webnovel

Berikan Aku Saham Zuyo Group

Arais menemui Miraila di rumah sakit. Sudah tujuh bulan dia di rawat di sana. Dia ingin melihat wajah Miraila yang sekarang sudah selesai dioperasi.

Miraila duduk sambil memandang ke luar jendela. Sejak beberapa bulan lalu dia berusaha beradaptasi dengan wajah barunya. Operasi pita suara pun berhasil dilakukan. Kini Miraila sudah menjelma menjadi gadis baru. Penampilan baru dan suara baru.

Arais berdiri di belakang Miraila.

"Miraila. Gimana keadaan kamu?" tanya Arais setelah dia selesai mengurus urusan kantor.

Miraila berbalik dan memandang Arais. Biasanya dia hanya berani menatap Arais dengan pelindung selendang usang yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Kini dia bisa lebih leluasa memandang wajah tampan lelaki dingin yang kini terlihat lebih jahat dari yang dulu. Sangat tampan, bahkan lebih tampan tanpa pelindung yang menutup matanya.

'Ya Tuhan. Ganteng banget Arais. Apa aku bisa memiliki kamu Arais? Aku sudah jatuh cinta padamu,' harap Miraila dalam hati. Sejak tujuh bulan yang lalu dia sangat rindu pada Arais karena mereka tidak bertemu disebabkan kesibukan Arais mengurus perusahaannya yang baru.

Pun dengan Arais. Pemuda itu kaget melihat penampilan Miraila. Wajah Miraila sekarang mulus seperti artis. Hidung mancung, rambut panjang dan mulut mungil. Sekilas Arais melihat Miraila mirip Iranela. Entahlah. Apa karena dia masih mencintai Iranela makanya Miraila terlihat mirip dengan Iranela?

'Iranela. Kenapa aku masih aja lihat wajah kamu di mana-mana? Apa karena aku masih cinta sama kamu? Enggak. Aku gak boleh cinta lagi sama kamu. Kamu udah khianati aku. Aku akan balas dendam sama kamu dan Pranaya.'

Tekad Arais dalam hati sangat besar. Tidak akan Arais biarkan hatinya lemah hanya karena cinta. Cinta yang sudah dia persembahkan untuk Iranela tidak akan dia ingat lagi. Semuanya hanya tinggal kenangan. Arais kini sudah berubah jahat.

"Gimana suara kamu? Apa kamu sudah bisa bicara?" kata Arais dingin.

"Terima kasih. Aku bisa bicara sekarang," jawab Miraila sambil tersenyum.

Sebenarnya dia memang bisa bicara, bukan bisu asli. Terjadi kerusakan pada pita suaranya sehingga dia tidak pernah bicara karena malu sering diolok sejak kecil karena suaranya yang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Kini suaranya sudah diobati sehingga suaranya menjadi lebih bagus.

"Bagus. Sekarang kita belanja. Perbaiki pakaianmu dan jadilah sekretarisku yang akan membuat perusahaan Pranaya hancur."

'Inilah saatnya aku buat kamu jatuh cinta padaku. Akan aku curi hatimu dan singkirkan Iranela dalam hati kamu untuk selamanya,' niat Miraila dalam hati.

***

Billy sedang kebingungan karena perusahaan Pranaya benar-benar sedang kacau. Karyawan demo karena gajinya belum dibayar selama tiga bulan.

"Pak, karyawan demo dan mogok kerja karena mereka minta gajinya diberikan saat ini juga," lapor Billy pada Pranaya dengan cemas. Dia ada di dalam ruangannya, tak berani menghadapi amarah karyawan yang meledak-ledak.

"Saya-kan sudah bilang, tutup perusahaan tiga bulan yang lalu dan berhentikan karyawan dengan baik-baik, karena saya tidak sanggup membayar gaji mereka. Tapi kamu yakinkan saya untuk tetap membuka perusahaan. Nyatanya apa? Satu proyek pun tidak bisa kamu dapatkan. Sekarang kamu yang bertanggung jawab dengan masalah ini. Saya tidak mau tahu," jawab Pranaya menyalahkan Billy.

Billy terlalu berambisi untuk mengembalikan kejayaan Zuyo group tanpa melihat situasi. Nyatanya semua rencananya gagal. Uang pesangon yang sudah disiapkan untuk membayar karyawan sudah habis untuk mencoba mencari proyek lain yang nyatanya tidak ada satu pun yang bisa didapatkan.

Menelpon Pranaya justru membuat Billy kena masalah baru. Daripada terus disalahkan, Billy memutuskan untuk mengakhiri sambungan telponnya.

"Mikir Billy-mikir. Bagaimana caranya dapat uang sebanyak itu untuk membayar gaji karyawan? Bisa-bisa saya masuk penjara kalau saya tidak bisa bayar. Mikir-mikir-mikir," gumam Billy sambil mondar mandir.

Dia terus mencari jalan keluar yang dia persulit sendiri. Padahal kalau dia menuruti kemauan Pranaya untuk memecat semua karyawan tiga bulan yang lalu, masalah ini tidak akan terjadi.

"Armail Estate. Iya. Armail atau Armour Estetic yang bisa membantu saya. Saya harus hubungi mereka. Semoga mereka mau membantu saya," harap Billy.

Billy mengambil ponsel lalu menghubungi Armail Estate yang nomornya pernah dia minta dari salah satu temannya.

Satu kali deringan sudah langsung diangkat oleh Arais.

"Selamat pagi, Pak Arais. Bagaimana keadaan Anda? Boleh saya mengganggu waktu Anda sebentar?" sapa Billy basa-basi.

"Ada apa? Katakan keinginan Anda. Saya tahu orang seperti Anda hanya menghubungi kalau ada yang penting saja," cecar Arais tajam.

"Apa kita bisa kerja sama? Saya akan melakukan apa saja agar Anda mau kerja sama dengan saya. Saya mohon, bantulah saya," mohon Billy dengan memelas.

Arais tersenyum jahat. Tanpa perlu dia berbuat banyak, mangsa sudah datang sendiri.

"Apa mau Anda? Anda butuh uang berapa?" kata Arais dingin.

Billy tidak tahu Arais yang dia hubungi adalah mantan atasannya sendiri. Dia pun tidak memikirkan dampaknya ke depan kalau sampai kerja sama mereka bisa terlaksana.

'Pokoknya saya harus bisa dapatkan uang itu dan pertahankan Zuyo Group. Bisa tidur di jalanan kalau sampai Zuyo Group ini bangkrut. Semua kemewahan yang aku rasakan selama ini bisa melayang dari tangan,' ucap Billy dalam hati.

"Saya butuh sepuluh milyar untuk bayar gaji karyawan Zuyo Group. Saya janji, saya akan lakukan apapun asal Anda mau memberikan uang itu pada saya," mohon Billy dengan sangat.

"Ok. Akan aku berikan sepuluh milyar padamu. Dengan syarat, berikan sembilan puluh lima persen saham Zuyo Group padaku."

"Apa? Sem-sembilan puluh lima persen uyo Group untuk Anda? Itu tidak mungkin. Bagaimana nasib Pak Pranaya kalau dia hanya memegang lima persen saham di perusahaannya sendiri?" Billy kaget bukan kepalang dengan syarat yang diberikan oleh Arais. Mana mungkin itu dia lakukan sementara dia tidak punya hak untuk mengalihkan saham perusahaan pada orang lain.

"Itu bukan urusan aku. Yang aku tahu hanya saham Zuyo Group sembilan puluh lima persen jatuh ke tangan aku. Aku transfer uangnya sekarang juga dan Anda harus segera mengatur pemindahan saham secara sah. Bagaimana?"

Billy bingung. Syarat yang diberikan Arais sangat berat. Jangankan sembilan puluh lima persen, di bawah lima puluh persen saja bukan haknya untuk memindahkan saham Zuyo Group pada orang lain. Namun, dia sedang kepepet.

"Kenapa Anda tidak meminta syarat lain saja, Pak? Misalnya—" Billy langsung dipotong Arais.

"Aku gak mau yang lain. Aku hanya mau saham Zuyo Group sembilan puluh lima persen. Kalau Anda bisa memberikan sembilan puluh lima persen saham Zuyo Group, akan aku kirim sekarang uangnya."

"Atau begini saja. Anda beli saja perusahaan ini. Dengan begitu Anda bisa mendapatkan seratus persen saham dari Zuyo Group. Bagaimana?"