webnovel

Sebuah Lelucon

"Pakai itu! Dandan yang rapih, yang cantik, jangan malu-maluin. Kita mau ketemu partner lama saya sama keluarganya." Yuni berucap setelah melemparkan sebuah paper bag besar ke depan Laras.

"Kenapa aku harus ikut?" Laras bertanya, mengabaikan paper bag yang sudah setengah terbuka.

"Karena kamu juga keluarga saya."

"Mana ada keluarga yang menjadikan anggotanya sebagai pembantu gratis?"

Yuni berdecak. "Sudah! Kamu ini tinggal nurut saja apa susahnya, sih? Kamu itu sudah merepotkan saya kemarin. Sampai-sampai saya harus cancel semua jadwal meeting saya cuka gara-gara kamu. Sekarang, anggap saja balas budi untuk kemarin." Yuni hendak keluar kamar Laras, namun sebelum menutup pintu, wanita itu berucap lagi. "Tiga puluh menit dari sekarang, saya tunggu di ruang tengah."

Blam!

Laras mendesah lelah, ia meraih paper bag yang ternyata berisi satu set gaun lengkap dengan tas selempang juga flatshoes cantiknya. Dengan warna peach yang manis, sepertinya akan cocok di kulit Laras yang juga kuning langsat.

"Kenapa jadi kayak mau ke kondangan, sih?" Laras merutuk saat menemukan Yuni juga Iwan yang berpakaian dengan warna senada dengannya.

"Laras, saya minta kamu yang sopan sama rekan saya. Tolong jangan lontarkan kalimat-kalimat tidak mengenakan yang selalu kamu ucapkan di rumah." Iwan berucap pada Laras yang duduk di kursi belakang sendirian. Sementara dirinya yang menyetir juga Yuni yang duduk di sampingnya.

"Kata-kata kurang mengenakan gimana? Semua yang aku bilang itu fakta, jadi, ya, terima aja."

"Itu! Baru diperingati sudah dilanggar! Ingat, ya, Laras. Kalau sampah kamu buat kacau pertemuan ini, saya jamin kuliah kamu tidak akan selesai sampai sarjana. Dan jangan lupakan aib yang bisa saya sebarkan pada teman-teman kamu supaya kamu malu!" tandas Yuni.

Laras hanya membuang wajah ketika matanya tak sengaja bersitubruk dengan netra rajam milik Yuni. Ia sadar, Yuni juga akan terbawa nama baiknya jika saya semua orang tahu bahwa Laras tengah hamil di luar nikah, dan sialnya laki-laki yang berstatus sebagai kekasih sekaligus pelakunya malah kabur melarikan diri tanpa tanggung jawab sama sekali.

Sebuah restoran ramai dengan gaya classy, begitulah kira-kira opini Laras pada tempat yang katanya akan jadi lokasi pertemuan sang paman dan bibi dengan rekannya. Sebuah meja besar dengan enam set kursi sudah dibooking. Laras duduk di antara Yuni juga Iwan. Duduk menunggu sembari membaca-baca menu sebab ia dilarang untuk membawa perubahan ponsel. Bukan tanpa alasan sebenarnya, ini hanya sebuah hukuman sebab Laras yang nyaris masuk penjara kemarin. Laras terima, tanpa bantahan seperti biasanya. Karena jujur, dia sudah mulai pasrah. Harapannya hanya tinggal satu, Iwan. Pria itu mengatakan bahwa akan ada pria yang bertanggung jawab atas dirinya.

Sembari berharap cemas, bahwa pria yang dimaksud Iwan adalah Randi.

Semoga.

"Maaf terlambat, tadi agak macet jalannya." Laras kontan ikut berdiri menyusul Iwan dan Yuni, namun pandangannya belum mau mendongak untuk menatap siapa yang datang.

"Tidak apa-apa, wajar, Jakarta macet." Iwan membalas dengan candaan, disambung obrolan-obrolan mengenai maraknya korupsi juga kasus bunuh diri yang sempat viral dua hari yang lalu.

"Hei, kita pernah ketemu sebelumnya bukan?" Laras mendongak saat sikunya disenggol pelan oleh Yuni sebagai isyarat agar berhenti menunduk.

Sebuah kernyitan hadir di keningnya ketika melihat pria paruh baya seusia ayahnya tengah tersenyum. "Aku?" tanya Laras sembari menunjuk diri sendiri.

"Iya, kamu itu yang nangis di pinggir jalan karena nabrak tukang bakso, kan?" Laras melotot. Ternyata pria baik tapi galak itu!

"Ah, iya." Laras jadi canggung. Ia tak bisa menatap wajah pria yang sempat ia buat repot malam itu karena ulahnya.

"Jadi, ini anaknya?" Laras mendongak lagi, menatap seorang wanita cantik dengan jas putih yang melekat di tubuhnya.

"Cantik, seperti ibunya." Lanjut wanita itu.

"Tante kenal ibu saya?" Reflek Laras bertanya. Hatinya membuncah bisa bertemu dengan salah seorang teman mendiang sang ibu. Berharap wanita ini mau suka rela membawa Laras dari jeratan Yuni dan Iwan.

"Kenal, dia sahabat saya waktu jaman SMA. Sayang, saya belum sempat ketemu dia," ucapnya disertai senyum getir.

Laras juga ikut tersenyum lirih. Ia tahu, ibunya adalah sosok wanita yang baik hati. Memiliki banyak teman juga sahabat dari berbagai kalangan. Ia juga tahu, berita meninggalnya sang ibu sudah menyebar luas. Hingga banyak sekali ucapan bela sungkawa pada ponsel Laras. Rata-rata dari mereka mengucapkan maaf karena tidak bisa hadir saat pemakaman, juga beberapa dari mereka mengirimkan sesuatu untuk Laras. Yang tentunya, bukan barang dengan harga murah. Bahkan ada dari mereka yang membelikan beberapa slot saham untuk Laras, katanya sebagai investasi juga sebagai uang bela sungkawa.

"Maaf, kemarin saya tidak bisa hadir di pemakaman ibu kamu. Saya sedih sekali mendengar berita itu, tapi sayang, pekerjaan saya tidak bisa ditinggalkan."

"Nggak papa, Tante. Udah lewat juga."

Tercipta sebuah keheningan sebelum suara pria yang merupakan rekan Iwan itu terdengar. "Jadi, kamu Laras? Perkenalkan saya Satya Wijaya, dan ini istri Saya." Laras membalas jabat tangan Satya. "Laras, Om."

"Saya Widia Arum," ucap wanita yang merupakan sahabat ibunya.

"Laras, Tante."

"Ah, ya. Ke mana anak kamu itu? Kok lama, apa dia lupa karena sibuk banget?" Iwan bertanya sembari menatap pintu masuk.

"Dia pasti datang. Saya juga kenal sama dia, anak yang punya tanggung jawab besar di usianya yang masih muda. Tidak mungkin dia mengingkari janjinya sendiri." Yuni membalas.

"Ah! Itu dia orangnya."

Laras ikut melirik saat pintu utama dibuka, menampakkan seorang laki-laki yang wajahnya sedikit familiar di mata Laras. Ia merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana?

"Halo, Om, Tante. Maaf terlambat, tadi ada insiden kecil di jalan." Laki-laki itu dengan sopan menyalami Yuni juga Iwan. Dia juga sempat mengangguk sembari tersenyum ketika mendapati Laras yang tengah menatapnya.

"Nah, Laras. Perkenalkan, ini anak saya." Satya melirik sang anak.

"Ah, iya. Halo, saya Panji." Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Saya Laras," sahut Laras sembari membalas jabat tangan itu.

"Jadi, ini mau langsung bahas atau makan dulu?"

"Bahasnya sambil makan."

Tak lama, hidangan datang. Laras kebagian pasta keju yang kebetulan favoritnya. Mereka semua makan dengan tenang, sampai akhirnya Iwan buka suara. "Jadi, kita beritahukan saja, ya?" Baik Yuni, Satya juga Widia mengangguk secara bersamaan. Membuat Laras heran melihatnya.

"Jadi ....?" Iwan menggantung kalimatnya. Ia melirik Satya, memintanya untuk menjelaskan lebih.

"Jadi, keluarga saya sudah sepakat akan melakukan sesi pertunangan di akhir bulan ini. Bagaimana? Ada yang tidak setuju?"

Laras mengernyit. "Siapa yang tunangan?"

"Kamu dan Panji."

Sial, lelucon apa ini?