Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu datang juga. Semalaman aku menunggu pagi ini. Pagi di mana aku akan mengantar bidadari kecilku ke sekolah. Setelah salat subuh kami sudah sibuk dengan semua.
"Sudah siap?" tanya Bos Koko padaku yang duduk di sofa, masih mengikat sepatu.
"Sudah, Pak," jawabku semringah.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukan kegiatan, karena merawat bos koko yang sakit selama dua minggu. Kami berjalan beriringan keluar kamar, kemudian menuruni anak tangga menuju ke lantai dua untuk menjemput Zeze. Sampai di kamar, ternyata putri kecil kami sudah rapi. Mbak Mira menguncir rambutnya memakai pita yang cantik berbentuk hati, berwarna merah muda. Melihat kami datang wajahnya berbinar bahagia. Tentu saja, anak itu pasti rindu juga diantar olehku dan papanya.
"Halo, Papa dan Bunsay," katanya menyapa.
Manis sekali kedengarannya. Entah sejak kapan, dia memanggilku dengan singkatan seperti itu. Panggilan sayang yang katanya berarti 'Bunda Sayang'.
"Halo, Cantik," sahutku mendekat, kemudian mengambilkan tas bergambar Frozen berwarna biru dan memakaikan ke punggung anak itu.
Bos Koko berdiri di depan pintu, menunggu sembari memperhatikan kami. Aku mencium kedua pipi Zeze gemas setelah memakaikan tas. Ia pun melakukan hal yang sama padaku. Mungkin karena kedekatan kami terjalin sejak dulu, hingga tak ada sekat meskipun aku ibu sambung baginya.
"Sudah siap, Sayang?"
"Siap Bunsay!"
Aku mencuil ujung hidungnya dengan ujung jari tangan sekilas, lalu berdiri menghadap Mbak Mira.
"Mbak, kami berangkat dulu, ya," pamitku pada Mbak Mira.
"Iya, Non," jawabnya singkat.
Setelah berpamitan, aku menggandeng tangannya, mendekati papanya yang sudah menunggu di pintu. Kami berlalu dari kamar dengan bergandengan tangan bertiga menuruni anak tangga menuju ke lantai satu, sambil bersenda gurau. Jujur, aku sangat bahagia. Bos Koko sudah pulih dan aku bisa kembali mengantar Zeze bersekolah. Detik berikutnya kami sudah ada di dalam mobil menuju ke sekolah dengan memutar lagu anak-anak kesukaan gadis kecil ini.
***
Kami telah sampai di sekolah. Bos koko ikut turun dari mobil untuk melihat sekolah anaknya. Zeze langsung berlari ke kelasnya. Sedangkan aku? Tanganku ditarik oleh laki-laki ini, sehingga membuatku terpaku di hadapannya.
"Pak, saya mau menemani Zeze di sekolah. Ayolah, lepaskan tangan saya."
"Di sekolahkan sudah ada gurunya Zeze, sini dulu bentar aja, Rey. Ada yang mau saya katakan padamu."
Aku melangkah lebih mendekat. "Nah, sekarang saya sudah ada di depan Bapak, sekarang katakan apa yang ingin Bapak katakan."
Bos koko mendekatkan wajahnya ke samping kepalaku, lalu lirih berucap. "Cium."
"Ih! Bapak apa-apaan sih? Malu sama oranglah!" ucapku balas berbisik.
"Gimana, ya. Bawaannya pengen terus ada di dekat kamu. Dua minggu sama-sama setiap waktu, ini harus pisah dulu. Kalau saya kangen, kamu harus tanggung jawab, ya!" Bos koko menarik kepalanya dari sampingku, tapi kini wajah tampannya ada di depan mataku. Ia tersenyum lalu berkata. "Baiklah, untuk sementara waktu, saya rela pisah dulu. Tapi inget, jangan nakal, ya!" katanya memperingatkan sambil menjawil ujung hidungku.
Aku tersenyum tipis. "Bapak itu yang suka nakal."
Bos koko melepaskan pegangan tangannya. Mundur beberapa langkah, tapi tatapannya masih tertuju padaku.
"Siap-siap nanti malam," katanya sambil mengulum senyum.
"Kenapa nanti malam, Pak?" tanyaku penasaran.
Apa mungkin dia akan melakukannya? Kami 'kan sudah sepakat, tidak akan melakukannya sebelum dia jadi mualaf seutuhnya.
"Tunggu saja," jawabnya singkat.
Bos Koko membuka pintu mobil dan melesat masuk untuk menyetir. Sebelum pergi, dikedipkannya sebelah mata, lalu berkata "I love you Reynata."
"Love you too," jawabku singkat, tapi setelah mobilnya sudah jauh dari pandangan.
Aku memperhatikan sampai mobilnya benar-benar menghilang, kemudian duduk di ayunan taman sekolah, menunggu Zeze selesai belajar. Ah, hati ini semakin berbunga. Inikah rasanya mencintai dan dicintai seseorang? Aku jadi senyum-senyum sendiri. Kamudian berusaha bersikap biasa saja saat ada wali dari anak lain yang melintas. Aku takut dikira gila karena tersenyum dan tertawa sendirian.
Bosan menunggu. Aku memutuskan masuk ke kelas gadis kecilku. Nampak ia sedang belajar bersama teman-teman dan gurunya. Aku tersenyum memperhatikannya. Anak itu, dia adalah salah satu anugerah yang dikirim Allah satu paket dengan suamiku saat ini.
Suami?
Ya, aku sudah memberikan hati kecil ini padanya. Tidak ada keraguan lagi akan dirinya. Aku sudah yakin, dia yang terbaik untukku. Setelah melalui banyak hal, aku merasa, bos koko lelaki terbaik yang pernah kukenal selama ini. Dia rela menahan hawa nafsunya, hanya karena ingin memantaskan diri untukku, dengan cara dikhitan demi untuk menjadi mualaf yang utuh. Meskipun aku tidak tahu sampai kapan, tapi aku akan ikhlas menunggu dan memberi semangat padanya jika hari itu nanti tiba.
Saatnya istirahat. Anak-anak diminta membuka tas dan mengambil bekalnya masing-masing. Aku membantu Zeze mengeluarkan bekal dari dalam tasnya. Lalu menungguinya makan. Terlihat anak lainnya juga ada beberapa yang ditemani oleh orang tuanya.
"Makan yang banyak, Sayang."
Aku mengingatkan supaya Zeze menghabiskan makanannya di jam istirahat ini. Semenjak papanya sakit, Mbak Mira mengatakan kalau selera makan Zeze berkurang. Mungkin dia kepikiran akan kesehatan sang ayah, sehingga tidak nafsu makan.
"Bund, papa sudah sembuh beneran, kan?"
"Iya, Nak. Tadi lihat, kan? Papa sudah kerja hari ini."
"Iya, Zeze seneng liatnya. Emangnya papa sakit apa, Bund?"
Aku pun sebenarnya tidak tahu persis. Menurut pengakuan bos koko dia jatuh dari tangga, tapi kenapa bos koko menolak saat aku mengajaknya cek ke rumah sakit?
"Bund!" Zeze membuyarkan lamunanku.
"Eh iya. maaf, bunda kok malah melamun ya." Aku tersenyum. Zeze mencebik yang membuat aku tertawa gemas melihatnya. Kuacak lembut pucuk kepalanya seraya berkata. "Papa cuma keseleo kakinya aja, Sayang, tapi sekarang sudah sehat."
"Oh gitu. Alhamdulillah ya, Bund. Sekarang papa sudah sehat."
"Iya, alhamdulillah."
Selesai istirahat, anak-anak diminta untuk membaca doa menurut kepercayaan masing-masing. Guru-guru memberikan sedikit nasihat sebelum pulang sekolah. Anak-anak diminta untuk belajar merapikan kamar mereka sendiri jika di rumah nanti. Begitu juga jika makan, selesai makan, mereka diminta meletakkan piring kotor ke tempatnya. Jika mandi, jangan meletakkan pakaian kotor sembarangan. Membuat sampah pada tempatnya dan lain sebagainya. Zeze dan teman-temannya serentak menjawab.
"Baik Bu Guru!" dengan semangat 45.
Itulah yang aku suka dari sekolah ini. Bukan hanya mengajarkan pelajaran akdemik saja, pihak sekolah juga mengajari anak-anak untuk membantu pekerjaan rumah orang tua dan melatih kemandirian anak meskipun masih mereka masih duduk di taman kanak-kanak. Pulang dari sekolah, awalnya aku akan mengajak Zeze pulang, tapi tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Tertera ada nomor baru yang menelepon di layarnya. Siapa, ya? Segera kugeser tombol hijau untuk mengangkatnya.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Halo. Rey ... ini mami."