Marsha menghela napas lega setelah toko tempatnya bekerja berhasil tertutup dengan rapat. Setelah menguncinya, Marsha segera memasukkan kunci itu ke dalam tas selempang yang setiap hari ia bawa bekerja.
"Kunci toko aku bawa, ya, Na." Kata Marsha.
Nana, teman bekerja Marsha itu mengangguk dan tersenyum. "Iya, besok kamu masuk shift pagi, bukan?" Tanyanya.
Marsha mengangguk dengan lesu. "Iya. Hari ini pulang malam dan besok harus berangkat pagi lagi. Rasanya aku ingin menikah saja."
Nana tertawa. "Lalu, apakah setelah menikah kamu akan menjadi orang kaya? Sadar, Marsha. Jangan karena merasa lelah bekerja, kamu menyerah dan menerima lamaran dari om-om yang kemarin datang ke rumahmu itu." Katanya.
Marsha mengerutkan keningnya. "Tidak mungkin. Meskipun aku merasa lelah dan ingin menikah, tetapi aku juga berpikir dua kali dengan siapa aku akan menikah." Jawabnya.
"Padahal om-om kemarin itu kaya, kenapa kamu tidak mau menerima om itu? Jika kamu menerima lamarannya bisa dipastikan kamu akan hidup bergelimang harta. Tidak perlu bekerja seperti ini." Kata Nana.
Marsha mendengus sebal. "Kalau kamu mau, lebih baik kamu saja yang menikah dengannya. Aku tidak mau. Aku masih ingin mencari CEO kaya yang mau membawaku ke istananya." Katanya.
Beberapa hari yang lalu memang ada laki-laki yang sudah berumur datang ke rumah Marsha dan mengungkapkan keinginannya untuk mempersunting Marsha.
Awalnya kedua orang tua Marsha memaksa putrinya untuk menerima lamaran dari laki-laki itu, karena mereka tidak pernah melihat Marsha membawa laki-laki ke rumahnya. Dan mereka berpikir bahwa Marsha tidak memiliki kekasih.
Tetapi, Marsha menolak dengan keras dan Marsha mengatakan jika ia sudah memiliki kekasih, nyatanya Marsha sedang tidak dekat dengan siapapun. Meskipun ia ingin memiliki suami kaya, tetapi tidak seperti ini caranya.
Nana semakin tertawa terbahak-bahak. "Meskipun aku sadar dan aku tahu bahwa aku hanya orang miskin, tetapi aku tetap berharap dan tidak akan pernah menyerah untuk mencari CEO kaya." Katanya.
"Aku juga. Aku tidak akan pernah menyerah." Kata Marsha.
"Tetapi, Sha. Jika kamu menerima lamaran dari om-om itu, bisa dipastikan utang-utang kedua orang tua kamu lunas semua." Kata Nana.
Marsha kembali menghela napas lelah, ia duduk di kursi yang tersedia di depan toko mereka. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi bukannya langsung pulang, mereka justru mengobrol di sana.
"Aku memang ingin utang-utang kedua orang tuaku lunas. Tetapi tidak dengan cara seperti ini." Kata Marsha.
"Hah, jika saja ada CEO yang melamarku pasti akan langsung aku terima dan uangnya akan aku habiskan untuk melunasi utang ibuku." Kata Nana.
Marsha dan Nana adalah sahabat yang sering bertukar cerita. Mereka terlahir dari keluarga sederhana. Sehingga membuat mereka nyaman untuk bertukar cerita.
"Aku berharap akan datang CEO seperti dicerita yang sering aku baca. Semoga ada pangeran yang akan menolong Upik abu seperti kita ini." Nana melanjutkan kata-katanya.
"Daripada kita semakin berhalu, lebih baik kita pulang saja. Sepertinya kasur di rumah sudah merindukan kita." Kata Marsha.
"Bukan kasur yang merindukan kita, tetapi kita yang merindukan kasur. Rasanya punggung minta direbahkan." Kata Nana.
Seharian ini mereka cukup sibuk. Barang-barang banyak yang datang. Mereka juga membantu menurunkan barang-barang itu, dan tentunya isinya tidaklah ringan.
"Ayo kita pulang, besok pagi kita masih harus mencari uang untuk bisa menjalani kehidupan sehari-hari." Kata Marsha.
Nana mengangguk dan tertawa. Lalu mereka meninggalkan toko dan melaju menuju rumah masing-masing. Rumah mereka yang satu arah itu memudahkan mereka untuk berangkat dan pulang bersama.
***
Marsha memasuki rumahnya, kedua orang tuanya sedang menonton acara televisi. Senyuman tulus terbit pada bibir Marsha, gadis itu begitu menyukai pemandangan seperti ini, kedua orang tuanya saling bercanda seraya menonton televisi.
"Marsha pulang!"
Kedua orang tuanya tersenyum menyambut kedatangan putri mereka. Ibu Marsha segera membuka pintu lebih lebar, supaya putrinya bisa memasukkan motor matic miliknya.
"Marsha membawa martabak untuk ibu dan ayah." Marsha mengangkat makanan yang sempat ia beli.
Monika, ibu Marsha tersenyum. "Ayahmu itu dari tadi mencari camilan. Tetapi karena ibu sudah lelah, ibu malas jika harus keluar untuk mencari makanan."
Marsha tertawa pelan. "Kalau begitu, silakan nikmati martabak manis ini. Marsha akan pergi mandi dan beristirahat." Katanya.
Monika menerima martabak yang dibawakan oleh Marsha. "Kamu tidak ingin mencobanya terlebih dahulu?" Tanyanya.
Marsha menggelengkan kepalanya. "Aku memang sengaja membelikan ini untuk ibu dan ayah, jadi aku tidak perlu mencobanya. Kalian habiskan saja!" Jawabnya.
Monika kembali tersenyum dan mengelus bahu putrinya. "Ya sudah, kamu mandi saja lalu istirahat. Besok mendapatkan giliran shift pagi, bukan?"
Marsha mengangguk. "Iya, ibu. Kalau begitu Marsha akan beristirahat terlebih dahulu. Ayah dan ibu silakan menikmati makanannya."
Marsha berjalan menuju kamarnya, tempat di mana ia bisa melepaskan penat. Gadis itu langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Marsha Friska Evangeline, gadis yang seharusnya masih duduk dibangku kuliah, kini harus mengubur dalam-dalam cita-citanya. Ia memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikannya. Mengingat ekonomi keluarganya yang sederhana ini, Marsha memutuskan untuk bekerja saja demi membantu kedua orang tuanya.
Ayah Marsha bekerja sebagai buruh tani, sedangkan ibunya membuka jasa laundry di rumahnya.
Setiap kali libur bekerja Marsha memilih untuk di rumah saja, membantu ibunya untuk membersihkan rumah. Banyak teman-teman Marsha yang mengajak gadis itu untuk keluar rumah dan mencari hiburan. Tetapi, Marsha selalu menolak. Menurut Marsha, uangnya lebih baik diberikan kepada ibunya daripada ia habiskan untuk bermain bersama teman-temannya. Oleh karena itulah, banyak teman-teman Marsha yang menjauh.
Tetapi Marsha tidak mempermasalahkan hal itu. Dipikirannya sekarang hanya ada keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Bahkan untuk urusan percintaan juga Marsha kesampingkan.
Tok... Tok... Tok...
Marsha yang baru keluar dari kamar mandi mengernyitkan dahinya. Lalu ia berjalan membuka pintunya.
"Ibu, ada apa?" Tanya Marsha.
"Uang gajian kamu masih ada, nak?" Tanya Monika.
Marsha mengangguk pelan. "Ada. Ibu membutuhkan uang berapa?" Tanya Marsha.
"Ini, beras kita habis. Bu Salma juga belum memberikan upah untuk hari ini. Uang pegangan ibu sudah habis, nak." Kata Monika sambil tersenyum. Senyum menyedihkan yang begitu Marsha hindari.
Di dalam hatinya, Marsha selalu memantapkan niatnya, jika suatu saat ia bisa melihat senyuman bahagia pada wajah ibunya.
"Sebentar, ya, ibu. Marsha akan ambilkan."
Marsha kembali masuk ke dalam kamarnya. Lalu kembali keluar dengan membawa dua lembar uang seratus ribuan.
"Seratus ribu saja. Ini yang seratus lebih baik kamu yang bawa." Monika mengembalikan uang itu kepada Marsha.
"Kenapa, ibu? Lebih baik ibu bawa saja semuanya. Marsha masih ada uang untuk beberapa hari ke depan." Kata Marsha.
"Tidak, ibu takut jika kamu ingin membeli sesuatu tetapi harus menahannya karena uangnya kamu berikan kepada ibu semua." Kata Monika.
Marsha menggeleng dan tersenyum. "Tidak, ibu. Marsha tidak akan membeli apapun. Jadi, uangnya ibu bawa saja, ya?"
Monika mengangguk pelan. Ia membawa uang itu dan keluar dari kamar putrinya.
Marsha menghela napas pelan. "Kapan aku bisa menjadi orang kaya?"