"Tolong jangan pecat saya pak, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini,"
Seketika Naya menjadi tegang, apa lagi saat mendengar akan di pecat. Ia tak bisa membayangkan kalau Andrean benar-benar akan memecatnya.
"Saya janji akan ganti rugi pak," kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Naya, padahal sudah jelas ia tidak bisa mengganti kerugian sebesar itu. Tapi apa boleh buat demi mempertahankan pekerjaannya.
"Saya tidak butuh ganti rugi," Andrean terdiam sesaat.
"Asalkan ada satu syarat,"
Kembali Andrean menghentikan kalimatnya, hingga membuat Naya berpikir yang tidak-tidak.
"Syaratnya apa pak,? Balas Naya ragu-ragu, ia mulai terlihat gugup, jangan sampai Andrean meminta syarat yang aneh-aneh pikirnya lagi.
"Kamu harus menjadi asisten saya!" Jawaban Andrean sontak membuat Naya melongo.
"Hahh,"
Sahut Naya spontan, ia terlihat begitu kaget, dia pikir Andrean akan memecatnya tadi.
"Tapi bukannya bapak sudah punya asisten,?" Naya memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu keberatan dengan tugas ini,?" Kembali Andrean bertanya sambil mengambil sebuah kertas dan pena.
"Apa kamu sudah bosan bekerja di sini,?"
Lagi-lagi Andrean menyindir, Naya paham betul apa maksud dari perkataan atasannya itu, kalau tidak bersedia maka akan di pecat, ini syarat atau sebuah paksaan, batin Naya.
Naya berpikir keras mengingat selama ini ia belum pernah menjadi seorang asisten.
"Sampai kapan kamu berfikir,?"
Lagi-lagi andrean bertanya, menunggu jawaban dari Naya.
"Ta... Tapi pak, saya belum pernah menjadi asisten,"
Naya seketika menjadi gagap, ia masih bingung harus menjawab apa, sedangkan ia sudah terlanjur mencintai pekerjaannya yang lama.
"Kamu kan bisa bertanya dengan Riko, lagi pula saya juga membutuhkan asisten wanita," terangnya lagi.
Sejenak Naya berfikir, ternyata Riko juga masih akan menjadi asisten Andrean, tapi kenapa harus saya yang ia pilih, bisik Naya dalam hati.
"Bagaimana, kamu bersedia tidak?" Andrean mulai menaikkan suaranya, sepertinya ia akan mulai berteriak.
"Baik pak, saya bersedia," jawab Naya penuh pertimbangan. Tak apa lah menjadi asisten, lagi pula sebagai asisten bos, kalau di perhatikan pekerjaan Riko juga tidak sulit, paling sekedar mengatur jadwal, sesederhana itu yang ada dalam pikiran Naya.
"Ok, kita deal sekarang, mulai saat ini kamu telah resmi menjadi asisten pribadi saya," terang Andrean lagi menegaskan.
Sedangkan Naya masih terlihat bingung, entah ini akan menjadi awal yang baik untuknya atau tidak, asalkan tidak di pecat dan masih bisa bekerja di perusahaan itu sudah membuatnya bernafas lega.
"Silahkan kamu tanda tangan, sebagai bukti perjanjian kita," ucap Andrean lagi.
"Bukti perjanjian, apa lagi ini," bisik Naya pelan.
"Jangan banyak tanya, sepertinya kamu memang orang yang banyak pertimbangan, suka melamun,
kalau seperti ini kinerja kamu bekerja, orang sudah sampai di bulan kamu masih stay di bumi," Andrean mulai mengomel.
"Siapa juga yang mau ke bulan," gerutu Naya dalam hati.
"Baik pak," jawab Naya singkat, sambil menandatangi surat perjanjian itu, mungkin lebih tepatnya adalah kontrak kerja antara mereka berdua, tanpa membacanya terlebih dahulu, ial tak mau mengulur waktu, takut kalau bosnya nanti akan berteriak lagi nantinya.
"Silahkan bereskan semua barang-barang kamu, karena kamu sudah punya ruangan sendiri sekarang," terang Andrean lagi.
"Ruangan sendiri, tapi di mana, pikir Naya lagi.
Andrean masih duduk di tempatnya, sedangkan Naya dari tadi hanya berdiri tanpa di persilahkan duduk.
"Kamu bisa duduk di sebelah sana,"
Andrean menunjuk salah satu sudut ruangan, tepatnya berada di paling pojok ruangan, di sana sudah ada sebuah meja dan kursi, dan hanya di batasi beberapa sekat, lebih kecil dari meja Naya bekerja selama ini, tidak ada komputer ataupun fasilitas lainnya di sana, alias masih kosong. Naya mulai berfikir apa yang akan ia lakukan di meja kosong itu, apa tugasnya hanya duduk, tidak mungkin, pikirnya lagi.
"Kenapa masih berdiri di sana,?" Andrean mulai berteriak.
"Jadi orang itu harus gesit, biar cepat sukses!" Sindir Andrean lagi dengan suara tinggi.
"Baik pak,"
Buru-buru Naya keluar dari ruangan itu sebelum mendengar Andrean berteriak lagi.
"Heh, ngapain lo ke ruangan pak Andrean,?"
Tiba-tiba Stefi datang menghampiri, dengan penuh tanda tanya di kepalanya.
"Tanya aja sendiri sama bos lo," timpal Naya yang masih terlihat kesal.
"Jangan sok cantik deh lo, gue perhatikan lo sering banget bolak balik ke ruangan ini, yang lebih berhak keluar masuk ruangan ini cuma gue, secara gue kan sekretaris di perusahaan ini, paham lo!"
Gertak Stefi penuh angkuh sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada, bergaya sok seperti wanita paling cantik dan paling hebat di depan Naya.
"Oh, begitu ya nona Stefi, tapi mohon maaf sebelumnya, gue ke sini atas permintaan pak Andrean langsung," ucap Naya dengan santai seraya berlalu, sadar akan sikap Naya yang sudah mengacuhkannya, membuat Stefi akhirnya berteriak.
"Dasar kampungan lo, karyawan bodoh," kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Stefi.
Naya menghentikan langkahnya, ia berbalik melihat ke arah Stefi, keningnya sedikit mengkerut,
"Kalau tidak lagi di kantor, udah gue benturin kepala lo ke tembok," gertak Naya lagi tak mau kalah.
"Nantangin gue lo, sini kalo berani," teriak Stefi lagi dengan lantang.
Naya hanya menghela nafas, tak ingin ambil pusing dan terlibat masalah lagi, ia pun segera berlalu, tak ada gunanya juga meladeni cewek gila seperti Stefi, hanya buang- buang waktu saja, pikirnya.
"Pengecut lo!" Kembali Stefi berteriak namun di abaikan begitu saja oleh Naya yang sudah berlalu pergi.
Sesampainya di ruangan, Milea masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya, begitupun dengan yang lain.
Naya terduduk, pandangannya mengitari setiap sudut ruangan, terlintas semua kenangan yang telah ia lalui di ruangan itu, ruangan yang menjadi saksi bisu di mana untuk pertama kalinya ia resmi menjadi seorang karyawan, dengan mengalungkan id card miliknya ia tampak begitu bahagia dan bersemangat kala itu, ia ingin segera pulang untuk memperlihatkan kepada sang ibu, kalau ia sudah di terima di sebuah perusahaan besar, semua terasa begitu indah.
"Woy, bengong aja lo, lagi mikirin apa hayo,?" seketika suara Milea mengagetkan Naya dari lamunannya.
"Ah, elo Mil, udah beres kerjaan lo,?" Balas Naya yang terlihat lesu.
"Udah dong, urusan lo gimana sama pak Andrean, udah beres kan,?"
Milea terlihat penasaran.
"Mil, sepertinya gue bakalan kangen banget sama suasana di ruangan ini," Naya berhenti sejenak, sambil melemparkan pandangannya lagi di sekeliling ruangan.
"Maksud lo Nay,?"
Milea mencoba menerka apa yang sudah terjadi.
"Lo di pecat,?
Milea langsung menutup mulutnya sendiri, takut kalau suaranya akan terdengar oleh yang lain.
Naya hanya menggeleng, hingga membuat Milea semakin bingung.
"Terus apa dong Nay, jangan bikin gue penasaran deh," protes Milea sambil mengernyitkan dahinya.
"Gue gak kerja di sini lagi Mil," Naya tertunduk, terlihat sedih, Milea semakin cemas di buatnya.
"Ya ampun Naya, pak Andrean tega banget mecat elo,!" Milea terlihat begitu sedih, ia tak menyangka kalau Naya benar-benar di pecat.
"Enggak Mil, gue masih kerja di sini," kembali Naya terhenti, hingga membuat Milea geregetan.
"Please deh Nay, gue gak ngerti, jangan mutar-mutar gini dong ngomongnya,"
Balas Milea kesal.
"Gue di minta buat jadi asistennya pak Andrean Mil," Ucap Naya datar.
"What,? Asisten,? Serius lo Nay, itu artinya lo masih kerja di sini dong, terus ngapain lo sedih Nay, harusnya lo seneng, bisa jadi asisten bos yang gantengnya kebangetan itu, mana kaya lagi, andai gue belum nikah udah gue pepet itu bos," celoteh Milea panjang lebar, ia begitu bersemangat membicarakan sang bos.
Sedangkan Naya terlihat biasa saja, tak ada keceriaan di wajahnya, ia hanya mendengus ketika mendengar perkataan sahabatnya itu.