webnovel

Our 6th Anniversary

Alex dan Leon berpacaran. Antara mahasiswa dan murid SMA. Sama-sama lelaki. Di Indonesia, mereka berhubungan dan tetap menjaga hubungan itu selama 6 tahun meskipun tidak diakui sekitar. Di anniversary ke-6, Leon ingin hubungan mereka dirayakan dengan cara sederhana. Yang penting berdua. Namun bisakah Alex yang sudah menjadi Asisten Dosen dan sibuk luar biasa memenuhi keingin kekasihnya itu? CEK Karya LGBT-ku yang paling bagus juga ya!! JUDULNYA "MIMPI" :") FOLLOW IG-ku juga ya!! @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
Peringkat tidak cukup
17 Chs

13 Keputusan Rama Pada Perasaan Rian

"Oke, fine…" kata Rama setelah melepaskan bibir Rian. Dia masih mencengkeram, namun tatapannya sudah tak senyalang beberapa saat lalu. "Kalo Kakak emang pengen bantuan temen-temen gay untuk ngelupain aku, just do it. Aku nggak bakal ngelarang atau apa. Tapi, please… kalo Kakak ngelakuin itu, tolong jangan muncul lagi di hadapan aku."

Rian pun tergugu mendengarnya.

Dia mungkin sudah pernah berpacaran dengan berbagai macam lelaki di luar sana, dan sebelum bertemu dengan Rama. Namun jika disuruh tidak melihat wajah ini lagi…

"Aku—"

"Karena aku nggak bisa mikir lurus lagi kalau Kakak muncul di hadapanku seperti sekarang," desis Rama. Gigi-giginya menggemeretak, urat-urat di lehernya muncul, dan dia baru melepaskan kerah itu begitu akan beranjak turun—

"Tunggu, Rama—"

Rian menangkap lengan hangat itu. Matanya nanar. Berbinar. Redup. Semua cahayanya bergantian dan cengkeraman kuku-kukunya bahkan sangat kuat seakan akan mengoyak daging.

"Apa."

"Kakak, umn…" Rian tampak ragu, tapi dia tetap memantapkan hati untuk mengatakannya. "…Kamu kenapa cium aku barusan? Nggak—ehem… bukan maksud Kakak mengadili, tapi… Kakak pengen tahu aja apa yang kamu pikirin."

"Yang aku pikirin? Aku nggak tahu maksud Kakak. Cih… lepas dulu," Rama menghempaskan tangan itu tapi untuk tangkapan kedua tidak lagi. Keningnya berkerut-kerut saat menatap wajah itu. "Kalau ngomong yang bener dong! Yang jelas! Dan aku berdiri dulu boleh nggak—"

"Rama…"

Rama tidak tahu kenapa, kali ini dia sangat-sangat lemah oleh jenis tatapan itu.

"Iya, apa. Cepet bilang. Nggak pake lama."

Rama berpaling dan mencoba tetap bertahan di posisi itu. Dia meniup poni dengan ekspresi antara jengah dan ingin segera pergi dari sana.

"I-Intinya…" kata Rian ragu. Suaranya mengecil ketika mengatakan segalanya. "Intinya kamu bukannya nggak bisa deket sama aku kan? Tapi, umn…"

Rama pun memejamkan mata dengan desisan tajam. "Ssshh… Jangan bikin aku marah, please…" katanya. Lalu memerangkap mata Rian dengan ketegasan. "Dan lagipula, jujur aku geli banget kalo bayangin disentuh Kakak. Aku nggak bisa. Jijik. Aku kan cowok. Harusnya aku yang ngendaliin—" tenggorokannya tercekat untuk sesaat. Apalagi saat dia mengingat kata-kata Leon soal posisi kapan hari. "Dan, yeah… Kakak tahu hubungan temenku dan Kak Alex? Temenku lebih muda, dia nyaman. Tapi aku nggak. So, Kakak mustahil bisa sama aku."

Rian tampak berpikir, semakin gamang, namun dia tidak melonggarkan pegangan tangannya ke lengan Rama. "Kalau begitu aku yang di bawah nggak papa…" katanya. Serak tapi tegas, dan itu membuat bola mata Rama membulat lebar. "Kakak sayang kamu. Kalau kamu yang minta, aku mana boleh nolak kan. Hhhh…"

Cengiran Rian tampak sangat bahagia meski dipenuhi ketakutan. Demi apapun, Rama merasakan telapak tangan yang menggenggamnya itu kini mulai mendingin karena gugup. Mungkin, di luar sana dia pasti selalu menjadi top, jadi jika kata-kata itu telah dilayangkan dengan jujur, masih pantaskah Rama tidak memberikan kesempatan kepadanya?

"Cih, jangan main-main sama aku," kata Rama. Bola matanya menajam. "Kakak pikir ngajak homo itu masa depan bakal segampang makan nasi, tinggal kunyah, langsung telen? Kakak sih mungkin nggak kehilangan apa-apa kalo nanti bosen sama aku terus putus—lah aku? Apa kabar? Bisa-bisa nganggep ini mimpi buruk dan kesalahan kalo—"

"Please, Rama. Aku nggak pernah pengen deket sama seseorang sampe kayak gini," kata Rian. Dia bahkan langsung duduk, sekuat tenaga menahan, namun akhirnya tetap menghambur peluk ke Rama juga. "Mantanku banyak, temen mainku banyak, tapi sejak tahu kamu, aku nggak bisa berhenti mikirin," bahu dan seluruh tubuhnya bergetar saat pelukannya makin terasa mencekik. "Aku.. seneng banget waktu kamu bisa buka diri. Aku—aku jadi punya kesempatan kan sekarang?"

Rama pun diam. Syaraf-syaraf di telapak tangannya ikut gemetar saat ini. Dia pun mencengkeram udara, seperti ingin meremukkan tapi tidak bisa.

CKLEK!

DEG

"RAMAAAAAA! Cuci motor kenapa kerannya lupa dimatiin anjir! Sial tadi aku pulang nggak tahu apa-apa malah dimarahin ibu kos di luar—" Leon yang baru pun masuk tergugu. Lelaki itu berkedip-kedip. Bingung. Dan sekarang melihat pemandangan di depannya seperti patung sampai ditarik Alex yang ada di belakangnya untuk keluar lagi. "Apa—"

"Ssssh… kamu masuk di waktu yang nggak tepat," Alex pun langsung menutup mata Leon dari belakang juga meskipun sang kekasih langsung protes dengan makian kasar.

"ADUH MATAKU! Sakit! Kak Alex mataku kena jarimu tadi—"

"Udah ayo pergi," tegas Alex lagi. "Sial…. Kamu ini nggak hati-hati ya ternyata."

Suara mereka semakin jauh setelah pintu itu tertutup.

"Apa? Kenapa aku harus hati-hati. Itu kan kosanku juga."

"Heh… anak ini dibilangin juga."

Tremor di jari Rama pun makin menjadi-jadi. Dia seperti tertangkap basah mencuri, dan Rian jadi ikutan ragu memeluknya.

"Rama? Sorry…" Rian segera melepas Rama. Dia menatap cowok itu dengan penuh penyesalan. "Kamu nggak apa-apa? Maybe emang bukan waktunya kita bicara soal ini tadi. Tapi aku yang maksa kamu di sini. Sorry… sorry… Aku nggak ngarep kamu maafin aku sekarang tapi—"

"Udah cukup," Rama mendesis lagi tapi dia mengenyahkan semua perasaan negatifnya sendiri kali ini. "Kalo nggak langsung ketahuan, pasti nanti-nanti juga akan tahu. Lagian mereka bukan temen yang nggak bakal ngerti beginian."

"Oh…"

Rian meneguk ludah waktu ditatap oleh mata tajam itu.

"Jadi, sekarang terserah Kakak aja," kata Rama. Dia mendengus keras, namun tetap mengatakan apapun yang dia pikir logis untuk hubungan mereka berdua. "Aku akan nyoba, tapi jangan ngatur-ngatur atau maksa aku jadi pacar yang ideal. Dan… aku nggak bakal maafin Kakak kalau macem-macem sekali aja di luar sana."

DEG

Rian pun menatap wajah itu dengan nafas yang tertahan. "Rama, kamu serius bilang gitu?"

"Damn it."

DEG

"O-Oke-oke… Kakak ngerti," Rian pun langsung nyengir lebar. "So, hari ini kita jadian?"

"Iya."

Rama hanya melirik Rian sekilas, namun Rian menangkup kedua pipi cowok yang lebih muda darinya itu untuk menghadap. "Tunggu, aku ini nggak lagi mimpi kan, Rama?"

Simpang empat imajiner pun mendaki di kening Rama. "Shit lah. Kalo Kakak kayak gini terus kita putus aja deh biar rasanya lebih nyata! Gimana? Mau kayak gitu—"

"Nggak! Nggak! Oke, sorry…" kata Rian dengan suka cita. "Kakak nggak bakal gitu lagi. Dan makasih soal semuanya sejak kemarin malem—"

"Jangan seneng dulu, ya ampun…" Rama mendadak memaksa lepas Rian dan memaksa beranjak dari tubuh itu kali ini. "Aku belum suka Kakak. Aku juga belum yakin dengan apapun, tapi cuma mau nyoba aja. So, kalo aku nggak sreg sama hubungan ini, seminggu juga udah bisa aku putusin—"

DEG

Hello, Reader!! Aku punya novel LGBT lain judulnya:

1. MIMPI

2. Just Friend?

Jangan lupa berkunjung ya!

Om_Rengginnangcreators' thoughts