webnovel

Sulit Ditebak

Suasana kantor masih terlihat ramai, namun cenderung tenang, semua karyawan tengah di sibukkan dengan aktifitasnya masing-masing, termasuk juga dengan Naya, ia masih berkutat di depan layar monitor, memandang satu demi satu tugas yang tengah ia buat, tapi perasaannya masih terus mengganjal, teringat akan masalahnya dengan Andrean, lebih tepatnya CEO baru di perusahaan itu.

Naya berusaha untuk tetap fokus dengan pekerjaannya, namun lagi-lagi wajah Andrean terlintas di benaknya, bukan karena telah jatuh hati ataupun terpana akan ketampanan sang bos, namun lebih kepada sikap Andrean yang sangat menyeramkan dan juga suka berteriak, Naya tak habis pikir kenapa orang seperti Andrean bisa menjadi bos, kenapa tidak menjadi penyanyi rock saja, yang sukanya berteriak di saat mendendangkan sebuah lagu.

"Huhh... Gue harus gimana sekarang, apa perlu gue resign sebelum itu bos mecat gue, akan lebih terhormat kalau gue yang pergi duluan," bisik Naya pelan sambil terus berpikir.

"Tapi kalo gue berhenti kerja, nyokap gue gimana, bisa-bisa akan terjadi perang dunia ke 3 di rumah, gue belum nikah aja nyokap kerjaannya ngomel terus, gimana kalau gak kerja bisa jadi bulan-bulanannya mama nanti, huhh," lagi-lagi Naya mendengus, pikirannya benar-benar kacau. Milea yang duduknya tak jauh dari Naya, juga terlihat sibuk memperhatikan sahabatnya itu, Milea berniat menghampiri namun masih di jam kerja, sedangkan ia sendiri masih ada kerjaan yang harus di selesaikan secepatnya.

"Ini Nay, ada berkas dari pak Hendra buat kamu," tiba-tiba Kevin datang yang juga merupakan rekan kerja Naya di ruangan itu, Kevin salah satu sahabat Naya, perawakannya yang tampan dan juga baik senantiasa menjadi daya tarik tersendiri bagi para kaum hawa di perusahaan itu, namun ia juga masih betah menjomblo, entah wanita seperti apa yang ia inginkan, padahal sudah banyak gadis yang telah menyatakan cintanya pada Kevin, bahkan ada juga yang nekat mau melamar, terdengar konyol memang, tapi mau bagaimana lagi, sekarang sudah zamannya emansipasi wanita di mana wanita bisa di sejajarkan dengan kaum pria, bahkan sekarang sudah banyak wanita yang menjadi seorang pemimpin, walaupun pada akhirnya wanita harus ingat dengan tugas dan kodratnya sendiri.

"Thank's ya Kev," Naya menjawab dengan lesu.

"Kenapa lo Nay, kusut amat itu muka, kayak baju belum di setrika aja," celetuk Kevin asal.

"Iya, kusut banget, sekusut otak gue," Naya langsung menimpali.

"Yee, gitu aja marah lo Nay, lagi PMS lo ya,?" Lagi-lagi Kevin meledek Naya.

"Udah deh Kev, mendingan cepat balik ke tempat lo, sebelum gue murka," gerutu Naya lagi sambil mengusir sang sahabat.

"Duhhh atuttt, ceyem ih," ucapan Kevin terlihat ngondek. Ia pun segera kembali ke tempat asalnya, sadar akan beberapa pekerjaannya yang masih menumpuk, di karenakan beberapa hari kemarin Kevin mengambil cuti karena ingin mengantar sang ibu berobat, ibunya telah lama mengidap penyakit diabetes dan selalu bolak balik rumah sakit, sebenarnya bukan karena penyakit diabet itu saja yang membuat sang ibu harus kulu-kilir ke rumah sakit, tapi karena di sertai dengan kawan-kawannya yang lain, seperti penyakit ginjal, dan juga jantung, hingga terkadang mengharuskan sang ibu untuk rajin kontrol bahkan terkadang harus di rawat, tergantung dengan kondisi fisik sang ibu.

Di ruangan yang terpisah, Andrean juga masih terlihat serius dengan meetingnya, tampak beberapa orang penting di sana, mereka berkumpul untuk membicarakan masalah perkembangan perusahaan, Andrean memiliki sedikit terobosan agar perusahaannya semakin maju pesat.

Padahal jika di pikir-pikir perusahaan yang di kelola sang ayah selama ini sudah termasuk pesat bahkan sudah terkenal di setiap sudut kota.

Sudah hampir 2 jam, meeting pun akhirnya selesai, Andrean bergegas keluar dengan di ikuti asisten pribadi dan juga sang sekretaris yang terlihat sedikit genit itu, nampaknya Stefi ingin menarik perhatian sang bos dengan memakai pakaian yang agak ketat dan seksi, entah Andrean akan tertarik atau tidak melihatnya, yang jelas ia berusaha untuk semenarik mungkin, Stefi memiliki wajah yang cukup cantik, namun sayangnya agak matre, bahkan matrenya itu sudah termasuk akut, susah di sembuhkan, setiap menilai pria harus dari harta kekayaannya, kalau pun tampan itu adalah nilai plus baginya, khususnya Andrean sekarang yang menjadi target incarannya, selain memiliki wajah yang tampan, kaya raya, CEO, dan satu-satunya penerus tunggal di perusahaan itu, siapa yang tidak ingin berebut untuk menjadi pendamping hidupnya, seperti kata pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui.

"Apa sebaiknya kita makan dulu Rik,?" Tanya Andrean kepada sang asisten, mengingat ini sudah waktunya jam makan siang.

"Boleh juga pak, kebetulan cacing dalam perut saya sudah pada demo," jawab Riko dengan sedikit bercanda, Andrean merupakan sahabat dekatnya waktu masih kuliah dulu, tak ada rasa sungkan ataupun malu di antara mereka, namun meski begitu Riko tetap menghormati Andrean layaknya seorang bos.

"Apa schedule saya selanjutnya Rik,?" Ucap Andrean lagi sambil terus berjalan menuju ruangannya.

"Untuk hari ini sudah selesai pak," sahut Riko lagi.

Sedang asik berjalan, tak sengaja Andrean melihat Naya yang masih stay di meja kerjanya, pandangannya terlihat kosong, di bilang bekerja tapi melamun, di bilang melamun tapi layar monitornya masih menyala, kerjaan belum beres tapi sudah sibuk melamun, apa yang sedang anak itu pikirkan, batin Andrean.

"Rik, kamu kenal dengan karyawan kita yang satu itu,?" Andrean menunjuk tepat ke arah Naya.

"Oh, itu namanya Naya pak, memangnya ada apa,?" Riko balik bertanya dengan tatapan curiga.

"Selain bekerja, apa dia juga hobi melamun di kantor ini?" Tanya Andrean ketus.

Riko hanya mengangkat bahunya, ia pun tak tau pasti apa yang sedang bosnya bicarakan.

"Tolong kamu suruh dia ke ruangan saya sekarang!" perintah Andrean sembari berlalu pergi.

"Siap pak bos," Riko langsung mengangkat tangan kanannya, seperti anak sekolah yang sedang hormat kepada sang merah putih.

"Kepada saudari Naya di suruh ke ruangan bos sekarang!" Panggilan Riko terdengar sangat resmi, seketika Naya tersadar dalam lamunannya.

"Baik pak," hanya itu yang keluar dari mulut Naya.

"Lagi-lagi di panggil ke ruangan, sepertinya masalah ini memang belum selesai," gumam Naya setengah berbisik, yang ternyata di dengar oleh Milea.

"Masalah apa lagi Nay,?" Tanya Milea heran.

"Ini anak, matanya ke monitor tapi telinganya terpasang seperti radar," timpal Naya ketus, sepertinya Milea memang mempunyai kemampuan pendengaran ultrasonik, pikirnya lagi.

Setibanya di depan ruangan Andrean, Naya berdiri sejenak, terlebih dahulu ia mengatur nafasnya yang tak beraturan, perlahan ia menghirup udara lewat hidung dan menghembuskannya secara perlahan melalui mulut, persis seperti ibu hamil yang menahan nyeri ketika ingin melahirkan, ia lakukan hal itu sampai tiga kali, ketika merasa agak tenang baru lah ia mengetuk pintu.

"Tok... Tok... Tok..."

"Masuk," terdengar jawaban dari dalam ruangan, baru mendengar suaranya saja sudah membuat Naya bergidik, sepertinya ia harus mulai terbiasa dari sekarang, karena hobi bosnya yang suka berteriak itu.

"Permisi pak, bapak memanggil saya," Naya terlihat begitu sopan, sadar akan posisinya sekarang sebagai karyawan biasa, yang sedang berhadapan dengan sang bos.

"Apa kamu tau peraturan di kantor ini,?"

Naya terdiam, entah peraturan apa yang di maksud.

"Jangan bekerja kalau hanya ingin melamun, mau jadi apa perusahaan ini kalau semua pegawainya seperti kamu!"

Andrean mulai mengomel, sedangkan Naya masih terdiam.

"Apa kamu mau di pecat?!"

Seketika Naya tersentak, apakah hari ini terakhir kalinya dia bekerja.

Ya Tuhan tolong saya, bisik Naya dalam hati.