Jangan lupa klik berlangganan agar tak ketinggalan update terbarunya ya.
************************ **************
Part 8
Menutupi Kebohongan
Jika memang benar saat ini Karen telah berbadan dua, maka aku harus bertindak secepat mungkin. Jika Mas Satrio sudah memutuskan menikahinya maka bisa jadi semua harta ini akan dialihkan pada Karen dan anaknya, apalagi selama ini suamiku itu mengatasnamakan semua aset atas namanya, katanya agar lebih mudah ngurusnya.
Rumah, dua hektar persawahan dan mobil atas namanya semua. Aku dulu hanya manut saja ketika dia bilang ini itu, namun kini aku akan bertindak, Mas. Sekuat tenaga kuhabiskan asetmu secepatnya. Aku ingin tahu juga sih, kira-kira si Karen itu masih mau nggak jika tahu kamu jatuh miskin.
Kutinggalkan foto mesra mereka berdua, kini aku berganti mencari info lain yang mungkin bisa kulihat dari akun biru Karen ini. Perkiraanku tadi pagi ternyata meleset, kukira dia berumur dua puluh tiga tahun, namun saat kulihat di galeri fotonya, dua tahun yang lalu dia baru lulus SMA, wow berarti hebat banget kan, belum genap dua puluh tahun sudah pintar merayu laki-laki, amit-amit.
Sejak lama, ternyata si Karen ini senang sekali berfoto dengan pakaian yang kekurangan bahan, dan dia juga mengirimkan banyak link ke akun TokTok nya, yang rata-rata menunjukkan kesempurnaan tubuhnya. Benar-benar miris. Setelah puas mencari tahu tentang akun biru Karen , aku pun langsung menerima pertemananya, agar dia tak curiga.
Aku pun kemudian tidur setelah melihat jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Cukup rasanya aku mengalami banyak kejutan hari ini, sekarang saatnya mengistirahatkan pikiranku, karena besok pagi aku harus berjuang lagi, demi mendapatkan hak dan tabungan untuk masa depan Rangga.
********************** ******************
"Yeay Papa pulang!" teriak Rangga yang langsung lari ke depan, saat mendengar suara mobil Mas Satrio di teras pagi itu.
Aku pun langsung mengekorinya, dan mencoba menampakkan senyum termanisku seperti biasa, agar Mas Satrio tak tahu apa yang sebenarnya telah kuketahui. Rangga pun langsung minta gendong pada Papanya, dan seperti biasa mereka akan berceloteh dan saling cium. Melihat adegan ini, air mataku tiba-tiba jatuh, rasanya aku tak kuasa memisahkan Rangga dengan Mas Satrio. Tetapi jika terus bersama bisakah dia kembali menjadi suami yang baik, bukan hanya seorang ayah yang baik bagi Rangga.
"Ma, lihat nih, aku dibelikan Papa mobil remote lagi! Yeay!" teriak Rangga sambil memamerkan mainan oleh-oleh dari Mas Satrio.
Gegas aku hapus air mataku dan mengangguk sambil memberikan senyum termanis untuk putraku itu. Dia pun langsung membuka dan memainkannya.
"Ma, kamu kenapa sih tadi kulihat kok seperti nangis?" tanya Mas Satrio sambil memberikan koper berisi baju kotornya, ternyata dia tahu kalau aku baru saja menangis.
"Ah aku tadi hanya terharu melihat kedekatan kamu sama Rangga, Pa," ucapku sambil membawa kopernya ke belakang, dia mengekoriku dan duduk di ruang keluarga.
"Hemmm...itu kan sudah biasa, kami saling kangen Ma. Eh kamu nggak kangen nih sama aku?" ucapnya sambil mengedipkan mata.
Aku sangat paham, jika seperti ini, suamiku itu pasti akan meminta haknya kepadaku, biasanya aku memang langsung menuruti permintaannya, tapi kini aku jijik padanya, tak akan lagi aku menuruti keinginanya itu, toh diluaran juga dia sudah mendapatkan kehangatan dari wanita lain kan.
"Pa, yuk sarapan dulu, keburu dingin nggak enak. Rangga juga kayaknya sudah lapar tuh," kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Bentaran aja deh Ma, munpung Rangga lagi asyik dengan mainan barunya," ucapnya lagi memberi kode.
"Maaf Pa, baru tadi pagi aku datang bulan, mungkin baru selesai seminggu lagi," ucapku berbohong sambil tersenyum.
"Ish...kenapa tak bilang dari kemarin sih kalau kamu lagi bocor!" ucapnya kecewa.
"Kan baru tadi pagi datang bulannya Pa. Jadi jika kemarin aku bilang kamu nggak akan pulang gitu? Apa rumah tangga kita ini hanya sekedar di atas ranjang saja Pa?" kataku mencoba mencari alasan.
"Bukan begitu, Ma. Tapi kan aku ini kangen banget sama kamu. Ya sudah lah ayo kita sarapan, kasihan Rangga. Katanya mau jalan-jalan? Setelah sarapan kita langsung berangkat ya. Soalnya nanti sore aku harus balik keluar kota lagi Ma," ucapnya.
Hanya karena tak mendapatkan kepuasan batin dariku akhirnya dia ingin segera pergi lagi, ya iyalah di luar sana sudah ada wanita lain yang bisa memuaskannya kok. Terserah mau pergi, atau nggak, yang pasti aku jijik dan pantang bagiku melayani seorang suami yang telah tega menodai jalinan suci pernikahan ini.
Ada untungnya juga sih bagiku jika Mas Satrio tak ada di rumah, hal ini memudahkanku menjarah uang darinya dan juga mempersiapkan kejutan untuk pesta pernikahannya nanti. Saat jalan-jalan nanti, aku harus bisa mengambil surat nikah dan kartu keluarga yang selalu disimpan Mas Satrio di dashboard mobilnya, sebagai syarat untuk melayangkan gugatan cerai padanya nanti.
Setelah makan, Rangga meminta berenamg di sebuah WaterPark, dan tentu saja Mas Satrio menurutinya. Kami ajak serta Bik Nurma, untuk membantu menjaga Rangga di sana.
Sesampainya di sana, aku pamit sebentar ke mobil untuk mengambil tas, sebenarnya tas itu memang sengaja kutinggal sih, agar aku bisa mendapat surat-surat yang kucari. Alhamdillah aku mendapatkannya dan segera kumasukkan kedalam tas, dan kembali ke arena berenang.
"Pa, kemarin kamu bilang mau menuruti apa permintaanku 'kan?" kataku saat kami berdua menyantap mie instan selepas berenang, sementara Rangga masih asyik bersama Bik Nurma.
"Hemmm... mau minta apa lagi sih, Ma...kan kemarin sudah beli mobil baru.," ucapnya sambil tersenyum.
"Ah kamu ingkar janji deh Pa, kalau begitu aku kerja lagi saja, kebetulan kantor lamaku sedang cari akuntan nih."
"Hadew kok malah kerja sih Ma. Hilang dong harga diri Papa, masak kontraktor sukses istrinya bekerja sih...nggak ah nggak boleh!"
Aku sangat tahu, suamiku ini sangat tinggi gengsinya, dan dia selalu ingin dipandang baik oleh orang di sekitarnya, dan hal ini bisa kujadikan senjata suatu saat.
"Ya sudah kalau nggak boleh, buatin aku usaha dong!"
"Oke...oke kalau begitu boleh. Mau usaha apa memangnya?"
"Aku mau buka butik, kemarin ada yang nawarin ruko, di pertokoan Jalan Merdeka ituloh Pa, cocok banget kan buat butik," ucapku sambil tersenyum.
Mendengar ucapanku barusan, Mas Satrio langsung tersedak hingga menghabiskan segelas jus apel miliknya.
"Loh kamu kenapa Pa?" ucapku sok baik.
"Nggak...nggak apa-apa cuma keselek kok. Jangan buka di situ Ma, prospeknya jelek kayaknya nggak bisa narik kostumer gitu. Ambil yang di Jalan Pahlawan saja ya, lebih bagus prospeknya di sana. Nih langsung kutransfer uang seratus juta untuk usaha barumu itu Ma, tapi ingat jangan di ruko Merdeka ya," ucapnya sambil mengutak atik M-bangkingnya.
Tak sampai dua menit, uang tersebut telah masuk ke rekeningku. Hemmm...segitunya ya Mas, kamu takut banget jika aku tahu rencanamu membuatkan butik untuk Karen di ruko Jalan Merdeka itu. Lumayan sih pagi-pagi di tampol seratus juta, hehehe.