webnovel

5

Suara gonggongan yang tiba-tiba membuat Robinson menghentikan lamunanannya. Salk, anjing Raphael kini muncul di ambang pintu. Robinson berdiri dan mengusirnya. Ia melambaikan tangannya kuat-kuat, "Hush, hush!"

Tapi Salk menggoyangkan ekornya menganggap itu sebuah permainan. Jadi ia berlari dan mendekati Robinson. Robinson memutar bola matanya kesal. "Sudah kubilang pergi."

Salk mengonggong. Ia melihat Livia penasaran. Kedua tangannya ia taruh di sisi kasur, lehernya di tekuk ke samping. Ia mengeluarkan suara tertahan. Robinson tersenyum pahit,

"Iya kan? Kau saja tak bisa membedakannya. Dia.. terlalu mirip dengan Penelope, apalagi seperti sekarang. Hanya saat ia tersenyum dan menatapmu tulus, itu bukan Penelope."

Tak lama, suara mesin memasuki indra pendengarannya. Ia keluar. Matanya menatap 2 dokter dan 1 perawat. Robinson menyambut mereka dan tersenyum, "Syukurlah kalian datang, dia sudah menunggu."

Si sopir membantu membawakan barang-barang yang disediakan. Suster langsung memasang selang infus dan tabung oksigen. Salah satu dokter menyuntikkan sesuatu di selang itu sementara dokter yang lain berbicara pada Robinson.

"Keadaanya cukup stabil. Tapi harusnya kau bilang bahwa pasienmu ini Penelope."

Robinson menggeleng, "Dia bukan Penelope. Dia Livia."

Dokter itu berdecak, "Jangan bohong Robinson, semua dapat melihat kalau dia Penelope de Cruella."

Robinson mengeluarkan dompet yang ia temukan di tas Livia dan memberikan kartu pengenalnya. Dokter itu menatap nama yang di sana, Livia Larodi. Ia menatap foto Livia berulang kali sebelum mendesah.

"Sangat..mirip." ujarnya putus asa.

Robinson mengangguk pelan, "Iya kan? Salk saja tidak bisa membedakannya."

Dokter itu yang menggeleng sekarang, "Nah, disitu kau salah. Anjing bisa membedakan 2 orang yang sangat mirip. Dengan baunya tentu."

Robinson menatap Salk yang sedang mengamati Livia. "Tapi tadi..."

Dokter itu tersenyum, "Ayo kita buktikan. Kau ada poto Penelope?"

Robinson mengangguk. Ia membawa poto itu dalam dompetnya, agar ia selalu bisa menemukan Penelope. Dokter itu memanggil Salk, yang langsung datang. Ia berjongkok, menyodorkan 2 poto pada Salk dan bertanya,

"Siapa yang sedang terbaring disana?"

Salk maju, mencium aroma disana. Ia menggonggong saat menatap kartu pengenal Livia. Dokter itu tersenyum menatap Robinson, "Kita mungkin tidak bisa, tapi Salk bisa."

Perawat itu menatap mata Livia yang perlahan bergerak. "Dokter! Pasien sudah sadar!"

Bersama, mereka menuju Livia. Livia menatap mereka lemah. Suaranya nyaris berbisik. "Dimana...aku...?"

Robinson maju dan memegang tangannya lembut, "Kau berada di tempat yang seharusnya."

Livia menatap sekelilingnya. Atap kayu, jendela besar yang menghadap kasur, dokter dan perawat yang menatapnya dan Robinson. Apa yang terjadi? Kenapa aku disini? Livia lalu perlahan mengingat semuanya. Ah, iya. Aku diculik dan disekap. Aku dikira.. Penelope. Lalu polisi datang dan.. Aku tak ingat lagi.

Seakan membaca arah pikiran pasiennya, dokter itu tersenyum,

"Jangan mencoba mengingat dulu. Kondisimu masih sangat lemah. Kau harus istirahat."

Livia menggeleng. Ia takut kalau nanti ia istirahat, ia akan... Gawat! Ia harus menelpon kakaknya! Livia menatap Robinson memohon.

"Tolong telepon kakakku. Katakan bahwa aku baik saja."

Robinson mengangguk. "Berikan padaku nomornya."

Livia menyebut nomor teleponnya dengan susah payah. Ia menatap Robinson lemah, "Jangan..katakan tentang ini.. Lalu..terima..kasih.."

Tepat setelah mengatakannya, Livia terbaring pingsan lagi. Dokter itu mendesah bingung. "Di saat seperti ini, kenapa dia tak ingin keluarganya tahu kondisinya?" Ia menatap Robinson penasaran, "Kau akan berbohong?"

Robinson mengangguk pelan, "Dia terlihat ingin agar keluarganya tidak tahu keadaannya. Untuk sekarang, aku akan mencoba berbhong. Tapi kalau kodisinya kritis, aku akan langsung menelpon mereka."

Robinson pergi ke kediaman Raphael. Ia melihat situasi dan langsung mengendap masuk. Kertas berisi nomor telepon keluarga Livia sudah ada di tangannya. Robinson menaiki tangga dan mulai menelpon. Di dering pertama sebah suara lelaki masuk dalam pendengarannya.

"Halo?" tanya suara di sebrang.

Robinson menelan ludahnya, "Dengan keluarga dari Livia?"

Suara itu menjawab cepat. "Iya betul. Saya kakaknya. Apa anda sedang bersama adik saya atau terjadi sesuatu padanya?"

"Oh tidak, tidak. Adik anda.. Yah, dia baik saja. Tapi ada sedikit masalah."

Suara itu mendesah, "Sudah kuduga. Dia tidak membawa uang kesana sama sekali. Kupikir mungkin ia akan kesulitan disana."

Nah, kini Robinson yang bingung. Tidak membawa uang? Apa Livia gila?

"Tidak membawa uang?"

Suara itu terdengar malu. "Sama sekali. Sebenarnya, salah kami juga karena lupa memberikannya. Apa dia bersama anda?"

"Ya.. Maksud saya, saya menyewakannya sebuah rumah kecil dan bertugas menjadi pemandunya."

Suara itu terdengar sangat lega, "Untunglah. Bisa aku berbicara dengannya?"

"Ehmm saya takut tidak."

"Kenapa? Apa dia terluka? Atau..?"

"Oh tidak. Hanya saja.. hanya saja.. ia terlalu sibuk mencari bahan makanan dan..."

Orang itu terdengar geli, "Iya, aku tahu. Dia memang koki yang tak bisa berdiam diri. Yah, asal dia selamat baguslah. Saat kembali nanti, tolong minta dia hubungi kami."

Robison mengangguk. Jadi, Livia itu koki ya?

"Baiklah, aku kan menyampaikannya."

"Satu lagi. Mungkin akan merepotkan tapi tolong pinjamkan dia beberapa pound untuk membuka tabungan disana. Kami tak bisa membiarkan dia sendiri disana tanpa persiapan."

"Iya, tentu saja."

"Baiklah terima kasih. Oh, dengan siapa ya saya berbicara?"

Robinson tersenyum, "Saya Robinson."

Suara itu terdiam lama sebelum berbicara lagi, "Robinson?"

"Iya. Ada apa?"

"Tidak. Hanya saja, namamu mirip dengan salah satu klienku. Ia memesan sekompi pengawal."

Kini Robinson yang terdiam. Nama yang mirip dengan klien, nama keluarga yang sama.. Apa mungkin? Robinson menelan ludah, memberanikan diri bertanya. "Apa anda...?" tapi tepat saat itu telepon tertutup. Ia tidak bisa tidak memastikan prasangkanya. Penasaran, ia kembali ke pondok dan mencari sesuatu disana.

Ia membuka dompet Livia dan menelitinya. Nafasnya tertahan dan matanya membelalak melihat Antonio dan Michael Larodi sedang memeluk Livia saat mereka ada di pantai. Dompet terjatuh, dan ia menatap Livia kaget. Takdir macam apa yang membawa ia bertemu dengan adik Larodi bersaudara??

Livia membuka matanya perlahan saat sinar matahari pagi memasuki ruangan itu dan menyinari matanya. Bangun perlahan, ia melepas tabung oksigennya dan menatap sekeliling. Livia bingung, kenapa perjalanannya ke sini membuat ia menghalami masalah. Siapa Penelope? Kenapa Robinson bilang ia mengenal Penelope?

Ia penasaran ia sudah tertidur berapa lama. Kaki dan tangannya terbalut perban, dan ia memakai baju rumah sakit. Tapi kalau iya harusnya dia ada di rumah sakit, kenapa ia ada disini? Membawa tiang infus keluar bersamanya, ia terkejut melihat seekor anjing golden retreiver menatapnya tertarik dari bawah tangga.

Livia tersenyum pelan, "Halo manis."

Anjing itu menggonggong.

Livia terkekeh lagi. "Kau mau menemaniku pergi jalan-jalan sebentar?"

Gonggongan itu terdengar lagi. Livia mengaggap itu sebagai persetujuan. Jadi ia menuruni anak tangga perlahan dan berjalan di atas rumput hijau. Angin sepoi-sepoi yang cukup dingin membuatnya sedikit menggigil. Ohya, aku kan kesini di saat sedang musim dingin.

Livia berjalan makin jauh. Dari matanya, ia melihat pemandangan indah yang membuatnya terpukau. Danau bening dan cukup luas terbentang disana. Saking beningnya, saat Livia mendekat dan berjongkok disana, ia dapat melihat ikan-ikan berenang. Ada juga jembatan penghubung di dekat sana yang dihias dengan ukiran cantik.

Perasaan penasaran menyelimutinya. Ia duduk, mencelupkan tangan yang tidak dipasang infus dan rasa dingin dari air masuk dalam tangannya. Livia tersenyum. Ia mengelus bulu anjing itu dengan air itu. Si anjing masuk ke kolam dan berenang kesana kemari. Ia naik dan menggerakkan tubuhnya, membuat air berceceran dimana-mana.

Livia tertawa keras, "Ampun! Ampun!" Tapi diam-diam, ia menyeduk air dengan tangannya dan membalas menyiram.

__________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit