webnovel

Rumah Dukun Beranak

"Buku-buku lo gimana? Mau ambil ke rumah bibi lo atau gue aja yang ambil?" tanya Nindy saat keduanya tengah bersiap untuk berangkat ke kampus.

"Gak usah," jawab Laras, masih sibuk dengan tatanan rambutnya. Sebisa mungkin, ia harus terlihat biasa saja meski badannya kurang sehat. Apalagi kantung matanya yang tebal harus ditutupi agar tidak kentara bahwa ia habis menangis semalaman penuh.

"Terus lo gimana? Hari ini ada kuis, harus bawa buku."

"Gue mau minta paman buat nganterin."

"Lo gila?" cerca Nindy. "Gue yakin Tante Yuni pasti udah cerita tentang kemarin sama suaminya. Dan sekarang lo mau minta tolong?"

"Lo gak tahu, Nin." Laras masih tidak menatap Nindy. Ia kini sibuk mempertebal bedak yang dipoleskan di atas kulit wajahnya.

"Makanya kasih tahu, biar tahu! Gue gak mau, ya, lihat lo hampir depresi kayak kemarin."

Nindy bersumpah akan terus berada di samping Laras sampai kapanpun. Dia tidak mau lagi Karas mengalami masa sulit sendirian seperti dulu. Karena ketika Laras hampir merelakan nyawanya hanya demi sepupu Nindy, saat itu pula Nindy percaya bahwa Laras adalah sosok teman sekaligus sahabat yang baik.

"Nanti juga lo tahu."

***

"Saya kira kalian berdua itu pintar, tapi ternyata bodoh juga, ya?" Laras mendengus sembari merebut kasar dua buah paper bag berisi buku-buku juga jurnal. Sengaja ia meminta Iwan membawakannya, karena kalau Laras sendiri yang pulang ke rumah, mungkin sudah habis dicaci maki oleh Yuni.

"Paman kira aku akan terima gitu aja?"

"Memangnya kamu bisa apa?"

"Di zaman modern ini banyak kok pilihan untuk mengugurkan kandungan tanpa merasa sakit."

Iwan mengernyit. "Maksud kamu? Kamu mau gugurkan anak itu?" Laras mengangguk dengan mantap.

"Kamu sudah bodoh, melakukan hal bodoh lagi. Jangan! Hal seperti itu akan berefek besar pada tubuh kamu."

"Sejak kapan Paman peduli sama aku? Udah, deh! Paman mending pulang sana, aku gak mau dicap sebagai simpanan om-om gara-gara ngobrol sama Paman."

Pria dengan setelan jas mahal itu sempat menatap Laras dengan gamang, sebelum berbalik badan untuk masuk ke mobilnya, lantas meninggalkan Laras sendirian.

Laras tak langsung menghampiri Nindy yang menunggunya di koridor, ia memilih untuk memandangi mobil Iwan. Sebuah tawaran adalah alasan kenapa pria itu rela membuang waktunya yang berharga hanya demi mengantarkan buku ke mari. Lebih tepatnya bukan penawaran, tetapi negoisasi atau sedikit ancaman. Laras akan terus menutupi perihal perselingkuhan antara Iwan dan Mirna, asalkan Iwan bersedia untuk membantunya menghindari Yuni. Termasuk untuk membawakan buku seperti sekarang.

"Dari awal gue emang udah gak yakin sama lo. Kenapa, sih, harus nutupin?" Nindy bertanya dengan kesal pada Laras.

"Buat apa juga gue kasih tahu?"

"Ya seenggaknya, kalau Tante Yuni tahu dari lo, akan dapet sedikit privilage dari dia. Karena, kalau sampe Tante Yuni tahu dari orang lain atau melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan dia juga tahu kalau lo nutupin perselingkuhan suaminya, lo bakal abis."

"Gue gak takut," ujar Laras kelewat santai.

Nindy urung menyuapkan bakso ke dalam mulutnya. Ia menatap Laras lamat-lamat. Entah apa yang membuat perempuan ini jadi sesantai ini, sedangkan kemarin dia menangis keras bak orang yang paling sengsara di dunia. Tapi sekarang? Lihatlah, dia tengah memakan bakso dengan santai sembari sesekali memainkan ponselnya.

"Ras? Sebenarnya, apa rencana lo?"

"Rencana apa? Gue gak punya rencana."

"Maksud gue, ke depannya gimana? Anak lo?" Nindy mengecilkan suara ketika mengucapkan kata anak.

"Nanti gue kasih tahu." Laras menjawab dengan senyum jumawa. Seakan dia telah menemukan sebuah jalan keluar dari masalahnya yang rumit ini. Namun, ada sebersit rasa curiga dalam hati Nindy, pasalnya tidak mungkin Laras bisa menyelesaikan permasalah serumit ini dengan mudah.

***

Nindy berjalan dengan ragu, kakinya melangkah hati-hati pada jalan setapak becek di depannya. Rumput-rumput liar yang sangat panjang hampir menutupi sisi jalan setapak ini. Nindy baru tahu, jika Jakarta memiliki sebuah tempat terpencil yang jarang dijangkau orang.

Pada sebuah gang kecil, pada sudut ibukota, Laras mengajak Nindy untuk mencari rumah seseorang. Sebuah rumah yang ditempati oleh seorang wanita janda, yang namanya sudah melanglang buana di antara nama-nama yang muncul saat mengetik kata kunci 'Dukun beranak di Jakarta'.

Namanya Ratna, entah Ratna siapa, Laras tidak peduli. Tujuannya bertemu dengan dia adalah untuk membantu keluar dari masalah rumit yang menimpanya.

"Ini rumahnya?" Laras mendongak saat Nindy bertanya.

Di depannya sudah ada sebuah rumah besar, ah tidak, tidak begitu besar, namun nampak mewah. Bukan mewah dalam artian hunian gaya klasik yang kini tengah hype, tetapi mewah yang seperti tak terawat. Ada banyak rumput-rumput liar di halamannya. Gerbang hitam yang seharusnya melindungi rumah itu dari perampok juga sudah mulai roboh.

"Ini rumah siapa, sih, Ras?" Nindy bertanya lagi. Ia masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri. "Gue takut, ah. Lo aja yang masuk." Nindy bergidik ngeri. Bayangan akan makhluk tak kasat mata hadir, membuatnya mundur beberapa langkah hingga tak sadar menabrak seseorang.

"Aduh!" ringis Nindy, padahal dia yang menabrak.

"Kalian mau apa ke sini?" Seorang wanita dengan perut sedikit buncit itu bertanya dengan nada curiga.

Laras melihat bagaimana Nindy menunduk dalam diam, tak berani menatap wanita itu. Ia kemudian merangkul pundak Nindy, hingga membuat sahabatnya kembali mendongakkan kepala.

"Ibu sendiri mau apa ke sini?" Laras bertanya dengan ketus. Matanya menatap perut wanita itu yang membuncit, seratus persen yakin kalau wanita ini tengah hamil. Dan juga dia memiliki tujuan sama seperti Laras.

"Sama seperti kalian, saya juga korban dari laki-laki tidak bertanggung jawab."

Tuh kan!

Laras tersenyum terang. Ia melepas rangkulannya pada pundak Nindy dan beralih untuk mengulurkan tangan pada wanita berdress hitam itu. "Saya Laras, pasti tujuan Mbak ke sini sama seperti saya bukan?" Wanita itu mengulurkan tangannya, membalas jabat tangan Laras. "Saya Dina, betul saya juga ke sini untuk itu."

"Kalau gitu, ayo bareng. Kebetulan saya sudah daftar lewat WhatsApp."

"Oh, kamu sudah daftar? Saya belum, tapi boleh kan?"

Laras mengangguk. "Boleh, registrasi di dalam juga bisa."

Sementara dua orang yang baru kenal itu berbicara, Nindy masih mengernyitkan dahinya. Melakukan apa? Registrasi apa? Laras sebenarnya mau apa?

Nindy masih mengikuti langkah Laras, hingga perempuan itu membuka pintu utama rumah besar ini. Ternyata sangat rapih, terlihat sangat terawat.

Sebelum masuk, Nindy bertanya. "Ini sebenarnya rumah siapa, Ras? Terus kenapa orang ini juga ikut masuk?"

Laras tidak menjawab, tetapi wanita di samping Laras yang menjawab. "Kamu tidak tahu? Ini rumah dukun beranak."