Setelah berbincang tidak jelas dengan Jona, aku mengantar Jona pulang ke kosnya dan segera mencari Bos. Pikiranku udah nggak jelas, karena Bos matiin ponselnya.
Hal pertama yang aku pikirkan adalah mencari ke rumah utama. Siapa tahu kan Bos kesana. Tapi rasanya nggak mungkin juga Bos kesana nggak pake mobil pribadi. Kebiasaan orang kaya yang kadang bikin jengkel, yang nggak mau bepergian menggunakan kendaraan umum, kecuali pesawat dan juga kereta. Eh, keluarga Narendra kan punya pesawat pribadi.
Bertekad, aku mengendarai menembus hujan dan juga kabut. Sumpah, jarak pandang yang terbatas banget membuatku menempuh perjalanan lebih lama. Jam 7 malam baru sampai di depan rumah utama yang sepi.
"Mas, ngapain kesini?" tanya Pak Aiman, salah satu sekuriti disini.
Meski rumah udah nggak ada yang nempati, tapi rumah ini masih dijaga. Eh, ada sih yang nempati, Rossie doang.
Oh, mumpung bahas Rossie, kita sekalian bahas Kairo. Kairo langsung ditarik sama Mr. Ilham untuk menjadi asisten pribadinya. Kemana Eric yang jadi asisten pribadi Mr. Ilham sebelumnya? Dia dengan senang hati menjadi asistennya Kairo. Gila ya, asisten pribadi aja punya asisten. Tapi memang itu yang terjadi sih.
Nah, untuk Rossie, dia masih tinggal di rumah utama sembari mengurusi rumah ini. Rossie juga bertugas mengurusi segala keperluan domestik rumah ini, termasuk gaji para pegawai yang masih ada. Termasuk dirinya sendiri.
Mr. Arrael udah nawarin Rossie untuk ikut beliau ke Jerman. Jadi asistennya Mrs. Aini, atau paling nggak jadi temen ngobrolnya Mrs. Aini kalau lagi ditinggal sama Mr. Arrael kerja, tapi ditolak sama Rossie. Entah apa yang menjadi pertimbangan Rossie, yang jelas mereka menghargai keputusan Rossie.
Aku langsung masuk ke rumah. Tentu aja setelah membersihkan diri karena pakaianku basah.
Masuk ke kamar Bos dan memeriksa setiap sudut kamar itu. Berharap nemuin Bos Kecil yang lagi nyempil dipojokan kamarnya. Nggak ada.
Sempat kepikiran untuk masuk ke kamar Mr. dan Mrs. Narendra, tapi itu kan nggak sopan banget. Gimana nanti kalau aku malah dicurigai mau nyolong?
Ganti rencana. Aku ke ruang keamanan. Memeriksa semua rekaman cctv yang ada di rumah. Kali aja Bos terekam pas masuk ke rumah. Sampai mata jereng liatin layar buat nemuin Bos Kecil, nyatanya nggak nemu juga.
"Ya ampun, Bos, jangan ngumpet gini dong. Nggak lucu." kataku, meremas rambut saking frustasinya.
Aku udah bilang kan kalo ini udah malam?
Tiba-tiba aja ada pikiran untuk mencoba mencari Bos Kecil di makam. Ya siapa tahu kan Bos ziarah ke makam kedua orangtuanya? Nggak ada yang salah juga. Tapi kenapa sampai malam belum balik juga? Kan jadi gregetan.
Nggak ada salahnya mencoba. Hujan udah nggak selebat tadi, menyisakan gerimis lembut yang masih turun. Meski nggak begitu berani, aku tetap memberanikan diri mencoba peruntungan ini. Siapa yang tahu kan Bos memang ada disana. Tapi selarut ini?
Makam ini tuh letaknya ada di ujung barat kampung. Jalannya udah bagus karena diaspal. Lampu juga menyala, jadi nggak gelap-gelap amat. Yang bikin serem tuh karena jauh dari rumah penduduk. Kalau ada apa-apa trus teriak kan nggak ada yang denger kalau jauh gini. Ih, apaan sih!
Jalanan yang basah menyulitkanku berjalan. Apalagi area makam ini masih berupa tahah. Iya lah Deano, kalo semen gimana mereka nguburin jenazah?
Ini pertama kalinya aku berjalan sendirian di makam. Malam hari pula. Demi mencari Bos Kecil seorang. Ya ampun, gini amat ya kerjaan gue?
Ketemu.
Bos lagi duduk diantara 2 nisan. Cuma duduk aja. Kalau aja bajunya nggak bermotif, mungkin aku akan mengira itu hantu. Kebetulan banget Bos pake kemeja putih yang ada motif sayapnya. Jadi nggak mungkin hantu pake baju kayak gitu kan?
Sesampainya di belakang Bos, aku cuma memayungi Bos. Nggak ngomong apa-apa, karena aku memang nggak tahu harus ngomong apa. Menyadari kehadiranku, Bos mendongakkan kepalanya menghadapku. Kelihatan banget kalau Bos udah disini lama. Kulitnya yang putih jadi kelihatan pucat. Juga hampir biru karena kedinginan.
"Let's go home." kataku.
Ajaibnya, Bos langsung menganggukkan kepala dan berdiri. Langkahnya agak sulit karena pakaiannya basah dan ada noda tanah yang nempel, menjadikan pakaiannya terasa berat. Nggak usah mikirin mobil yang bakal kotor, toh masih banyak tempat cuci mobil yang buka. Sekarang yang penting Bos udah ketemu dan dalam keadaan utuh tanpa kekurangan suatu apapun.
Rossie kaget melihat kedatangan kami yang hampir tengah malam. Apalagi Bos dalam keadaan basah dan pucat karena kedinginan. Tanpa banyak kata, Rossie segera menyiapkan baju ganti dan membuatkan minuman hangat. Aku juga meminta Rossie membuatkan sup untuk Bos. Aku yakin itu anak orang belum makan dari tadi.
Kebanyakan orang kaya tuh makan cuma sebagai formalitas aja. Biar mereka dianggap normal sebagai manusia. Manusia memang butuh makan kan? Ini nggak bohong.
Kita ambil contoh terdekat aja, keluarga Narendra. Dari 7 orang anggota keluarga ini, ada 4 orang yang memiliki masalah pencernaan. Bahkan mendiang Mr. Narendra juga memiliki masalah itu. Cuma memang udah jarang kambuh karena ada Kairo dan mendiang Mrs. Narendra yang mengingatkannya.
Siapa lagi yang mengalami masalah pencernaan? Mr. Arrael, Mr. Bima dan juga Bos Kecil. Heran aja gitu, kenapa mereka sampai lupa makan kalau udah asik sama pekerjaan atau masalah mereka. Memang mereka nggak ngerasa lapar gitu? Tahu-tahu udah ambruk trus dirawat di rumah sakit.
Eh, kenapa kita jadi bahas masalah pencernaan sih?
Oh iya, gara-gara aku meminta Rossie menyiapkan sup untuk Bos Kecil.
"Ketemu dimana?" tanya Rossie santai, sembari menyiapkan sup untukku dan Bos Kecil.
"Graveyard." jawabku sembari menyeruput teh hangat buatan Rossie yang enak. Teh kamomil yang wangi.
Terdengar Rossie menghela napas berat. Kehilangan ini juga menjadi kehilangan kami para pekerja di keluarga Narendra. Meski hanya bawahan mereka, tapi kami sudah dianggap sebagai keluarga juga disini. Apa yang mereka makan, kami juga memakannya. Apa yang mereka kenakan, kami juga kebagian untuk mengenakan pakaian yang sama nyamannya dengan mereka. Intinya, Mr. dan Mrs. Narendra tuh loyal banget sama para pekerjanya. Itu yang membuat kami merasa kehilangan dengan kpeergian mereka.
***
Aku tahu, waktu yang akan menyembuhkan luka hati. Apapun penyebabnya, akan selalu sembuh seiring waktu berjalan. Yang perlu aku lakukan hanya bersabar sebentar lagi, karena proses itu nggak instan.
Ini masih tentang Bos, yang masih berduka setelah kedua orangtuanya meninggal. Dan ini sudah hampir 3 bulan sejak hari itu. Nyatanya, waktu 3 bulan belum cukup untuk membuat Bos kembali ceria. Well, walau aku nggak tau definisi ceria menurut Bos itu seperti apa dan bagaimana.
Bos kembali kuliah. Dia juga udah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan sekarang Bos udah mulai merambah ke bidang properti, dimana memang disinilah keahliannya. Merancang bangunan.
Pekerjaan semakin padat. Aku juga dituntut untuk tahu apa yang sedang dikerjakan oleh Bos. Mau tidak mau, aku juga harus belajar tentang arsitek meski nggak mendetail seperti Bos. Harapannya, ketika Bos nggak bisa mempresentasikan pekerjaannya, aku bisa menggantikannya. Sama seperti para asisten pribadi lainnya.
Dan itu memang benar. Ketika ada pekerjaan untuk merancang suatu bangunan, Bos akan membuat rancangannya dan aku yang akan menjelaskan kepada klien. Nggak cuma sekali dua kali, tapi setiap kali ada pekerjaan memang begitu. Bos merasa belum bisa melakukan presentasi sendirian.
Aku pikir ini adalah cara Bos untuk bisa melupakan kesedihannya. Bekerja sampai lupa melakukan kegiatan yang lain. Jadi, sekarang kegiatan Bos tuh cuma kuliah dan kerja. Makan aja sampai harus aku ingatkan, baru dia mau makan. Kadang, malah makanannya nggak disentuh sama sekali. Hampir 3 bulan Bos melakukan hal itu. Membuatku merasa khawatir.
Hari ini, setelah pulang kuliah nanti jam 4, seharusnya kami bertemu dengan klien untuk mempresentasikan rancang bangun yang sudah disetujui. Hebat ya si Bos, padahal belum lulus kuliah, tapi dia udah pinter nyari duit. Didikan orang kaya emang beda ya.
Sayangnya, tepat jam 12 siang Bos mengirimiku pesan. Bos memintaku untuk membatalkan meeting nanti sore. Wow, padahal 5 jam lagi sebelum meeting, dan harus dibatalkan. Agak jengkel, tapi ya mau gimana lagi. Kupingku rasanya panas mendengar omelan klien yang marah karena pembatalan sepihak dan mendadak.
Ini nggak biasa ya, karena Bos itu orangnya disiplin banget. Apa yang udah dijadwalkan akan dilaksanakan meski ada hujan badai. Ada apa dengan hari ini?
Yak, sekali lagi, feeling seorang asisten pribadi bekerja. Rasanya nggak tenang setelah menerima pesan pembatalan itu. Jadi aku buru-buru ke kampus untuk melihat sendiri bagaimana keadaan Bos.
Sampai di parkiran, mobil Bos masih terparkir dengan manis. Dia masih menggunakan mobil mahalnya untuk ke kampus. Kadang bergantian, tapi selalu 2 merk mobil itu yang di kendarai. Sedangkan yang 1, rasanya pengen aku hibahkan untuk diriku sendiri.
Lama nungguin, tapi yang ditungguin nggak buruan menampakkan diri. Bahkan sampai jam kelasnya habis, aku masih belum bisa melihat sosok bersinarnya si Bos. Kemana dia?
"De, ngapain disini?" Jona menyapa.
"Nyari Mr. Angga." jawabku.
"Dia nggak masuk. Abis kelas pagi langsung pergi." katanya. Membuatku merasa nggak enak. "Eh, kok ini ada mobilnya? Trus kemana orangnya?"
Lah, ni anak baru nyadar?
Tanpa mempedulikan Jona, aku langsung tancap gas buat nyari Bos Kecil. Mana sekarang mendung lagi. Tak lupa, aku meminta bantuan Rossie untuk mencari Bos di pemakaman, siapa tahu kabur ke makam lagi kan.
Mobil yang tadinya terisi penuh bahan bakarnya, sekarang udah tinggal separonya karena aku gunakan untuk mengelilingi kota. Hampir tengah malam, hampir putus asa karena nggak bisa maenghubungi Bos, aku akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Rumah Bos tentunya. Siapa tahu Bos udah balik ke rumah kan.
Ibu sampai berulang kali telepon, tanya aku dimana dan kenapa belum pulang. "Aku lagi di luar kota, Bu, tadi siang berangkat."
"Kenapa dadakan? Udah makan, Nang? Baju gantinya gimana?" suara Ibu terdengar khawatir.
Ya ampun Ibu, anak Ibu tuh udah gede, nggak usah dikhawatirin. Udah tahu jalan pulang. "Gampang, Bu, ada beberapa baju yang aku tinggal di rumah Mr. Angga. Lagian besok pulang. Ibu istirahat aja."
Setelah mendengarkan beberapa nasihat dari Ibu, akhirnya telepon itu terputus.
Kok jadi berasa anak durhaka yang bisanya cuma nyusahin orangtua ya? Udah segede ini aja masih jadi pikirannya Ibu sama Bapak. Padahal ini kan udah hampir tengah malam. Ah, Ibu, semoga sehat selalu ya, panjang umur biar bisa lihat aku bahagia. Bapak juga.