webnovel

Pekerjaanku [End]

Tidak ada bayangan tentang menjadi seorang asisten pribadi. Tapi inilah yang terjadi. Dari seorang satpam, Deano kini berusaha sangat keras untuk bisa menjadi seorang asisten pribadi. Berkali-kali ingin menyerah, tapi nyatanya tetap bertahan. Ada banyak hal yang membuatnya bertahan meski ingin menyerah. Membuka matanya bahwa hidup orang lain tidak seindah apa yang dilihat. Yakin, meski terlambat, tapi hasil yang akan diraih tidak akan berkhianat. "Karena kamu membalas anggukanku." Jawaban sang bos nyatanya membuat Deano merasa sangat jengkel.

dhiarestwd · Realistis
Peringkat tidak cukup
22 Chs

Tetangga Julid

Hari liburku tuh kadang nggak tentu. Kadang aku bisa libur di hari Sabtu dan Minggu, tapi kadang juga cuma hari Minggu doang. Pernah juga malah libur di hari Senin. Nggak masalah sih mau libur kapan aja, soalnya di rumah juga nggak ngapa-ngapain ini. Palingan aku bantu Ibu di kebun, panen apa aja yang bisa dipanen. Bercocok tanam apa aja yang bisa ditanam.

Apa hidupku enak sekarang?

Kalau dibilang enak ya enak, tapi nggak segitu enaknya. Aku kadang masih harus memutar otak biar gajiku cukup buat biaya kuliah dan juga menabung. Aku juga pengen nikah coy. Dan sadar banget kalau biaya nikah itu nggak murah. Ditambah lagi aku juga harus benerin rumah reot ini. Kalau ada angin kenceng takutnya rumah ini kabur tertiup angin.

Bagian enaknya sekarang tuh ya tenang gitu hidupnya. Biar dikata kudu muter otak karena biaya yang harus ditanggung, tapi berasa tenang karena pasti ada yang bisa dijadiin jaminan. Dan rasanya aku punya waktu yang lebih berkualitas gitu sama keluarga. Nggak kayak dulu yang udah pada sibuk masing-masing. Mungkin ini dampak karena aku melihat keharmonisan keluarga Narendra.

Nggak bisa dipungkiri, keluarga Narendra sekarang jadi role mode-ku dalam membangun keluarga nantinya. I mean, sesibuk apapun seorang laki-laki, ketika dia di rumah ya udah jadi bapak sama jadi suami buat keluarganya. Kayak Mr. Narendra, beliau kalo udah di rumah ya udah nggak ngurus kerjaan lagi. Kecuali yang darurat ya. Tapi jarang sih yang darurat. Semua juga bakal dikerjain ketika jam kerja mulai. Atau dialihkan ke Kairo.

Terus juga interaksi antara orang tua dan anak tuh oke banget. Para anak Narendra tuh bisa deket gitu sama orangtua. Walau mereka udah setua itu, tapi kalo sama emak bapaknya juga manja. Beda banget sama keluargaku, yang duduk aja jauhan kek orang lagi marahan. Komunikasi juga seadanya kalo lagi butuh.

Apa ya kira-kira rahasianya? Biar bisa pada deket gitu antara anak sama orangtua.

Nah, berhubung sekarang aku libur, aku bantuin Ibu berkebun. Dibelakang rumah, ada tanah yang nggak luas, yang dimanfaatkan sama Ibu buat nanam sayuran atau apa aja. Hasilnya ya dipake sendiri atau kalau kebanyakan ya nanti dijual. Kaya sekarang ini, kami panen sayur kangkung. Banyak banget.

"Mau dijual semua ini, Bu?" tanyaku, sembari mengikat kangkung.

"Iya. Ibu udah sisihin dikit buat dimakan kita nanti." jawab Ibu santai.

Itu untungnya ya. Dan Ibu tuh emang tipe yang bisa merawat tanaman apa aja. Kalo kata orang, Ibu tuh emang cocok kerja di tanah. Itu bukan sekedar opini aja sih menurutku.

Nah kangkung ini akan kita jual ke tetangga. Beliau memang menjual sayur mayur dan kebutuhan pokok lainnya. Ibu juga udah langganan jual apa aja ke sana. Kita panggil aja Budhe Tatik.

"Mas Ano tumben keliatan? Lagi libur apa gimana nih?" biasa, basa-basi ala ibu-ibu.

"Lagi libur Budhe." jawabku singkat. Yang artinya aku udah nggak mau basa-basi lagi.

Sayangnya nggak semua orang menangkap sinyal itu. Si budhe terus aja nyerocos bahas ini itu yang lagi happening di kampung ini, termasuk juga kampung sebelah. Bau-baunya nggak enak nih kalo udah nyangkut kampung sebelah.

"Mas Ano kapan nikah? Si Nara udah hamil lho. Mas nggak mau nyusul?"

Kan bener kan. Nyesel deh jadinya ikut Ibu kesini. Dan nyesel juga dulu pernah pacaran lama sama tetangga. Apa-apa pasti aja disangkut pautin. Padahal kita mah b aja dia mo jungkir balik kek apa juga.

"Iya, apalagi udah 30 tahun kan Mas Ano?" malah ditambahin sama orang lain pula.

Aku cuma bisa senyumin aja pertanyaan mereka. Nggak menjawab ataupun berkomentar apapun. Untung aja Ibu udah kelar sama transaksi disini, jadi aku langsung ajakin Ibu cabut aja.

Sepanjang perjalanan ke rumah, Ibu diem aja. Tanda-tanda nih ada yang bakal ngamuk bentar lagi. Ibu kalo nggak enak ati bawaannya diem gini. Bikin yang ada di sekitarnya jadi deg-degan. Ya buat yang udah paham aja sih.

Sampai rumah, aku langsung bebersih dan juga ngecek email. Biasa, cek email Bos dan kasih rekapan. Walau lagi libur, tetep tugas ada. Lagi asyik rekap, pintu kamar dibuka oleh Ibu. Mukanya udah asem banget deh Ibu, macam udah nggak belanja beberapa abad. Tapi Ibu nggak langsung ngomel atau tindakan lainnya yang bisa membuat kita kuwalahan.

Lama Ibu diem, cuma duduk di ranjang sembari menatapku yang lagi sibuk kerja.

"Nang, kamu tahun ini umur berapa?" oke, dimulai.

Ya ampun, cuma mo jawab umur sendiri aja aku kudu mikir. Apa setua itu yak? "26 mungkin, Bu."

"Kamu nggak kepikiran buat nikah?"

"Kepikiran, Bu, tapi nggak sekarang." jawabku selembut mungkin. Sumpah, menjaga intonasi selembut mungkin ketika Ibu bertanya hal kek gini tuh susah banget.

"Kapan?" tuntut Ibu.

"Nanti, kalo Fara udah lulus kuliah. Kalo jodohnya udah ada."

"Kamu masih kepikiran Nara?"

Pertanyaan apa lagi ini, ya Tuhan!

Aku meletakkan tabletku dan menghadap Ibu. Aku tatap mesra Ibu sembari menggenggam tangan beliau. Rasanya udah lama banget aku nggak menatap Ibu seperti ini. Dan aku baru sadar kalau wajah Ibu sekarang udah banyak kerutannya. Beda banget sama Nyonya Clara yang masih kencang dan mulus kulit wajahnya.

"Bu, aku nggak kepikiran Nara. Alasan aku belum nikah karena masih punya tanggungan kuliahin Fara. Dan lagi, aku baru aja pindah kerja, banyak banget yang harus aku lakuin buat kerjaan ini." aku mengambil jeda, biar Ibu bisa meresapi apa yang aku omongin. "Lagian, anaknya Nyonya Clara juga belum nikah, padahal umurnya sekarang udah 27 tahun."

Semoga Ibu bisa membuka pikiran tentang pernikahan. Bahwa hal sakral itu bukan sebuah kompetisi. Mentang-mentang mantan udah nikah trus kita juga kudu cepetan nikah. Mentang-mentang umur udah 25 tahun lebih kita harus cepetan nikah. No, ini bukan tentang hal itu.

"Tapi kamu udah 26, Nang. Kalo ketuaan nanti ngurus anaknya gimana? Kamu udah pensiun, tapi masih biayain kuliah anak? Jangan kayak bapakmu."

"Ibu nggak usah khawatir, anak itu kan punya rejekinya sendiri." kataku menenangkan. Tentu aja masih berusaha keras menjaga nada suara.

"Apa kamu mau Ibu sama Bapak mati dulu baru nikah?"

Speechless. Kok bisa sih Ibu ngomong kek gitu? Omongan kan doa. Apalagi kalo orangtua yang ngomong.

"Aku doain Ibu sama Bapak panjang umur, biar bisa liat aku nikah." kataku mantap.

Ibu menghela napas. Yakin banget kalo Ibu pengen membantah ucapanku, tapi juga bingung mau ngomong apa. Nggak sia-sia aku jadi anak Ibu selama 26 tahun, jadi bisa paham gimana sifat Ibu.

"Aku mau kelarin kerjaan dulu, Bu. Abis itu nanti aku bantuin Ibu masak. Bentar lagi Bapak pulang kan."

***

Hidup ini nggak melulu tentang diri kita sendiri. Ada orangtua dan juga keluarga yang harus kita pikirkan. Bukan cuma bagaimana memberi mereka uang dan juga makan, tapi juga menjaga perasaan. Kalau dalam kasusku, ini masih berkaitan dengan putusnya aku dari Nara dan menikahnya Nara.

Semua orang udah tahu kalau aku pacaran sama Nara udah lama banget. Sejak kami masih sama-sama duduk di bangku SMA kami pacaran. Nara udah sering main ke rumahku dan bertemu dengan keluargaku. Bukan cuma buat ketemu sama aku aja kalau Nara main ke rumah. Kadang dia main sama Fara juga. Bahkan nggak jarang Nara bantuin Ibu di kebun.

Aku juga udah sering main ke rumah Nara. Buat bantuin Ibunya bikin kue dan juga main sama kakak Nara. Ya intinya kami udah saling mengenal luar dalam lah. Banyak juga yang udah nungguin kami untuk bersanding di pelaminan dan juga membina rumah tangga. Tentu aja diiringi doa dan juga cibiran sih.

Lalu, setahun yang lalu, kami putus. Kami bertengkar? Nggak. Selama ini nggak pernah ada pertengkaran yang sampe ribut atau gimana. Pertengkaran kami biasa aja dan kami selalu bisa menyelesaikan masalah kami dalam ketenangan. Ada orang ketiga dalam hubungan kami? Aku pikir sih nggak, karena kami saling percaya. Well itu juga bukan jaminan sih, tapi aku merasa nggak ada orang ketiga dalam hubungan kami.

Kenapa kami akhirnya putus setelah 8 tahun berpacaran?

Jawabannya adalah karena Nara ingin hubungan kami segera diresmikan. Dia merasa malu dibawa kesana kemari sama aku tapi nggak buruan dihalalin. Jadi karena aku belum bisa memberi kepastian sama dia, akhirnya dia minta putus. Kami pun putus secara baik-baik, nggak ada drama atau apapun itu.

Kalau dilihat dari kacamataku, aku sendiri juga merasa nggak enak sama Nara dan keluarganya. Mereka pernah nanya apa aku serius sama Nara apa nggak. Aku jujur dalam hati pengen serius dan menikahi Nara. Tapi balik lagi, aku masih punya tanggungan Fara sampai lulus kuliah. Ini pernah kita bahas sebelumnya, kalau aku pengen adik-adikku kuliah. Baru ketika mereka kelar kuliah, aku akan memikirkan tentang diriku sendiri. Tapi ya gitu deh.

Dan sekarang, setelah setahun berlalu, aku merasa biasa aja. Biasa dalam artian nggak ada trauma ataupun sakit hati. Aku menikmati semuanya dengan baik. Aku bekerja, belajar hal baru sekarang yang ternyata menyita waktuku. Kalau aku punya waktu luang, aku akan menggunakannya untuk quality time bareng sama keluarga, atau belajar. Jadi memang fokusku sekarang udah beda dari yang dulu.

Aku udah pernah mengungkapkan hal itu kepada keluargaku. Menjelaskan kepada Bapak dan Ibu tentang alasanku menikmati masa lajang ini. Ketika aku membicarakan hal itu, keduanya sih iya iya aja, tapi nggak tahu setelahnya. Apalagi omongan tetangga itu nyebelin banget. Sok ikut campur tapi nggak bantuin biayain hidup.

"Ibu tuh kepikiran lho, Mas." itu kata Fara.

Ya gimana ya? Aku tahu kok kalau Ibu kepikiran dengan omongan orang. Tapi ya gimana, orang akunya biasa aja. Lagian belum ada juga jodohnya. Masa mau nikah sama guling?

"Bilang sama Ibu, kalo aku baik-baik aja. Toh aku nggak mati cuma karena belum nikah." jawabku ketus.

Ah, kalo bahas tentang tetangga tuh emang ngeselin banget. Kadang nggak mau deh punya tetangga. Tapi, nanti kalo kita kesulitan, tetangga adalah orang pertama yang akan membantu kita. Plus hujat kita tentunya.

Bahas kapan menikah itu memang hal yang sensitif. Itu adalah hal yang sangat privasi. Dan aku nggak mau salah langkah hanya karena omongan orang.

Lagian ya, Mr. Arrael aja nikah pas umur 30 tahun. Dia baik-baik aja sama istrinya yang beda 7 tahun. Jadi, anggap aja jodohku sekarang lagi sekolah dan belum kepikiran buat nikah.