webnovel

Tetangga Sialan

    Mampus! Saat ini seluruh mata yang ada di kantin menatap mereka berdua. Damai, idola baru sekolah sedang memegang tangan Senja. Itulah yang akan dipikirkan banyak murid yang ada disana, mereka pasti bergosip tanpa ingin tahu hal yang sebenarnya. Jika hal ini diteruskan maka sekejap saja ketenangan hidup Senja akan hilang. 

    Senja memaksakan senyumnya pada Damai, kemudian menarik tangannya paksa dari tangan anak laki-laki seusianya itu. Sejenak Senja mengamati kanan dan kirinya. Senja merasa dia sedang diawasi oleh banyak orang sekarang. 

"Damai, nanti aku kasih ke kamu ya bukunya. Sekarang aku harus segera ke kamar mandi. Udah gak tahan," ucap Senja. Lalu dengan cepat membalikkan badan dan mempercepat langkahnya. Bukan malah memesan makanan, tapi Senja meneruskan langkahnya hingga keluar kantin, lalu menuju kamar mandi. Secepat kilat Senja menghilang dari hadapan Damai, dan juga Raya. Dan yang lebih penting menghilang dari keramaian. 

Damai memiringkan wajahnya, menghembuskan nafasnya kesal. Sudah tiga kali Damai mengajak tetangga barunya itu bicara, tapi dia terus saja menghindar. Padahal dia sendiri yang berkata Damai bisa menanyakan segala hal yang berhubungan dengan sekolah padanya. Kini saat Damai benar-benar membutuhkannya, dia lari begitu saja dari hadapannya. 

"Sialan banget sih tuh cewek!" umpat Damai kesal.

Raya yang sebenarnya juga melonggo melihat Senja menghilang dengan begitu cepat dari area kantin, seketika menoleh mendengar umpatan Damai pada Senja. 

"Kayaknya kita perlu bicara deh Damai," kata Raya. Dalam hatinya dia tidak bisa terima Damai mengumpat sahabatnya seperti itu, tapi di satu sisi Senja juga melakukan kesalahan, bukankah dia tidak akan selamanya menghindar seperti itu dari Damai? Mereka bertetangga, dan satu kelas. Mau tidak mau mereka pasti akan berhubungan suatu hari. 

Kali ini Damai menyipitkan matanya ke arah Raya. Sekarang apa lagi ini, pikir Damai. Dia sudah kesal pada tetangganya yang menurutnya sok baik padahal tidak itu, sekarang ditambah apa lagi oleh Raya?

"Apa?" tanya Damai setengah kesal. Raya mendapat setengah kekesalannya pada Senja. 

Namanya juga Raya, dia tidak akan mengalah begitu saja. Raya justru menarik tangan Damai menjauh dari kantin. Menuju ke bawah pohon besar yang berada tak jauh dari lapangan sepak bola. Beruntungnya Raya, Damai mengikutinya meskipun sebenarnya enggan. Kenapa juga dia harus diseret-seret seperti itu?

Damai menghembuskan nafasnya kasar begitu Raya menghentikan langkahnya dan berhenti di bawah pohon besar. Menjauh dari keramaian dan banyak mata yang melihatnya. 

"Oke. Sekarang lo bisa lepasin gue, dan ngapain lo bawa gue kesini?"

Raya segera melepaskan tangan Damai begitu dia sudah menghadap padanya tapi baru sadar masih memegang tangan teman selebnya itu. "Pertama-tama, aku minta maaf soal Senja," ucap Raya. 

Damai mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa lo yang minta maaf? Emangnya dia gak punya mulut buat ngomong sendiri?" 

Raya menghentikan perkataan Damai, kedua tangannya mengarah pada Damai untuk menghentikan teman sekelasnya itu bicara dan terus berprasangka buruk pada Senja. Apalagi sampai berkata kasar, dan mengumpat padanya. 

"Plis dengerin aku baik-baik!"

***

   

    Senja menarik nafasnya panjang berkali-kali. Sekarang dia sedang berada di depan pagar rumah Mbah Sani. Jam makan malam sudah hampir tiba, dan sepertinya di dalam rumah besar itu juga masih ada kegiatan. Terdengar dari luar suara para penghuninya meskipun samar-samar. 

    Sambil memegang buku catatannya Senja mendongak menatap ke dalam pagar Mbah Sani. "Apa Damai udah dapet catatan dari anak lain ya?" gumamnya. 

    Sejujurnya Senja merasa bersalah pada Damai. Dia terus menghindari temannya itu padahal dia sama sekali tidak memiliki salah padanya. Tadi, setelah istirahat selesai dan bahkan pulang sekolah Damai terlihat dingin pada Senja. Tidak mengobrol atau memanggilnya setiap kali ada kesempatan seperti biasanya, juga tidak lagi membicarakan soal catatan pada Senja. 

    Dan satu lagi yang membuat Senja tersadar bahwa seharusnya dia lebih bersikap biasa saja pada Damai. Tidak menghindarinya seperti itu. Omelan Raya. Raya mengomel panjang lebar karena sikap Senja yang menurutnya menyinggung Damai. Anak laki-laki itu tidak ingin menyakiti Senja, tapi kenapa dia justru seperti melihat penjahat? 

    "Coba deh kamu balikin ke diri kamu sendiri? Gimana kalau kamu jadi anak baru terus butuh sesuatu malah temen kamu menghindar tanpa alasan? Emangnya kamu gak merasa tersinggung?" Begitulah kira-kira yang diucapkan oleh Raya tadi. 

    Setelah berkali-kali memantapkan hatinya, akhirnya tangan Senja mengarah pada bel di depan pagar rumah Mbah Sani. Setelah dua kali menekannya, penjaga pintu pagar yang juga merangkap sebagai tukang kebun di rumah Mbah Sani membuka pagar tersebut. 

    "Monggo Nduk. Cari Mbah Sani? Beliau ada di dalam," ucap Bapak-bapak berusia sekitar lima puluh tahunan dengan ramah. Dia sepertinya sudah tahu kalau Senja adalah tetangga sebelah.

    "Makasih pak," jawab Senja.

Beberapa meter dari pagar, Senja sudah sampai di depan pintu masuk. Pintu masuk rumah itu setengah terbuka, menandakan bahwa penghuninya masih terjaga. Biasanya pintu rumah Mbah Sani itu terlihat tertutup rapat setelah lebih dari jam delapan malam, atau saat beliau sedang tidak ada di rumah. Menurut Mbah Sani itu akan memudahkan siapapun yang akan datang bertamu, mengetahui apakah beliau ada dirumah atau tidak. 

Senja mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak beberapa lama Assistant rumah tangga Mbah Sani keluar dan mempersilahkannya masuk, dan menuntunnya masuk ke dalam. Senja mengikutinya, kemudian duduk di sofa panjang besar dan mewah berwarna emas kecoklatan yang ada di ruang tamu. Ada juga empat sofa single lainnya bermotif dan warna sama seperti itu, dan meja besar di tengah.

"Nduk ada apa? Tumben kamu kesini sendirian?" Mbah Sani keluar lalu menyapa dengan ramah. 

Senja berdiri dari sofa. "Damai ada Mbah? Aku mau ngasih catatan ke dia," jawab Senja.

Mbah Sani terlihat senang, Senja datang kesana mencari Damai dan membicarakan masalah sekolah. Mbah Sani mengartikan itu berarti mereka sudah bergaul dengan baik. Senja juga anak yang baik dan tidak neko-neko dalam pandangan Mbah Sani, jadi Mbah Sani senang Damai berteman dengannya. Tidak seperti beberapa gadis yang mengaku teman wanita Damai di sekolah lamanya. Cantik-cantik, tapi dandanannya sudah aneh-aneh, dan jarang ada yang memiliki sopan santun pada orang tua seperti Senja belum lagi sikapnya yang kecentilan pada Damai.  

"Kamu duduk dulu Nduk. Mbah panggilkan Damai ya," ucap Mbah Sani lalu kembali ke dalam. 

Senja menuruti Mbah Sani. Diam disana sambil menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya Senja tidak tahu bagaimana harus bersikap pada Damai, minta maaf kah? Atau berpura-pura saja tidak terjadi apa-apa dan memberikan catatannya? Tak terhitung berapa kali Senja menghela nafasnya dalam-dalam hanya untuk mempersiapkan dirinya berhadapan dengan Damai. 

Sekitar lima menit setelah itu, yang sedang Senja tunggu datang. Langsung duduk pada sofa single yang ada di depan Senja. "Ada apa Nja?" tanyanya setelah mendudukan pantatnya dengan sempurna. Dia bahkan sudah menyilangkan kakinya sekarang. 

Senja mengulurkan bukunya pada Damai. "Ini. Aku kasih kamu catatan pelajaran Bu Indri tadi," ucapnya. Senja tak berani menatap Damai, sesekali hanya meliriknya kemudian mengalihkan pandangan kembali dari tetangga barunya itu. "Dan aku minta maaf soal tadi siang," imbuhnya sedikit canggung. 

Damai mengangkat sebelah alisnya. Kemudian tangannya menerima buku dari Senja tanpa banyak bicara. Senja pikir, Damai pasti marah padanya. Dan pasti Damai menganggap Senja orang aneh karena terus menghindarinya. 

Senja kembali membuka suaranya, untuk menjelaskan situasi yang dihadapi, karena rasanya Damai masih dingin dan tak begitu menggubrisnya. Membuat Senja semakin merasa bersalah. "Aku gak bermaksud menghindari kamu Damai, aku cuma…."

 "Gue udah tau," sela Damai. Membuat Senja yang tadinya ragu-ragu sekarang menatap ke arahnya, dan berganti mengerutkan kening ke arah Damai. Tahu apa yang dia maksud?