Vote sebelum membaca😘
.
.
Edmund tidak berhenti mengusap punggung Sophia. Perempuan itu tertidur membalakanginya yang sedang duduk dengan pakaian formal. Saat dia hendak berangkat ke kantor, Sophia merasa mual hingga dia muntah berkali-kali. Dan itu menahan Edmund untuk melangkah pergi.
"Pergilah, aku baik-baik saja," ucap Sophia memgibaskan tangannya di udara, matanya terpejm masih mencoba meredam rasa mual.
"Kau bilang rasa mual itu akan hilang saat bersama denganku. Apa itu tidak berpengaruh sekarang?"
Sophia memutar tubuhnya hingga dia kini tidur terlentang, matanya terbuka dan menatap Edmund dengan sedikit senyuman di wajahnya. "Sepertinya itu tidak berpengaruh sekarang."
"Kemarilah, peluk aku." Edmund menyondongkan tubuhnya dan membawa istrinya ke dalam pelukan. "Apa masih mual?"
Sophia memgangguk dalam pelukan Edmumd. Pria itu kembali membaringkan istrinya dengan perlahan. "Apa yang harus kita lakukan? Apa sebaiknya kita pergi ke rumah sakit?"
"Aku baik-baik saja, Ed. Ini mungkin hanya efek keterkejutan dari kejadian kemarin."
Edmund terdiam, mengingat kembali kejadia yang hampir mencelakai Sophia dan calon anak mereka. Kemarin sore, sebuah mobil hitam berjenis ferrari melaju dengan kencang saat lampu merah dan Sophia sedang berjalan di penyebrangan jalan. Untung saja seseorang kembali menarik Sophia ke belakang hingga mobil hitam itu tidak menabraknya.
Bukan hanya itu, mobil putih yang ada di sisi kiri tiba-tiba saja membanting setir, menabrakan diri pada mobil hitam hingga mobil yang seharusnya menabrak Sophia itu berbelok tidak terkendali dan berakhir dengan menabrak lampu lalu lintas. Sayangnya, di berhasil melarikan diri sebelum polisi datang. Mobil itu tidak memiliki plat nomor, membuat pihak kepolisian kesulitan mencarinya. Bahkan semua rekaman CCTV yang seharusnya memperlihatkan kejadian itu terhapus begitu saja.
Edmund menyimpulkan bahwa kejadian ini sudah direncanakan. Dia akan berusaha mencari bukti bahwa Lexi ada di balik semuanya, dia akan membuat wajah Marxel tertekuk hingga tidak memiliki kekuatan menatapnya. Pria tua itu harus merasakan bagaimana rasanya dikecewakan oleh anak yang sangat dia sayangi.
"Edmund."
Guncangan Sophia menyadarkan pria itu dari lamunannya. "Ada apa? Kau mual lagi?"
Sophia menggeleng. "Tidak, kau pergilah. Ini sudah siang. Bukankah kau bilang ada rapat penting?"
Edmund mengalihkan pandangan pada jam dinding yang memang sudah memperlihatkan waktu telah siang. "Apa tidak apa kau ditinggalkan sendirian?"
Mengingat Rose dan Sergîo yang pergi bekerja tadi pagi, menahan Edmund untuk tidak meninggalkan Sophia di mansion milik kedua orangtuanya. Apalagi kini Marxel berada di sana juga, dia menginap untuk memantau perkembangan Lexi. Tapi menurutnya, pria itu tidak peduli dengan anaknya, dia selalu mengandalkan Edmund dan memintanya untuk menjaga Lexi. Sementara dirinya diam dan menikmati koleksi anggur Sergío.
"Sophie."
"Aku baik-baik saja selama kau tidak memecatku karena terlalu sering bolos," guraunya membuat senyuman di wajah keduanya.
"Aku akan pulang lebih awal."
"Aku menunggu," ucap Sophia tersenyum manis. Suaminya itu mengusap wajah istrinya dan mengecup keningnya cukup lama. "Panggil pelayan jika ingin sesuatu. Mengerti?"
Sophia mengangguk dan tersenyum manis menatap kepergian suaminya sambil berbaring. Dia merangkup kedua pipinya sendiri yang terasa panas, Sophia merasa sangat bahagia dengan perlakuan Edmumd yang begitu manis, dia tidak bisa berhenti tersenyum hingga rasa mualnya hilang.
Saat rasa lapar menyerangnya, Sophia keluar dari kamar dan berjalan ke lantai bawah. Matanya mengedar ke sekeliling, memastikam tidak ada Marxel di sana. Sophia begitu malas jika bertemu dengan pria tua itu, dia selalu memberikan tatapan dingin seolah merendahkannya. Jika saja tidak ada Edmund, Sophia pasti akan menangis dipandang dengan jijik dengan sikapnya yang menjauhinya seolah dirinya adalah sampah.
Sayang, harapannya untuk tidak bertemu Marxel itu hilang seketika saat matanya bertemu dengan mata biru yang memandangnya tajam. Pria tua itu menggerakan tangannya menyuruh Sophia mendekat. Dengan berat hati dia berjalan ke arah Marxel yang sedang membaca koran, hatinya kembali berharap semoga pria tua itu tidak mengucapkan sesuatu yang akan membuatnya menangis. Cukup mual saja yang membuag nafsu makannya hilang, tidak boleh ada beban pikiran yang menambah dan membuat kandungannya terganggu.
"Ada apa, Kakek?"
Pria itu terkekeh pelan sambil menyimpan koran yang dia pegang. "Kenapa kau memanggilku Kakek?"
Sophia mengangkat bahunya pelan. "Karena aku istri dari cucumu?"
Tawa Marxel pecah, dia meminum tehnya. Saat Sophia hendak duduk, pria itu membuat gerakan tangan yang mengisyaratkan agar dia tetap berdiri.
"Apa kau sudah merasa menjadi bagian keluarga D'allesandro?"
"Mommy Rose dan daddy Sergío memperlakukanku dengan baik, mereka sudah seperti kedua orangtuaku sendiri."
"Hanya karena mereka meperlakukanmu dengan baik bukan berarti kau menjadi bagian dari keluarga ini," ucapnya dengan penuh penekanan dengan tangan menunjuk pada Sophia.
"Apa sebenarnya maksud anda memanggil saya kemari?" Suara Sophia tercekat, dia rasa sakit tak kasat mata pada hatinya. Tangannya mengepal berusaha tidak menangis, kehamilan membuatnya cengeng. Apalagi dalam situasi seperti ini, di mana orang lain merendahkan dirinya.
"Rose dan Sergío memperlakukan pembantu di sini dengan baik, apa mereka sudah menjadi bagian dari D'allesandro?"
"Saya mengandung bayi dari cucu anda, itu yang membedakan saya dari para pembantu yang mendapatkan perlakuan baik."
"Itu tidak mengubah apa pun." Marxel menyandarkan punggungnya di sofa. "Kau bahkan tidak memenuhi kriteria standar untuk wanita yang melahirkan keturunan D'allesandro."
Sophia tersenyum sambil menghirup udara di sekitarnya. "Saya tidak pernah menginginkan jalan ini. Disaat Edmund memperkosa, itu bukanlah yang saya inginkan. Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya permisi," ucap Sophia memutar badannya dan berjalan menjauhi Marxel.
Pria tua itu marah, dia tidak suka saat seseorang bersikap tidak sopan padanya. Apalagi seseorang itu adalah wanita yang dia tidak sukai. Menurutnya Sophia tidak pantas berada diantara keluarga D'allesandro. Mendengar keluarganya yang memiliki banyak hutang dan pendidikannya yang tidak sederajat dengan keluarga D'allesandro yang lain membuat Marxel geram.
Beruntungnya pernikahan Sophia dan cucu satu-satunya itu diadakam secara tertutup, hingga tidak banyak orang yang mengetahuinya. Sebelum itu terjadi, dimana media masa mengetahui kebenaran bahwa Edmund sang pewaris D'allesandro Corp menikah dengan remaja yang dia perkosa, Marxel mencoba menjauhkannya dari keluarganya.
"Saat bayi itu lahir kau tidak lagi berguna. Aku mengatakan ini demi kebaikanmu, Nak. Sebaiknya kau pergi saja," ucap Marxel menghentikan langkah Sophia. "Kau hanya aib bagi keluarga ini."
Perempuan itu mengepalkan tangannya, menahan air mata agar tidak terus jatuh. Dia kembali melangkah, keluar dari mansion itu dan berakhir di gerbang utama.
"Bisa tolong buka gerbangnya?" pinta Sophia pada penjaga yang ada di sana.
"Anda mau ke mana, Nona?"
"Hanya jalan-jalan," ucapnya meyakinkan.
Saat penjaga itu membuka gerbang, Sophia tersenyum tipis. Dia melangkah keluar dan kata-kata Marxel kembali terngiang di telinganya. Membuat air matanya kembali jatuh, menahan Sophia untuk kembali ke sana. Perasaannya menuntun untuk pergi dari mansion megah bak istana itu.
***
Kematian dr.Dan sangat mengejutkam semua pihak, khususnya keluarga D'allesandro. Pria itu meninggal karena kecelakaam tunggal, mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan mobilnya jatuh ke dalam jurang. Namun, bukan itu yang membuat Edmund panik sekarang. Melainkan dia tidak bisa menemukan keberadaan Sophia di mana pun.
Penjaga bilang perempuan itu keluar dari mansion sebelum jam makan siang. Namun, setelahnya dia tidak kembali lagi. Edmund bahkan pulang lebih awal untuk memastikan kabar itu benar atu tidak, dan memang dia tidak bisa menemukan Sophia di mansion Rose atau pun apartemennya. Perempuan itu meninggalkan ponselnya di kamar hingga dia tidak bisa menghubunginya.
Hari sudah sore, itu membuat Edmund semakin panik. Bahkan sebelumnya dia memarahi pihak kepolisian karena menunda pencarian dengan alasan cuaca yang buruk. Dan itu membuat Edmund semakin frustasi.
"Dimana kau, Sophie?" gumam Edmund saat dia mengendarai mobilnya, matanya melihat ke sekeliling jalanan, berharap Sophia ada di salah satu tempat di sana sedang berteduh dari gerimis tipis.
Tiba-tiba saja ponsel Edmund berbunyi, layar menampilkan nomor yang tidak dikenal. Edmund segera menepi dan mengangkatnya, berharap yang menelpom itu adalah Sophia.
"Sophie?"
"Sophia bersamaku, dia aman."
Tubuh Edmund menegang mengenli suara ini, tangannya mengepal dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Apa yang kau lakukan padanya? Jangan berani macam-macam dengan istriku."
"Sophia pingsan, aku membawanya ke rumah sakit."
Mata Edmund yang semul ditutupi amarah itu mulai reda. "Apa yang terjadi dengannya? Dimana kau?"
"Di rumah sakit Angeles San Fernando."
Kening Edmund berkerut. "Dia berada di San Fernando?"
"Datang saja dan lihat keadaanya."
Pria itu menutup sambungannya dan dengan cepat dia melajukam mobilnya kembali. Jantungnya berdebar kencang saat mengira-ngira keadaan Sophia sampai dia berada di rumah sakit. Apalagi rumah sakit itu berada di San Fernando. Waktu yang harus ditempuh dari Downtown Los Angeles ke sana adalah 30 menit. Sophia telah pergi jauh dan membuat Edmund semakin marah, dia marah dengan apa yang membuat istrinya pergi sampai sejauh itu.
Dengan kecepatan di atas rata-rata, Edmund sudah sampai di rumah sakit yang disebutkan oleh pria yang dia kenal sebagai seorang mafia. Edmund berlari di lobi rumah sakit, dia menanyakan keberadaan pasien bernama Sophia dengan napas yang terengah. Satu detik setelah perawat mengatakan kalau Sophia berada di kamar no.12-A lantai 2, Edmund berlari kencang menghentikan lift yang hendak tertutup.
Larinya melambat saat dia melihat kamar yang dituju dari ujung lorong. Pria itu mengatut napasnya dengan melangkah lebar ke arah sana. Berharap di sana ada Sophia dalam keadaan yang baik-baik saja. Jantungnya berdetak kencang akibat lelah dan juga rasa khawatir yang bercampur.
Pintu kayu itu terbuka saat tangannya terangkat hendak membuka, seorang pria dari dalam ruangan keluar dengan tatapan yang tajam. Mata abu-abunya menatap Edmund dengan begitu dingin, memaksa pria itu menjauh selangkah untuk memberi ruang diantata mereka.
"Apa yang kau lakukan terhadapnya?"
Gunner terkekeh. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan padanya hingga dia pergi dari Downtown Los Angeles?"
Tangan Edmund mengepal melihat seringai yang merendahkannya, seolah menyalahkan akan kepergian Sophia karena kelalaiannya menjaga perempuan itu. Gunner maju selangkah, menatap langsung mata biru safir yang tidak dia sukai sejak pertama kali bertemu.
"Jika kau tidak bisa menjaganya dengan baik, maka aku akan membawanya pergi. Apapun keadaannya. Ingat itu," ucap Gunner dan melangkah setelah memberikan tatapan mengintimidasi pada Edmund.
---
Brsambung