perempuan tersebut. Wajah pucat dengan rona darah di pelipis kanannya. Dia memasang ekspresi senang. Bibirnya terbuka melihat Eugine tengah merangkak. Pemandangan yang horror
"Aaaaa!!!" teriak Eugine tidak bisa menyembunyikan ketakutannya.
Perempuan tersebut melompat ke atas tumpukan meja. Dia mengeluarkan parang dari balik bajunya mengetuk satu persatu meja sambil berjalan.
Eugine sekuat tenaga keluar dari kolong meja, merambat dengan susah payah, tak peduli rasa sakit ia rasakan yang terpenting 'kabur'
Perempuan itu lalu menusukkan parang ke meja hingga tembus ke bawah. Dia berencana menusuk Eugine dari atas.
Clarrsshhh!!
"Aaaaa!!!" teriak Eugine. Parang menancap di punggung Eugine.
Parang tersebut ditarik ke atas, lalu ditancapkan lagi ke bawah.
"Aaaa!!!!"
Teriak Eugine lagi. Kali ini parang tersebut mengiris kuping Eugine hingga berdarah. Keadaan semakin panik, perempuan tersebut semakin gencar mencabut dan menusuknya kembali. Ada suara gebrakan dari bawah meja, kasar sekali hingga terdengar menggema.
"MATI!!!"
"MATI!!!" Teriaknya berulang kali.
Eugine tidak bisa bergerak. Punggungnya penuh luka tusuk dalam waktu singkat, darah mengalir deras hingga lantai terasa menggenang oleh darah. Tidak bisa menghindar. Bergerak saja mustahil bagi Eugine, disisa kesadarannya Eugine masih dihujani tusukan lagi dan lagi.
"A-mp-un." Lirih Eugine memohon.
Satu tarikan cepat. Psikopat itu menusuk kepala eugine hingga tembus ke depan.
Ada bunyi retak sebentar. Bunyi tulang tengkorak Eugine menempel di bawah meja.
Hening.
Tidak ada suara rintihan lagi.
Perempuan itu mencabut parang secara kasar. Dia telah menghabisi Eugine.
***
"Psikopat lo bal!!" teriak Citra penuh amarah.
Dari kejauhan aku meliriknya santai. Wajah Citra memerah takkala dia sadar Eugine sudah pasti mati sekarang. Yang bisa Citra lakukan hanya meronta sambil mencaci maki diriku.
Rayyan hendak membungkam mulut Citra dengan lakban tapi aku menahannya.
"Psikopat Cit?"
"Lo mau tau kenapa gue ngelakuin ini semua?" kataku memancing.
"Bedebah bodoh!!! Gue gak peduli ama orang sinting kek elo!!" kata Citra.
"Iya gue emang sinting." Kataku mengiyakan perkataan Citra. "Karena ini semua salah orang tua elo!" aku membentak.
Citra tampak bingung atas perkataanku barusan. Ia mengerutkan alis.
"Bokap nyokap gue?" tanya Citra. "Apa hubungannya?"
Dep!! Dadaku terasa sesak. Ada semacam besi menancap cepat menembus dadaku. Sakit mendengar jawaban Citra barusan. Apa yang ia katakan? Dia tidak tahu semua ini? tidak tahu semua maksud perkataanku?
Anjing.
Benar-benar anjing orang itu.
"Lo nggak tau Cit?" tanyaku pelan. Bibirku bergetar. Tiba-tiba teringat kejadian malam itu. Malam tragedi pembunuhan ayah ibu.
Citra menggeleng.
"Lo bercanda kan? Lo bercanda kan Cit?"
Dia memasang wajah aneh.
"Nggak nggak, lo bercanda Cit. Gue tau lo bohong."
Tidak ada jawaban. Aku menoleh ke Rayyan. Wajahku merah.
"BAWA MEREKA KE SINI!!" teriakku pada Rayyan. Raut wajahku kesal sekali. Hatiku panas. Dia harus menjawab ini.
Rayyan membuka kunci ruangan sebelah. Dia kembali sambil menyeret dua orang dengan kepala tertutup karung dan tangan terikat di belakang. Rayyan membawa ke tengah ruangan. Di hadapan Citra dan Yasmine, aku mendekati dua orang tersebut.
"Lo mau tau semuanya kan Cit?" tanyaku.
Sambil membuka karung wajah dua orang tersebut, aku berkata. "Lo pasti tau ini siapa."
Sesaat setelah muka mereka diketahui Citra, Citra langsung kaget dan berteriak tidak percaya. "Mama. Papa."
Andi. Papa Citra kebingungan melihat anaknya dalam posisi terikat. Dia sendiri terlihat buruk. "Kamu. Kamu mau apa?" tanya Andi kepadaku.
"Siapa yang beri izin ngomong?" aku mengayunkan pisau menusuk pundak Andi. Dia merintih kesakitan, tidak segera kucabut meliankan kukoyak perlahan hingga darah mewarnai pakaian.
"Bal!! berhenti!!" teriak Citra.
Aku berhenti melakukannya. Kucabut pisau dari pudak Andi. Dia merintih kesakitan.
"Selamat malam Pak Andi. Senang bisa melihatmu lagi, pertemuan yang manis bukan? Ada istri dan anakmu di sini."
Andi mengatur napas. Tidak berani menatapku.
"Beruntung aku bisa membawamu hidup-hidup. Kalau tidak, sudah dari dulu tubuhmu terpotong jadi berberapa bagian." Aku tertawa.
"Psikopat!!" kata Andi.
"Iya. Iya. Emang." Aku melotot di depan wajahnya. "Tapi bukannya Pak Andi sendiri pernah melakukan ini? ke keluargaku, ke ayah ibuku."
"Omong kosong Bal!! apa yang lo omongin nggak bener!!" Citra lagi-lagi ikut campur. Aku geram mendengar ocehannya, ingin sekali kugorok leher mungil itu lalu ku bawah di hadapan Andi saat ini. Tapi itu terlalu cepat dan mudah. Ada hal lain yang lebih seru kita lakukan sambil mengungkap kejadian satu persatu.
"Omong kosong? Lo nggak tau apa-apa Cit. Lo nggak tau kalau manusia busuk ini udah ngelakuin hal keji hanya demi uang!! Jabatan!!"
Aku memukul wajah Andi dengan keras. Ia jatuh tersungkur dengan kepala di bawah.
"Ngomong Andi!! Ngomong!! Elo kan yang nyuruh orang buat bunuh orang tua gue!! Elo kan yang ngancem bokap gue!" teriakku.
"Ngomong!! Atau gue penggal istri lo!!" ancamku sambil mengambil parang lalu menyeret Ani, ibu Citra ke hadapannya. Ani meronta-ronta tidak terima, wajahnya bersimbah air mata. Tapi tubuhnya tidak bisa melawan kekuatan cengkraman tanganku.
"Bal!!! lepasin mama!!" teriak Citra.
"CUKUP!!!" Teriak Andi. "Cukup. Lepasin, tolong." Andi memelas.
Aku muak melihat ekspresi itu. Ekspresi palsu dari seorang penjahat. Topeng manipulatif saat diri sendiri tidak bisa melakukan apapun selain memohon belas kasihan. Apa orang tuaku melakukan hal tersebut? aku berani bersumpah Ayah dan Ibu tidak melakukannya. Tapi dia? Si brengsek itu bahkan tidak hadir di pemakaman Ayah Ibu. Membiarkannya begitu saja layaknya binatang mati.
"Aku salah." Kata Andi.
Ya benar. Elo ngaku salah, tapi tanggung jawab nggak?
"Aku bayar orang untuk ngelakuin semua itu. Di malam itu, ayah ibumu-" kata-katanya terhenti. Raut wajahnya kusut. Perkataan selanjutnya menyakitkan, karena faktanya mereka meninggal.
"Mereka meninggal."
Hening.
"Aku gak ingin Ayahmu naik jabatan ketimbangku. Itu alasanku melakukan itu. Bertahun-tahun lalu."
Citra tidak menyangka papanya melakukan kejahatan terpendam bertahun-tahun lamanya. Sekarang baru terbongkar, di hadapan mata kepala sendiri. Sebuah pengakuan.
"Aku menyesal." Andi mengatakannya dengan tangis di pipi.
Aku menamparnya dengan keras. Pipinya berubah merah.
"Nyesel? Ket saiki? (Baru sekarang?)" kataku.
"Terus nasib anak-anaknya gimana, Pak Andi? Nasib gue ama adik gue terlantar gara-gara elo!!" aku menamparnya lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumya hingga Andi jatuh tersungkur.
"Bal!!"
"Lo udah tau kan Cit!!"
Aku menatap Citra.
"Lo udah tau perbuatan bokap lo kan?!!"
Citra menggigit bibir. Tidak bisa berkata lagi. "Mau alasan apalagi? Mau alasan apa buat ngebelain bokap lo?"
"Bokap lo ngirim orang setiap hari buat coba bunuh bokap gue. Setiap malam nggak ada rasa tenang selain takut, Bokap gue selalu nyimpen pisau di bawah bantal tidurnya. Gue tau semuanya. Gue tau kalau orang suruhan bokap lo itu ngikutin gue di sekolah. Setiap hari, gila nggak tu. Dan dengan entengnya sekarang bilang nyesel? terus nyawa orang tua gue bisa balik kalau udah ngomong gitu? Nggak!!"
"Tujuh tahun."
"Tujuh tahun gue ama adik gue hidup sebatang kara. Nggak ada saudara, nggak ada siapapun. Tanpa bantuan apapun. Cuman harta peninggalan orang tua gue yang bisa dimanfaatin. Lo pikir itu cukup? Enggak!!" Aku tertawa mengenang memori menyedihkan tersebut. Seorang anak smp harus menjalani kerasnya hidup di bawah bayang-bayang pertanyaan alasan di balik tragedi menimpa orang tua. Sakit? Jelas. Bagaimana mendeskripsikan perasaan tidak tahu saat berdiri tepat di atas makam orang tua dengan penjelasan polisi bahwa pelaku tidak diketahui. Ujung-ujungnya mereka tidak bisa menangkapnya karena tidak ada bukti kuat. Apa yang diharapkan pada anak smp kala itu, semua orang menganggapnya tidak masuk akal. Begitu juga denganku.
"Sekarang lo tau alasan saat SMA gue udah kerja kan? Nggak banyak orang tau. Yah, nggak mungkin lah orang pelakunya aja nggak tahu. Ya kan Pak Andi?"
Andi tidak menjawab. Begitu juga dengan Citra. Mereka diam seribu bahasa.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Aku menepuk tangan. "Baik. Karena semua sudah tahu. Permainannya akan dimulai, tapi sebelum itu sepertinya kita kedatangan tamu spesial. Pak Andi pasti sudah menebak siapa."
Aku tersenyum simpul.
Rayyan membuka pintu.
Saat dibuka, berdiri perempuan sambil memegang lilin. Ia mengenakan pakaian Haniyah, Rambutnya lusuh karena noda lumpur. Di tangan kirinya tergenggam sebilah parang dengan darah menetes ke lantai. Darah yang kupastikan dari Eugine. Entah di mana sekarang mayatnya. Mungkin tergeletak di ruangan.
Itu Vivi. Adikku.
Sekarang semua sudah berkumpul.
***