webnovel

Godaan Miraila

Menjual perusahaan? Sudah gila apa Billy. Itu bukan perusahaannya, tapi dia berani menjualnya pada orang lain.

Pranaya sudah mau menutup perusahaan, tidak masalah kalau Billy menjual saja perusahaan itu pada orang lain. Sekarang Pranaya juga sudah tidak peduli pada nasib perusahaanya, dia pasti tidak akan tahu kalau perusahaan itu masih jalan, tetapi pemiliknya berbeda. Apakah Arais akan menerima tawaran dari Billy itu?

"Aku gak mau. Aku hanya mau saham Zuyo Group sembilan puluh lima persen dan Pranaya masih menjadi bagian dari Zuyo Group," jawab Arais lagi.

Mana mungkin Arais mau mengabaikan kesempatan sebagus ini untuk menyiksa ayahnya sendiri. Dengan Pranaya ada di bawah kendalinya, dia bebas melakukan apapun pada lelaki itu.

'Akan aku buat kamu merasakan apa yang aku rasakan dulu, Papa Tercinta,' ucap Arais dalam hati dengan senyuman jahat.

"Ta—tapi ... mana mungkin itu bisa, Pak?" Billy terbata. Dia bingung. Bagaimana caranya memindahkan saham perusahaan sebesar itu pada Arais yang dari luar perusahaan?

"Aku gak mau tahu. Kalau Anda bisa melakukan itu, aku transfer uangnya sekarang. Kalau gak bisa, aku tutup telponnya," desak Arais.

Arais yakin kalau Billy tidak akan mungkin mau menolak. Baginya kemewahan adalah hal wajib yang harus dia dapatkan. Jika Zuyo Group bangkrut, otomatis dia akan jadi gelandangan karena rumah serta mobil yang dia miliki adalah inventaris dari kantor.

"OK. Saya akan berikan saham itu pada Anda. Tapi tolong transfer uangnya sekarang juga. Akan saya berikan apapun yang Anda mau. Saya mohon, Pak. Saya sangat butuh uang itu sekarang," pinta Billy sambil mengiba. Dia sudah putus asa dan tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi selain Arais.

Denish tidak akan mungkin mau membantunya karena dia juga sudah melaporkan Zuyo Group ke meja hijau karena telah gagal membangun proyek yang Zuyo Group dapatkan beberapa bulan lalu.

"Silahkan cek rekening Anda." Arais sudah tahu nomor rekening Billy, tidak heran jika sekarang uang sepuluh milyar sudah sampai ke rekeningnya.

Billy pun segera mengecek ponsel dan terlihat uang yang sangat banyak masuk rekeningnya. Dia kaget, ternyata Arais benar-benar memberinya pinjaman.

"Te-terima kasih, Pak. Saya akan lakukan apapun untuk membayar hutang ini," ucap Billy terbata-bata karena terharu. Rasa senang dan tak mengira dia akan mendapatkan pinjaman dalam waktu secepat ini.

"Jangan coba-coba kabur atau bermain-main denganku. Aku tahu semua tempat persembunyian kamu. Dalam waktu satu bulan semuanya harus sudah selesai. Kalau tidak ... Anda akan tahu resikonya," ancam Arais tegas.

"I-iya, Pak. Pasti akan saya urus sahamnya. Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya mau mengurusi gaji karyawan dulu."

Arais menyeringai penuh kepuasan. Dengan jatuhnya sembilan puluh lima persen saham Zuyo Group padanya, akan memudahkan dia membalaskan dendamnya pada sang ayah tercinta.

***

Miraila sudah merubah penampilannya sekarang. Dia seperti wanita modern yang sangat modis. Baju yang dia pakai pun sekarang seperti model papan atas yang suka memamerkan lekuk tubuh indahnya.

'Akan aku buat kamu jatuh cinta padaku, Arais. Siapa yang gak tergoda dengan lekuk tubuhku yang seksi ini? Pasti kamu akan terpesona dan gak bisa lepas dari aku,' gumam Miraila dalam hati.

"Arais. Aku udah siap. Katanya kita mau ke kantor baru kamu?" ajak Miraila pada Arais yang sedang duduk di sofa sambil menyesap kopi serta membaca berita online dari ponselnya.

Arais menoleh, dia lalu kembali mengalihkan pandangan pada ponselnya.

"Kamu sudah siap? Kita tunggu Dony dulu," jawab Arais dengan dingin.

Miraila kesal. Ternyata dugaannya salah. Arais tidak terpesona sedikit pun padanya. Cuek dan tidak peduli sama sekali. Menyebalkan. Miraila pun mengilangkan kedua tangan di depan dada lalu memanyunkan bibirnya.

Tak lama Dony datang.

"Maaf, aku telat. Ayo kita berangkat sekarang?" ucap Dony, buru-buru masuk karena pintu sengaja tidak dikunci.

Arais langsung bangun dan tanpa berkata apa pun langsung menuju mobil.

'Aku tidak suka lihat wanita berpakaian seksi. Kamu mengingatkan aku pada Iranela, Miraila. Dan aku benci itu,' kata Arais dalam hati. Rasa sedih bercampur marah seketika datang menguasai hatinya.

Arais duduk di depan sedangkan Miraila duduk di belakang sendirian.

'Sial. Kirain bakal diistimewain, ternyata malah dicuekin. Nyebelin,' batik Miraila terus memasang wajah kusut.

Dony menyetir mobil menuju perusahaannya yang sudah mulai besar. Dua proyek berhasil dikerjakan dalam waktu beberapa bulan saja dan itu membuat nama Armail Estate mulai terkenal. Hari ini pun mereka akan menandatangi kontrak proyek baru di luar kota, makanya pagi-pagi mereka harus sudah sampai di kantor.

"Bagaimana keadaan kantor kita?" tanya Arais di sela keheningan sepanjang jalan.

"Kantor sangat baik, Pak. Nama perusahaan kita sudah mulai tercium di bidang bisnis. Kita bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya," jawab Dony bahagia.

"Hari ini kita akan ke Zuyo Group. Sebentar lagi Zuyo Group akan menjadi bagian dari perusahaan kita."

"Zuyo Group? Maksudnya perusahaan ayahnya Pak Arais?" Dony reflek menjawab.

Arais melirik Dony dengan tajam. Dia muak mendengar nama itu disangkutpautkan dengan dirinya yang kini sudah tak mau ada hubungan lagi dengan lelaki itu.

Merasakan suasana memburuk, Dony menelan ludah karena takut. Dia pun tersenyum kaku seraya menenangkan diri.

"Maaf, Pak. Maksud aku, perusahaan Pak Pranaya," ralat Dony.

"Aku udah dapat sembilan puluh lima persen saham Zuyo Group. Kita akan buat Zuyo Group menjadi perusahaan bayangan kita," tambah Arais.

Mendengar Arais berhasil menguasai Zuyo Group, Miraila merasa tidak lagi kesal.

'Bagus. Sebentar lagi Arais bisa membalas dendam pada Pranaya. Jangan biarin Pranaya mati begitu saja, Arais. Siksa dia sebelum dia ke neraka. Aku akan selalu bantu kamu untuk balas dendam pada lelaki jahat itu,' ungkap Miraila bahagia. Dia ikut bahagia mendengar Arais akan membalaskan apa yang dia rasakan selama ini.

***

Arais sampai di perusahaan. Ada Pranaya di dalam ruangannya. Sebenarnya Pranaya tidak ingin lagi datang ke perusahaan, tetapi Billy memaksa. Billy mengatakan ada hal penting, itulah sebabnya Pranaya mau datang.

"Ada masalah penting apa? Kenapa kamu menyuruh saya datang ke sini?" tanya Pranaya.

"Maaf, Pak. Kemarin Pak Pranaya bilang mau menjual perusahaan 'kan? Saya sudah menawarkan perusahaan ini pada seseorang. Hari ini katanya dia mau datang ke sini untuk melihat perusahaan ini," jawab Billy setenang mungkin.

Padahal dalam hatinya, Billy sangat takut. Bagaimana tidak takut sedangkan dia sudah memberikan sembilan puluh lima persen perusahaan pada musuhnya sendiri.

"Jual perusahaan? Saya tidak ingin lagi menjual perusahaan ini. Biarkan saja perusahaan ini tetap berdiri walaupun dalam keadaan kosong. Perusahaan ini akan saya wariskan pada anak saya. Saya yakin dia bisa membangun kembali perusahaan ini." Pranaya marah. Dia tak menyangka Billy bisa selancang itu menawarkan perusahaannya pada orang lain tanpa sepengetahuannya.

"Tapi, Pak—" Billy mencoba membela diri.

"Apapun alasannya ... saya tidak suka dengan apa yang sudah kamu lakukan. Pokoknya kamu harus membatalkan pertemuan ini. Saya mau pulang." Pranaya marah.

"Kenapa harus dibatalin? Aku udah datang di sini dan gak mau acaranya dibatalin," ucap seseorang dari ambang pintu.

Pranaya menoleh dan sangat terkejut melihat orang itu.