webnovel

4

Saat tersadar, Livia merasa tangan dan kakinya diikat, mulutnya disumpal. "Emm! Emmm!"

Ia berada di sebuah tempat, mungkin gudang bekas yang tidak terpakai. Hanya ada lampu yang kecil. Ia takut dan bingung. Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa disini? Siapa yang melakukan ini padanya?

Dan jawaban itu terungkap saat ada lelaki kurus masuk. Ia mendekat dan memegang dagu Livia. "Finally, I found you Penelope."

Penelope? Siapa Penelope? Dia Livia! Sementara lelaki itu mengoceh, Livia mencoba mengingat perkataan Antonio.

"Saat dalam bahaya, perhatikan sekelilingmu. Tetap tenang dan cari senjata yang bisa dipakai untuk melindungi diri."

"Kalau kita diikat?" tanya Livia saat itu .

Antonio memasukkan lidah ke rongga dalam pipinya, "Gerakkan tanganmu sampai talinya kendor. Perlahan namun kuat. Saat tali terlepas, pegang tali itu , satukan tanganmu di belakang. Dan saat musuh mendekat, jadikan itu sebagai senjata."

Livia merutuk kesal. Tapi bagaimana kalau kakinya juga diikat?

Lelaki itu menatapnya dingin, "Did you hear me?"

Livia menggeleng.

Jawaban salah. Lelaki itu menamparnya. "Are you stupid?! You lied! You a liar! You said you'll be back after you've got him. But you leave me! You leave me!"

Livia menatapnya kesal. Dia ingin bilang bahwa orang itu salah orang. Tapi mulutnya tersumpal.

Lelaki itu mendengus tajam, "But, you're here. That's a one big mistake. You should never come back. Because you, police try so hard to found me. But now, you're here. You must pay."

Setelah mengatakan itu , ia mengeluarkan pisau lipatnya dan mengarahkannya ke wajah Livia. Tajamnya pisau membuat sedikit goresan di wajahnya. Ia memejamkan matanya kuat-kuat.

Di saat bersamaan....

Jakarta 03.00 am.

Suara barang pecah yang tiba-tiba terjatuh membangunkan Antonio dan Michael. Dolphie bangun dan turun. Antonio mengambil pistolnya. Ia menatap Michael saat tak ada suara gonggongan Dolphie, yang berarti tak ada orang. Menyalakan lampu, mereka melihat gelas Livia terjatuh.

Antonio mengambilnya. Ia menatap aneh pada gelas itu .

"Tak ada orang, tak ada angin. Tapi kenapa gelas ini terjatuh sendiri?"

Michael terdiam. Ia tahu maksud perkataan Antonio. Hanya saja, ia tidak berharap sesuatu yag buruk menimpa adiknya. Ia berjongkok dan memegang bahu Antonio.

"Jangan pikirkan. Aku takut apa yang kau pikirkan mungkin terjadi."

Antonio memegang salah satu pecahan. Ia mengepalkan tangannya erat, membuat pecahan itu terbenam dalam tangannya dan darah keluar dari sana.

"Aku takkan memafkan diriku kalau sampai terjadi sesuatu."

Michael mengangguk."Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan menunggu kabar Livia. Basuh tanganmu Antonio. Kau takkan mau membohongi Livia saat melihat luka itu."

Diam-diam, Michael berbisik pelan saat Antonio pergi. "Ayah, ibu, tolong jaga Livia. Hanya dia yang kami punya sekarang."

London

Livia meringis kesakitan saat lelaki itu melukai tangannya perlahan. Jelas lelaki itu mempunyai masalah kelainan jiwa. Ia menyayat tangan Livia perlahan. Juga melukai kakinya. Kepalanya berkunang-kunang, ia tidak fokus saat melihat. Lelaki itu memukul punggungnya. Membuat ia menjerit.

Bukan cuma itu , seluruh tulang di badannya seperti patah. Ia tidak bisa menahan lagi. Tidak..bisa.. Lalu, suara sirene polisi masuk ke pendengarannya. Livia tersenyum puas. Kini, ia bisa bebas. Lelaki itu mengumpat dan memaki. Ia menarik Livia keluar dan menodongkan pisau ke arah tenggorokannya.

Polisi mengepungnya. Livia tidak mendengar apa perkataan mereka karena ia melihat Robinson disana. Tampak panik. Livia berterima kasih dalam hatinya. Tapi cobaan belum juga lewat.

"Lepaskan sandera dan serahkan dirimu"! ucap polisi itu.

Lelaki itu berteriak, "Tidak akan! Kalau aku dipenjara, dia harus mati!"

Kini Robinson yang berbicara, "Kau harus membebaskannya! Dia tidak bersalah!"

"Tidak? Tidak?! Dia jelas bersalah! Gadis dingin ini mengatakan bahwa ia akan membawaku keluar asal aku membantunya! Tapi dia pergi dan meinggalkanku! Iya kan Penelope? Jawab!"

Livia menggeleng. Robinson tersentak kaget. Ya Tuhan, sipa sebenarnya Penelope? Kenapa dia bisa mengenal Dominic?

"Dia bukan Penelope! Dia Livia! Kau salah orang!"

Dominic menggeleng tajam, "Tak ada gunanya berbohong! Aku tahu bahwa dia Penelope!"

Robinson berusaha menjernihkan pikiran orangitu, "Aku kenal Penelope. Dia berambut merah, bermata biru. Tapi gadis yang kau ingin bunuh bukan Penelope. Dia Livia!"

Dominic menatap Livia lebih teliti, akhirnya! Saat lelaki itu tahu kesalahannya, ia malah bertindak gila. Ia tersenyum dingin pada polisi, "Aku tak peduli. Salahkan gadis ini karena mempunyai wajah yang mirip Penelope."

Livia tahu bahwa kalau ia tidak bertindak sekarang, ia tidak akan hidup. Jadi ia melempar kepala ke belakang, membuat kepalanya mengenai dada Dominic. Livia kehilangan keseimbangan saat Dominic melepas cengkramannya. Ia terjatuh ke depan. Dan langsung terdengar bunyi pistol. Yang terakhir ia rasakan adalah berat badan Dominic menimpanya sebelum rasa sakit yang amat sangat memaksanya menutup mata.

Dominic berseru memanggil Livia sambil berlari mendekat. Polisi menarik tubuh Dominic dan membebaskan ikatannya Livia. Robinson menggoncangkan bahunya, "Livia? Livia?"

Polisi menahan tangannya. "Kita harus membawanya segera ke rumah sakit. Tolong hubungi keluarganya."

Robinson tidak mungkin menghubungi mereka. Livia sendiri disini dan ia tak tahu siapa keluarga wanita ini. Jadi ia berbohong, "Aku kakeknya."

Robinson menunggu di luar rumah sakit saat dokter memeriksa keadaan Livia. Bagaimana kalau Livia tidak sembuh? Bagaimana kalau gadis itu mengalami cacat? Ini semua karena Penelope! Ia sudah menghancurkan hidup Raphael, berteman dengan Dominic yang kini di menjalani operasi, dan ia juga membuat Livia seperti ini. Robinson akan mencari tahu siapa sebenarnya Penelope, ia juga akan meminta bantuan untuk melacaknya.

3 jam kemudian dokter keluar. Ia tersenyum pada Robinson, "Anda keluarga pasien?"

Robinson mengangguk, "Apa dia baik-baik saja?"

Dokter itu mengangguk. "Luka sayatannya dan beberapa pukulan tidak terlalu parah. Tapi ada yang kami khawatirkan."

"Apa?" Robinson berharap Livia tidak cacat, tidak cacat

"Begini, salah satu pukulan mengenai punggungnya, tidak terlalu parah. Tapi ia mempunyai luka lain di punggung."

"Luka..lain?" beo Robinson.

Dokter itu mengangguk lagi, "Iya. Luka seperti terkena pecahan kaca, posisinya menyamping."

Tatapan Robinson sangat aneh, "Bisakah aku melihatnya?"

"Tentu."

Mereka masuk ke kamar perawatan Livia. Hampir seluruh tubuh Livia terbalut perban. Robinson merasa prihatin. Dokter itu meminta perawat menarik tubuh Livia ke samping dan membuka kancingnya. Karena kancing itu dikenakan di belakang, jadi lebih mudah melihatnya. Dokter itu menunjukkan luka yang melengkung sempurna di punggung Livia, tidak menyadari sinar mata Robinson yang berubah.

Dokter itu mengajak Robinson keluar dan ia pergi. Robinson duduk di bangku sangat lama, ia memikirkan apa yang harus ia lakukan. Memang, perkataan peramal itu tepat. Hari ini genap 5 tahun, dan benar bahwa Robinson yang menyelamatkannya, benar juga bahwa gadis itu mempunyai luka seperti sayap.

Lama berdiam akhirnya ia memutuskan mengambil tindakan. Ia akan menunggu hasil pemeriksaan dan langsung membawa Livia pergi dari sini. Kalau memang Livia harus bertemu Raphael, mereka harus bertemu secepatnya!

Siang jam 12, setelah Robinson menunggu dalam debar jantungnya yang hampir meledak, dokter itu mengatakan bahwa tulang penyangga Livia tidak apa-apa. Tapi ia harus minum obat untuk memperkuat tulangnya, karena tulangnya kecil dan kalau terkilir, langsung meninggalkan bekas. Tidak terlalu parah, tapi tetap saja ia harus mendapat perawatan.

Robinson memasang muka pucat, "Bagaimana aku dapat membayarnya? Aku tak punya uang sama sekali."

Dokter itu tampak terkejut. Ia menatap Robinson bingung, "Tapi dia harus tingal disini sampai kondisinya membaik."

Robinson menggeleng, "Maaf dokter, kami tak punya uang sedikit pun. Uang yang kutabung habis dicuri. Biar Livia ku rawat dirumah saja."

Lama terdiam akhirnya dokter itu mengangguk, "Kalau itu keputusan anda, baiklah."

Jadi, disinilah Robinson, ia pergi ke rumah sang Duke, atau lebih tepatnya rumah peristirahatan para karyawan. Ia menuju kesana dengan mobil yang dilanjutkan kereta kuda, karena jalannya sempit dan melewati hutan.

Tak lupa ia juga menelpon dokter dari rumah sakit lain untuk datang. Livia dibawa masuk ke dalam, dibaringkan di kasur putih empuk. Robinson duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan ranjang.

Ia telah menemukan gadis dalam ramalan. Ia juga telah mengetahui identitas Livia. Ia juga menyelamatkannya. Tapi ia masih belum menceritakan tentang Penelope. Robinson bingung kapan harus menceritakan kisah itu pada Livia, Livia masih belum sadar. Dan dokter pun juga belum tiba.

__________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit