webnovel

Malam Pertama

Sepulang dari sekolah, kami main ke rumah Mami karena omanya itu meminta Zeze main, kebetulan ada Nicole juga di sini. Mamanya sedang menghadiri rapat perusahaan, sehingga Nicole memilih tinggal bersama omanya. Setelah kejadian malam itu, kini Mami sangat baik padaku, tidak ada lagi tatapan sinis dan penuh kebencian seperti dulu. Aku bersyukur, pada akhirnya ada di titik ini. Di mana, menantu yang dekat dengan mertuanya dan direstui. Zeze dan Nicole main di taman belakang rumah. Aku membiarkan dua kakak beradik itu bermain dengan asiknya. Mereka saling melempar bola dan berkejar-kejaran dengan tawa yang riang. Sementara mereka bermain, Mami mengajakku ke sebuah ruangan. Sepertinya, Mami ingin menunjukkan sesuatu padaku.

Jujur saat melewati setiap lorong dan ruangan, aku dibuat takjub melihat isi dalam rumah ini. Selain besar, mewah, dan sangat bersih, perabotan yang dipakai juga klasik: dari kursi, sampai tempat tidur. Jadi, terlihat unik dan menarik. Sampai di depan sebuah pintu, mami berhenti, lalu membuka pintu di lantai dua ini, kemudian mempersilakan aku masuk. Beliau memintaku untuk duduk di sofa, lalu mengambil album foto berwarna merah yang berada di atas sebuah meja ukiran berwarna kuning keemasan. Setelahnya duduk di samping tubuhku. Dengan tangan lentiknya dan senyum yang merekah, mami menunjukkan semua foto bos koko ketika masih anak-anak. Ada momen di mana mami menunjukkan satu foto yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Suamiku itu memakai dress perempuan berwarna putih, dengan bando yang sangat cantik menghiasi kepalanya. Karena saat itu rambutnya agak panjang, jadi Bos koko tampak seperti anak perempuan. Apalagi dengan kulit yang putih bersih dan mata yang sipit, tidak ada yang menyangka jika dia adalah seorang anak laki-laki, karena foto itu dia terlihat sangatlah cantik.

"Mi, ini serius Pak Very?"

"Iyya." Mami meyakinkan sambil terus saja tertawa. "Eh, kok masih panggil bapak, sih? Kalian 'kan sudah suami istri. Cari panggilan lainlah yang lebih mesra."

"Oh, eh ...."

Mendadak mukaku bersemu merah. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Bisa pakai panggilan 'Mas'Rey."

"Hehehe, iya, Mi. Nanti Rey coba, ya."

Kami melanjutkan obrolan. Bercerita banyak hal siang itu. Meskipun awalnya sempat canggung, tapi alhamdulillah perlahan suasana jadi mencair, ternyata mengobrol dengan mami seasyik ini dan semoga hubungan kami semakin dekat setelah ini. Hari itu, kuhabiskan bermain di rumah mami seharian. Kami memasak bersama, menonton film Korea, dan mengajak main anak-anak. Sebelum Asar, aku memutuskan untuk pulang, karena harus salat di rumah. meskipun aku yakin, kalau mami tidak akan keberatan kalau aku menumpang salat di sana, tapi rasanya kurang enak mau menumpang salat, mengingat kami menganut kepercayaan yang berbeda. Untungnya saat zuhur, sebelum datang ke sini, aku memutuskan untuk menumpang salat di sekolahnya Zeze, setelah menerima panggilan telepon dari mami.

"Nicole, Bunda pulang dulu, ya. Ikut tinggal di rumah Bunda saja, yuk," ajakku ketika berpamitan.

"Iya, Kak. Biar kita bisa main lagi," Zeze ikut merayu.

Nicole menatap Mami. Wanita yang tampak cantik meskipun sudah memasuki usia 50 tahunan itu hanya tersenyum.

"Nicole mau ikut?" tanya Mami.

"Besok-besok saja. Kasihan Oma sendirian, nanti malam kan Opa mau pergi."

Aku duduk menyejajarkan diri dengan anak itu. Kubelai lembut kepalanya, dan mendaratkan satu kecupan di keningnya.

"Ya sudah, enggak apa-apa kalau mau lain kali saja. Jaga Oma baik-baik di sini, ya!"

"Baik, Bunda," jawabnya sambil tersenyum manis.

Tidak berapa lama, mobil Pak Sandoro menjemput kami. Mami dan Nicole melambaikan tangan dari teras depan mengantar kepergian kami, sedangkan Papi sejak tadi memang sudah keluar rumah untuk suatu urusan. Perjalanan pulang, aku merasa sangat bahagia. Begini rasanya punya mertua yang baik, karena selama ini aku dan mami sudah seperti musuh bebuyutan. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah ....

***

Plak!

"Rey, kamu masih saja begitu, kalau ngajarin saya ngaji. Enggak usah galak-galak. Kita kan sudah jadi suami istri yang saling mencintai saat ini. Masa' kamu tega nyakitin suami kamu hanya karena hal ini?"

"Bapak! Kan saya sudah bilang, kalau yang tandanya seperti ini bacanya agak panjang menjadi dua harkat. Kalau tandanya bergelombang seperti ini, lebih panjang lagi menjadi enam harkat. Bapak ketuker terus, ketuker terus. Kalau lagi begini, kita harus profesional, Pak. Saya guru dan Anda ... murid saya!" omelku dengan nada kesal.

"Sebagai guru, kamu itu harus lebih sabar biar pahala melimpah ruah. Bukan malah marah-marah seperti ini. nanti kalau saya jadi jera belajar sama kamu gimana? Kalau saya sampai mencari guru lain di luar sana, pahalanya nggak lagi mengalir ke kamu, tapi akan mengalir ke orang lain."

Aku diam saja, hanya menunjuk-nunjuk Iqro, agar dia melanjutkan bacaan. Kalau terus bertengkar, ya tidak akan selesai. Tapi, apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Sepertinya aku memang harus belajar supaya bisa lebih bersabar. Akhirnya, malam ini bos koko menyelesaikan Iqro lima setelah salat Magrib. Aku lega dan merenggangkan otot-otot tangan. Setelah membereskan semua, aku berbaring di sofa selama beberapa saat.

Bos koko sudah sibuk dengan laptopnya di meja kerja. Tiba-tiba, aku ingat dengan foto bos koko yang terlihat seperti perempuan. Aku berniat menggodanya. Untung, aku sempat memfotonya dengan ponsel tadi. Aku berdiri, lalu berjalan ke arah nakas dan mengambil gawai. Setelah berbaring di ranjang, kukirim foto ke ponselnya. Aku sengaja berbaring dan menghadap ke arahnya, hanya untuk melihat ekspresi wajah pria keturunan cina itu.

[Pak, tebak. Ini foto siapa? Gemesh, deh.]

Tidak berapa lama, terdengar ponselnya bergetar. Bos koko mengalihkan pandangan dari laptop ke arah gawai. Dahi itu tampak mengerut bingung. Dia mengangkat ponselnya dan melihat ke arahku. Aku menaikkan ke dua alis sambil mengulum senyum yang membuatnya semakin curiga. Pelan tapi pasti wajah itu berubah memerah, kemudian senyuman antara kesal dan seperti ingin tertawa merekah. Dia menutup laptop, lalu berjalan mendekatiku. Aku sudah menahan tawa sejak tadi. Bos koko langsung mengangkat tubuhku dan membantingnya ke kasur. Akhirnya, aku tidak bisa menahan tawa lagi. Aku tertawa terpingkal-pingkal, sementara bos koko terus mencubiti pinggang ini. Sesekali, tangannya menjerat kedua tanganku ke belakang. Meskipun tampak kesal, tapi ada segaris senyum di sana.

"Ngeledek, ya!" katanya.

Sekali lagi, dia mengempaskan tubuhku ke ranjang. Setelah puas bermain, aku merasa tubuhku penuh oleh keringat. Sementara, bos koko masih memeluk sambil memejamkan mata.

"Mas, minggir dulu, mau mandi. Gerah. Sebentar lagi salat Isya."

Aku mencoba panggilan baru yang disarankan oleh mami.

"Apa?" Dia membuka mata. "Coba katakan sekali lagi."

"Mas."

"Lagi!" perintahnya.

"Mas."

Bos Koko tertawa.

"Suka nggak ?"

"Lumayan, sih, daripada bapak."

Kini aku yang tertawa.

"Rey."

"Em?"

Ia merapikan rambutku yang berantakan, lalu menatap wajahku dengan posisi berbaring miring, kepalanya di sangga oleh tangannya. "Mandi bareng, yuk!"

"Ih! Mas, apa-apaan, sih? Nanti pengen, loh. Mas kan belum ...."

Dia langsung membungkam mulutku dengan telapak tangan. Kami saling bertatapan cukup lama, maksudnya apa coba aku tidak boleh bicara? "Mandinya nanti saja, sekalian," katanya dengan raut yang sudah berbeda.

Aku melepas tangannya yang sejak tadi menutup mulut ini. "Sekalian? Maksudnya, Mas?"

"Salat Isya dulu, yuk!"

"Eh iya, udah masuk Isya, ya!"

Bergegas aku melompat dari ranjang, langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, gantian bos koko yang membersihkan diri, sementara aku sudah bersiap menunggunya untuk salat berjamaah. Dia keluar sudah rapi dengan baju koko, sarung dan peci. Langsung saja memposisikan sebagai imam di depanku.

"Allahuakbar!"

Kami salat dengan khusyuk. Sekarang aku sudah terbiasa salat berjamaah dengannya, bahkan aku merasa ada yang kurang kalau tidak salat bersamanya.

"Assalamu'aikum warohmatullah, Assalamu'alaikum warohmatullah."

Aku mendekat, mencium punggung tangannya, sedangkan suamiku ini mencium keningku cukup lama. Saat aku akan berdiri, ia menarik tangan. Aku menatapnya bingung.

"Kenapa?"

Bos koko berdiri, dan kini sudah ada di depanku.

"Rey."

"Ya?"

Bos koko menggenggam kedua tanganku. "Saya ... sudah dikhitan." Aku terdiam, menatap ke dalam bola matanya penuh dengan tanda tanya. Apa ini benar? "Malam ini, saya akan memberikan nafkah batin saya untukmu, istriku .... "

"Bapak, serius?" tanyaku dengan suara parau.

"Apa saya terlihat seperti main-main?" Setetes air mata jatuh ke pipiku. Perlahan suamiku mengangkat tangannya, lalu diletakannya ke atas kepala. Aku memejamkan mata ketika dia mengucapkan bismillah, kemudian membaca sebuah doa. Setelah selesai, bos koko berjalan ke arah pintu, kemudian menutupnya rapat-rapat. Akhirnya, malam itu, menjadi saksi bisu menyatunya dua insan yang telah lama menantikan malam pertamanya.