webnovel

Balkon Tetangga Sebelah

"Tahu apa Damai?" Senja bergumam pelan.

"Gue udah denger dari Raya," jawab Damai.

Senja memutar bola matanya. Jawaban Damai semakin membuatnya tidak mengerti. Dia sudah tahu, dan mendengarnya dari Raya. Apa itu? Jangan-jangan Raya menceritakan hal aneh pada Damai. Perasaan Senja semakin tidak karuan, antara merasa bersalah dan bercampur dengan malu karena Senja pikir Raya pasti menceritakan sesuatu yang aneh pada tetangga barunya ini.

"Damai, jangan dengerin omongan Raya. Dia emang suka ngomongin hal aneh," kata Senja semakin canggung. Sambil sedikit memaksakan bibirnya untuk tersenyum hambar.

"Raya bilang lo gak biasa berada di keramaian. Jadi gue tahu alasan lo kenapa menghindari gue selama ini. Karena di sekitar gue emang selalu rame sama murid-murid lain."

Kalimat Damai membuat Senja terdiam. Tubuhnya membeku di depan anak laki-laki itu. Matanya mengerjap bingung untuk mengalihkan pandangan dari Damai. Kenapa Raya ngomongin hal itu ke Damai. Bukannya Senja semakin terlihat aneh jika Damai tahu dia gak biasa berada di keramaian? Astaga. Raya bikin malu.

Senja langsung beranjak dari tempat duduknya. Berniat untuk pamit pulang kembali ke rumahnya. Karena catatan juga sudah berada di tangan Damai, dan dia juga sudah minta maaf. Masalah cerita dari Raya, Senja memilih untuk membiarkannya saja karena Damai juga sudah terlanjur mengetahuinya, tapi dia akan tetap memberi pelajaran pada Raya besok.

"Damai, kalau gitu aku pulang dulu ya," pamit Senja.

Damai ikut berdiri. Menatap Senja di depannya yang terlihat bingung, dan gugup. Tubuhnya tidak bisa tenang. Damai tersenyum simpul, gadis di depannya ini sama sekali tidak menatapnya, lebih sering menunduk dan mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Tetangga baru yang cukup unik, dan manis, pikir Damai.

"Lo gak akan menghindari gue dirumah juga kan? Disini gak ada siapa-siapa kok. Cuma ada Mbah sama gue," kata Damai.

Senja menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu hal yang saat ini sedang berada di pikirannya, tapi entahlah. Apakah akan menjadi sesuatu yang benar jika Senja mengatakannya pada Damai atau bahkan menambah kesan aneh pada dirinya? Senja menggelengkan kepalanya. Mengurungkan niatnya untuk mengucapkan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Kenapa?" sahut Damai. Dia bisa membaca Senja sedang memikirkan sesuatu.

Gelanggan di kepala Senja semakin keras. "Enggak. Aku gak akan menghindari kamu lagi kok Damai, tapi…."

Damai mengangkat sebelah alisnya, gadis manis di depannya menghentikan kalimatnya cukup lama. Sekitar hampir tiga puluh detik. Kemudian membuka kembali suaranya.

"Tapi, mungkin jangan di depan fans-fans kamu atau di depan banyak murid. Waktu di kantin misalnya," sambung Senja.

Damai mengenduskan hidungnya. Lalu tertawa pelan. Sungguh baru kali ini ada seorang gadis bertingkah seperti ini dihadapannya. Kebanyakan dari para gadis yang menyukainya atau Senja bilang tadi ngefans padanya, mereka semua lebih agresif dari Damai. Tapi tetangganya yang satu ini justru menghindari, dan terkesan tidak tertarik untuk ikut bergerombol dengan cewek-cewek kebanyakan.

"Jadi, elo mau ngobrol sama gue di tempat sepi? Atau gue harus bawa elo ke pojokan gudang baru lo mau ngobrol sama gue," gurau Damai. Sikap jahilnya mulai timbul. Sepertinya seru menggoda gadis di depannya ini. Dia juga terlihat mudah dijahili.

"Bukan gitu maksudku," jawabnya cepat. Seolah-olah Damai sedang serius mengatakan hal itu. Dan salah paham mengartikan kalimatnya. "Maksudku adalah…"

"Iya gue ngerti Nja. Lo gak usah khawatir," sela Damai santai.

Kali ini Senja menatap heran pada cowok ganteng di depannya ini. Kenapa sekarang dia terlihat sudah mengenal Senja. Dari tadi dia bilang "Gue ngerti" terus. Apa dia beneran ngerti apa mau Senja? Semudah itu?

Baiklah, kali ini Senja membiarkan Damai menyela kalimatnya. Tidak lama setelah itu mereka mengakhiri percakapan. Dan kembali ke tempat masing-masing. Sudah waktunya makan malam. Senja harus kembali ke rumah, atau kalau tidak ibunya akan kelabakan mencarinya kemana-mana. Mbah Sani juga sempat menawari Senja untuk makan malam bersama di rumah mewahnya itu, tapi Senja dengan sopan menolaknya. Dan Mbah Sani bisa menerima alasan Senja.

Makan malam juga berlangsung dengan tenang di rumah masing-masing. Senja bersama kedua orang tuanya. Seperti biasa, kakak laki-lakinya kerja lembur dan tidak ada dirumah selain hari minggu. Dan di rumah Damai, juga sama tenangnya. Tidak membahas hal yang menyakitkan seperti kemarin, Mbah Sani dan juga Damai lebih banyak tertawa di makan malam kali ini.

Setelah lebih dari pukul delapan malam, rumah Mbah Sani sepi, semua berada di kamar masing-masing. Damai juga berada di dalam kamarnya. Dia berjalan menuju balkon, dan melihat sekitar lingkungan dari tempatnya berada sekarang. "Jam segini udah sepi banget disini. Gak kayak di Jakarta," gumam Damai.

Di daerah Perumahan Permata, tidak banyak anak muda seusia Damai. Lingkungan disana juga cukup tenang. Sebenarnya tidak jauh dari pusat kota Malang. Hanya saja tempat rumah Damai berada tepat di tengah area perumahan tersebut. Mungkin jika Damai keluar area perumahan rumah menuju pusat kota, dia masih bisa melihat keramaian di jalan raya dan juga tempat nongkrong sepanjang jalan malam. Damai bahkan belum keluar rumah sejak kepindahannya kemari. Rencananya dia akan mengajak Aska untuk menemaninya keliling kota Malang, dan melihat berbagai keindahan yang belum pernah diketahuinya.

Damai tersenyum begitu menoleh ke sebelah kirinya. Badannya disandarkan pada pagar balkon, lalu bersedekap sambil mengamati sosok di balkon tetangga sebelah. Gadis yang baru saja keluar dari dalam kamar, memakai piyama lengkap dan memegang sebuah buku di tangannya, menarik perhatian Damai. "Mau ngapain Nja?" setelah beberapa saat tak mengatakan apapun dan hanya mengamati gerak-gerik Senja, Damai akhirnya membuka suara.

Cewek di balkon sebelah itu mengerjap kaget, rupanya dia tidak menyadari kehadiran Damai di sana sejak tadi. Dari pengamatan Damai dia sedang fokus membersihkan area balkonnya sebelum bersantai di sana. "Damai, sejak kapan kamu disana?" tanya Senja. Matanya membulat ke arah cowok di balkon sebelah.

"Gak lama."

"Oh."

Damai kembali mengamati sekitar Senja. Beanbag berwarna biru. Meja kayu bundar dan karpet lembut yang nyaman. Belum lagi hiasan lampu-lampu kecil juga bunga pada pot-pot berukuran kecil yang berada di dinding. Balkon yang terlihat sangat nyaman.

"Lo sering disitu sambil baca buku Nja?" Damai mendongakkan dagunya mengarah pada tangan Senja yang membawa sebuah novel.

Senja mengangguk. Tersenyum lebar pada cowok ganteng di balkon sebelahnya. "Ini tempat favoritku, aku sering menghabiskan waktuku disini," jelasnya sumringah. Meskipun singkat, tapi terlihat dengan jelas ekspresinya mengatakan seperti itu.

Damai berdecak. Cewek itu memang unik. Dalam sehari ini dia sudah melihat ekspresi yang berbeda-beda darinya. Ekspresi takut lalu menghindar. Bingung, dan gugup. Sekarang ekspresi senang, wajahnya terlihat semakin manis dengan senyum yang merekah seperti itu. Damai bisa melihatnya dengan jelas dari posisinya sekarang.

Damai mengangguk-angguk. "Oke, kalau gitu mulai sekarang tempat janjian kita disini," kata Damai balas tersenyum ke arah Senja. Senyum yang sangat ramah, dan senyum itu adalah yang sering membuat para gadis seusianya berteriak kegirangan.

Senja menyipitkan matanya tak mengerti. Bibirnya juga mengerucut ke depan. "Maksudnya?"

"Lo bilang gak suka tempat ramai. Dan disitu tempat favorit lo," katanya sambil menunjuk pada balkon Senja. "Jadi, mulai sekarang kita ngobrol disini aja. Tenang, gak ada yang ganggu. Apalagi cewek-cewek dikelas. Ya kan?"

Senja baru paham. Setelah matanya mengedar ke sekitarnya sejenak. Bibirnya tersenyum lebar. Matanya juga berbinar. Damai bisa mengartikan itu adalah senyuman tanda Senja setuju dengan perkataannya.