webnovel

Permulaan Hancurnya Pranaya

Arais menatap Dony yang sedang menyetir. Seketika tangan Dony terasa gemetar dilihati oleh Arais dengan tatapan yang menakutkan.

"A—aku akan tetap sama Pak Arais," jawab Dony dengan gemetar.

"Kalau kamu mau mundur dari perusahaanku, aku gak masalah. Masih banyak orang yang mau menjadi assisten pribadiku. Aku tanya sekali lagi, kamu akan tetap bersama aku atau mundur?"

Mendapat pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya membuat Dony bingung. Dulu dia akan langsung mengiyakan semua ajakan Arais, tapi kali ini Arais berbeda. Dia sudah berubah. Dia sangat dingin dan seperti monster yang tidak punya hati. Apakah Dony bisa kerja dengan seorang laki-laki seperti itu?

"Aku anggap diammu adalah iya. Silahkan turun dari mobilku dan aku akan cari orang lain," kata Arais berbalik melihat ponselnya.

"Gak, Pak. Aku mau jadi assisten pribadi Pak Arais." Dony segera menjawab dengan wajah pucat. Entah kenapa walaupun dia ragu, tetapi Dony penasaran dengan perubahan yang terjadi pada Arais.

"Lanjutkan pekerjaanmu dan jangan tanya apa-apa lagi padaku. Kita akan segera memulai proyek kita yang pertama. Siapkan semuanya dan minggu depan harus udah selesai semua. Proyek harus sudah berjalan di bulan ini," titah Arais sangat detail.

"Baik, Pak. Aku akan atur semuanya. Menurut yang aku lihat dari proyek yang akan dibangun oleh Armour Estetic akan memakan waktu enam bulan jika kita memakai jumlah pekerja yang disarankan oleh perusahaan itu."

"Perbanyak pekerja agar dalam tiga bulan proyek bisa selesai. Dengan begitu kita bisa menghasilkan tiga atau empat proyek dalam satu tahun. Itu akan membuat perusahaan kita cepat besar. Jangan lupa kualitas nomor satu. Biarkan saja kita untung sedikit asal bangunan bagus dan menjadi panutan dunia."Arais tidak ingin membuat nama baiknya hancur hanya karena mengejar materi. Dia juga mengejar prestasi yang akan dia buktikan pada dunia terutama pada ayahnya yang sudah melukai dirinya.

"Siap, Pak."

***

Perusahaan Pranaya sedang dilanda badai. Hanya proyek dari Denish yang bisa menyelamatkan perusahaannya. Namun, proyek itu justru hancur sebelum selesai dibangun.

"Pak. Proyek kita yang ada di Sumatera Utara hancur. Bagaimana ini, Pak?" lapor seorang kayawan pada assisten Pranaya.

Billy—nama assisten Pranaya. Dia sangat setia pada Pranaya sejak sepuluh tahun yang lalu. Dia bekerja hanya untuk Zuyo Group.

"Kenapa bisa sampai proyek kita hancur?"

"Saya tidak tahu, Pak. Tiba-tiba saja ada ledakan dari bawah tanah lalu bangunan rubuh seketika. Semua kerangka dan pondasi yang sudah kita buat hancur berantakan. Tidak ada yang bisa diselamatkan kecuali memulainya dari awal. Kita akan rugi waktu dan bahan karena semuanya hancur. Yang belum dipakai juga ikut hancur, Pak." Zuyo group benar-benar rugi banyak.

"Sial. Selamatkan apa yang bisa diselamatkan. Pokoknya, aku gak mau sampai kita disalahkan oleh pak Denish. Paham!" perintah Billy.

"Siap, Pak."

Orang-orang berusaha menyelamatkan apa saja yang bisa diselamatkan. Mereka berlari ke sana-ke mari untuk mencari bahan bangunan yang masih utuh agar bisa dikumpulkan. Sayangnya, tidak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Semuanya hancur tidak tersisa.

Kabar tentang rusaknya proyek sudah sampai di telinga Denish. Denish pun langsung menghubungi Pranaya.

"Halo, Pak. Aku udah denger kalau proyek yang Anda jalankan sudah hancur. Mana janji Anda yang mengatakan kalau proyeknya bisa berjalan mulus tanpa pembengkakan dana maupun waktu? Nyatanya semuanya hanya omong kosong," berang Denish menghardik Pranaya.

"Sabar, Pak. Semuanya bisa kami kendalikan. Kami hanya butuh beberapa waktu untuk membuat proyek kembali lancar dan akan selesai tepat waktu," janji Pranaya. Walaupun terlihat susah, dia tetap berusaha.

"Aku gak percaya. Pokoknya kembalikan uangku dan kamu juga harus tanggung jawab dengan apa yang sudah terjadi. Aku akan bawa masalah ini ke meja hijau. Aku akan tuntut perusahaan Anda seratus milyar karena Anda sudah membuang waktuku. Selamat bertemu di pengadilan." Denish menutup telponnya dan dia sangat marah.

Kepala Pranaya berdenyut hebat. Bagaimana dia bisa membayar uang tuntutan itu sedangkan perusahaannya sedang diterpa badai.

Dengan hancurnya proyek dari Armour Estetic membuat keuangan perusahaan semakin morat marit. Pranaya benar-benar dalam posisi sulit sekarang.

"Kenapa bisa proyek kita hancur?" hentak Pranaya saat membaca kabar dari berita online tentang proyeknya yang hancur tidak tersisa.

"Kata karyawan kita, terjadi ledakan dari dalam tanah, Pak. Dan semuanya hancur tidak tersisa." Billy dengan ketakutan memberitahukan semua yang terjadi.

"Sial. Bagaimana bisa ada ledakan dari dalam tanah? Selama ini tidak pernah ada masalah seperti ini," keluh Pranaya.

Puluhan tahun dia bergelut di bidang ini, baru kali ini dia mengalami kegagalan. Iya, tentu saja bisa. Karena itu semua ulah anak buah Arais sendiri.

Anak buah Arais memasang bom kecil di beberapa titik yang menyimpan bahan baku dan di bawah kerangka bangunan yang sudah mulai dibangun. Dalam sekali tekan semua bom meledak secara bersamaan sehingga mereka mengira itu dari satu ledakan padahal ledakan itu beberapa bom yang meledak secara bersamaan.

Brak

Pranaya menggebrak meja. Dia tak menyangka perusahaannya akan oleng setelah ditinggal Arais. Biasanya Arais yang menangani semua masalah perusahaan, kini Arais tidak ada semuanya terbengkalai dan menjadi tidak tertata.

"Bagaimana keadaan keuangan perusahaan?"

"Keuangan kita sangat sedikit, Pak. Untuk membayar karyawan bulan ini saja kita terancam rugi. Apalagi kalau kita tidak bisa mendapatkan proyek apapun, kita bisa gulung tikar, Pak?"

Pranaya sangat marah. Bagaimana mungkin perusahaannya bisa kacau setelah ditinggal Arais? Sedangkan dulu—di saat dia masih memegang perusahaannya sendirian dia tidak pernah mengalami hal seburuk ini. Apa ini karma karena sudah membuat Arais sakit hati?

Kepala Pranaya berdenyut sangat hebat. Di saat itu muncul seorang wanita berbaju hijau dan celana hitam. Penampilannya sangat kacau, jangankan riasan, sepertinya dia juga belum sempat mandi.

"Pak Pranaya aku mau bicara?" kata gadis itu dengan raut ketakutan.

Bersamaan dengan masuknya gadis itu, masuk pula seorang gadis yang menjadi sekretaris Pranaya. Dia terburu-buru mengejar gadis itu karena dia memaksa masuk meskipun sekretaris Pranaya tidak mengizinkan.

"Maaf, Pak. Tadi saya sudah menyuruh dia untuk menunggu, tapi dia tidak mau. Dia nyelonong aja ke sini," bela sekretaris Pranaya dengan gemetar ketakutan.

"Tidak apa-apa. Kalian keluar, saya mau bicara dengan dia." Pranaya memerintah.

Mereka berdua pun keluar dan gadis berbaju hijau itu masuk menemui Pranaya. Kebetulan Pranaya bertemu wanita itu. Ada yang ingin dia bicarakan.

"Pak Pranaya aku mau bicara penting. Tapi jangan di sini. Bisa kita bicara di tempat lain yang lebih aman?" kata gadis itu sambil melihat ke sekitar seakan ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka.

"Mau apa kamu ke sini? Sudah puas dengan apa yang kamu buat dengan keluargaku, Iranela?" sungut Pranaya pada gadis itu.

Iranela. Iya. Dialah Iranela yang membuat hubungan Pranaya dan Arais berantakan. Kini gadis itu mendatangi Pranaya di kantornya. Entah mau apa Iranela menemui Pranaya, seakan dia tak pernah puas dengan apa yang sudah dia lakukan pada anak dan ayah tersebut.

"Aku bisa jelaskan semuanya, Pak. Tolong aku, percaya sama aku. Aku hanya bisa percaya sama Pak Pranaya karena aku yakin Pak Pranaya orang baik," harap Iranela dengan mata memelas.