Sepanjang perjalanan pulang, Damai membisu. Mereka melewati beberapa tempat gelap dengan pemandangan kanan kiri mereka hanya pepohonan. Sepanjang jalan yang cukup panjang, suasana semakin membuat Senja berdebar takut karena tidak ada sepatah katapun dari cowok di depannya ini. Dan seperti yang sudah-sudah, untuk Senja memulai pembicaraan dengan seseorang sangatlah mustahil. Alhasil mereka hanya berdiam diri hingga sekarang. Masih setengah perjalanan menuju Malang Kota.
"Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Apa memang dia orangnya moody?" batin Senja. Kedua tangannya mencengkram sebelah kanan dan kiri jaket Damai. Bahkan tadi saat mereka semua sempat berkumpul untuk makan sebelum melakukan perjalanan pulang, Damai sudah terdiam. Sangat diam. Sesekali dia menimpali gurauan yang lain, tapi Senja bisa merasakan dia sangatlah berbeda dengan cowok yang tadi menyeretnya ke Pura Ismoyo. Seperti dua orang yang berbeda. Seseorang yang berubah bentuk dalam waktu sehari.
Aska, Raya, Rama, dan Yuha berpisah jalan. Karena hari memang sudah mulai malam, dan besok mereka juga harus menjalankan aktifitas seperti biasa, Jadi mereka memutuskan untuk langsung pulang. Lima belas menit setelah berpisah di tengah Kota Malang yang masih cukup ramai, Damai menghentikan motor di depan pagar rumahnya. Suasana canggung sesaat. Senja melepas helm dan memberikannya pada Damai. Cowok itu juga hanya menerimanya kemudian turun dari motor. Melepas helm yang dikenakannya juga.
"Ayo aku pamitin ke Bu Wulan!" ajak Damai. Itu adalah kalimat pertama yang didengar Senja dari mulut Damai selama dua jam perjalanan. Untuk bisa dibilang lega, Senja tidak setuju. Karena ekspresi Damai masih seperti orang yang tertekan.
Senja menggeleng. "Nggak usah. Kamu masuk aja istirahat," tolaknya perlahan. Sepertinya Damai lebih butuh istirahat sekarang.
"Tapi tadi Raya bilang gue harus pamitin lo ke Bu Wulan," timpal Damai santai.
Senja melebarkan senyum di depan cowok itu. Dan dia tahu sekarang senyum itu pastilah terlihat sangat canggung. Sungguh, Senja tidak biasa melakukan hal itu. "Nggak perlu Mai. Raya emang suka lebay aja!" seru Senja kemudian. Setelah itu dia berjalan menuju ke pagar rumahnya.
Damai menghela nafasnya sejenak, dia baru sadar jika selama dua jam perjalanan tadi dia tidak mendengar suara cewek yang saat ini berjalan menjauh menuju ke pagar rumahnya itu. Perasaan Damai yang tiba-tiba campur aduk karena sebuah kalimat kecil tadi membuat Damai tidak menghiraukan teman barunya yang manis itu.
"Nja!" panggil Damai. Sedikit keras, karena mencegah Senja masuk ke dalam rumahnya setelah membuka pagar depan.
Sang pemilik nama memutar badan, menatap Damai dari depan pagar rumahnya. "Hmm?" timpal Senja.
"Maafin gue."
Damai diam. Senja juga diam. Damai terlalu sulit untuk menjabarkan apa tujuan dari permintaan maaf itu, dan Senja juga terlalu sulit untuk menjawabnya. Sedikit banyak Senja merasa ada yang salah dengan apa yang mereka jadikan pembahasan tadi, dan seharusnya dia yang minta maaf.
Sekali lagi Senja tersenyum lebar. Canggung. "Aku juga minta maaf Damai," katanya.
"Lo gak salah. Gue aja yang tiba-tiba moodnya lagi buruk."
"Yaudah kalau gitu gak usah dibahas. Aku tahu kamu pasti punya alasan tersendiri," balas Senja. "Kita istirahat aja sekarang."
Damai tersenyum manis mendengar jawaban itu. Lega. "Makasih ya Nja," ucapnya. Menatap Senja tulus. Namun gadis manis di depan pagar rumahnya itu mengerutkan kening. benar saja, siapa yang tidak akan merasa aneh melihat Damai sekarang. Beberapa detik yang lalu dia mengucapkan maaf, sekarang terimakasih. Sungguh aneh. Itu juga pasti dirasakan oleh Senja sekarang.
"Buat?" tanya Senja memastikan. Matanya juga menyipit sekarang.
"Makasih buat hari ini, dan… makasih lo gak tanya alasan gue bersikap seperti tadi."
Senja mengangguk. tidak melanjutkan lagi pembicaraan tersebut. Tersenyum selebar mungkin sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam rumahnya.
Perasaan Senja juga sedikit lebih lega dibandingkan saat Senja baru saja turun dari motor Damai tadi. Setidaknya Senja tau, Damai punya alasan tersendiri yang mungkin tidak bisa diungkapkan kepadanya. Dan hari ini adalah pengalaman pertama Senja bermain seharian sampai baru saja menginjakan kaki di rumah pukul setengah sembilan malam.
Baru saja Senja menutup pintu depan rumah, dan berbalik badan. Dia langsung terperanjat mendapati keberadaan pria berusia sekitar dua puluh sembilan tahun, berdiri di depannya. Menggunakan celana pendek dan juga kaos polos.
"Kak Lintang! Ngagetin aja sih!" pekik Senja. Seraya menghela nafasnya. Kaget, sekaligus kesal. Memukul dada kakak pertamanya
Lintang tertawa pelan, kemudian mengacak-acak rambut adik perempuannya itu. "Dari mana? Tumben banget kakak libur gak ada dirumah? Udah mulai gede ya adik kakak?" godanya.
Dua bersaudara itu, Lintang dan Senja. Jarang sekali bertengkar, atau beradu argumen. Lintang sangat menyayangi adik perempuannya, bahkan saat Senja baru saja dilahirkan. Sejak saat itu Lintang yang masih berusia tiga belas tahun sudah belajar menjadi seorang kakak yang baik. Hingga saat ini, saat dia sudah menjadi pria dewasa, Lintang benar-benar menjadi pria lembut yang sangat penyayang.
Senja bergelayut pada sebelah lengan kakaknya. Selama hidup di dalam keluarga ini, Senja selalu bersyukur memiliki kakak seperti Lintang. Dia adalah gambaran kakak laki-laki yang diharapkan oleh banyak teman-temannya, termasuk Raya.
"Dari Balekambang," jawab Senja. Tersenyum lebar memperlihatkan giginya.
Mereka berjalan ke ruang tengah bersama, Senja yang bergelayut sepanjang jalan itu membuat Ibu Wahyu geleng-geleng kepala. Manjanya keluar, pikir Ibu Wulan.
"Sama siapa?"
"Rame-rame kak. Sama Raya dan yang lain."
"Tumben banget gak molor di dalem kamar?"
Di tengah percakapan dua kakak beradik itu. Ibu Wulan menyela, "Sama Damai juga Nja?"
Lintang dan Senja saling menatap. Lintang dengan tatapan penuh tanda tanya, karena baru saja mendengar nama asing yang tidak biasa didengarnya. Lalu Senja dengan Senyum lebar. Sebenarnya dia tidak berniat untuk menceritakan perihal itu kepada Lintang, tapi apalah daya Ibunya memang tidak bisa menyimpan rahasia dengan baik. Setidaknya sedikit lebih lama.
"Damai siapa ma?" sahut Lintang.
"Cucunya Mbah Sani. Dia teman baru Senja disekolah. Tadi kata Mbah Sani, Damai pamit keluar sama temen-temennya dan Senja juga. Mama malah gak tau. Taunya tadi Senja dijemput Raya," jelas Ibu Wulan sambil menghadap ke arah televisi. Memperhatikan tontonan yang membuat matanya tak luput dari sana selama beberapa saat.
Lintang dan Senja mengikuti ibunya duduk di sofa panjang depan televisi. Berada di sebelah kanan, dan kirinya. "Cucunya Mbah Sani? Anaknya Pak Cahyadi?" tanya Lintang begitu dia duduk di sebelah ibunya. Memastikan segala sesuatu yang sekarang sedang berada di ingatannya adalah benar.
"Hmm." Ibu Wulan mengangguk acuh. Sekali lagi, telinganya mendengarkan, tapi matanya masih terfokus pada gambar televisi di depan mereka.
"Ibu Citra pasti nyesel waktu itu pergi gitu aja. Sekarang anaknya udah gede," gumam Lintang. Ingatan Lintang masih belum bisa berhenti bekerja, pikirannya tertuju pada kejadian yang membuatnya ikut menangis pada waktu itu. Dan mungkin jika hal itu terulang kembali sekarang, meskipun usia Lintang sudah setua ini, dia akan tetap menangis.
"Hush. Jangan asal ngomong kamu Lintang! Nanti kalau Mbah Sani denger gak enak," potong ibu Wulan. Mencegah Lintang untuk terus melanjutkan ceritanya.
Senja sebagai pengamat dan tidak tahu apa-apa. Memiringkan wajahnya mendengarkan hal itu. Apa yang sedang mereka bicarakan? Namun mulutnya juga tidak kuasa untuk mengeluarkan sebuah pertanyaan pada sang ibu, karena sudah ada peringatan untuk LIntang berhenti bicara. Senja tidak akan berani membantah. Dia memilih membiarkannya berlalu begitu saja, menanti saat yang lebih tepat untuk bertanya.
Malam di rumah itu kemudian berjalan seperti biasa saja. Penuh tawa di ruang keluarga, dan juga percakapan tentang hari-hari mereka yang selalu memiliki cerita. Kasih sayang tiada henti.
Sedangkan diluar sana, seorang tetangga yang masih berdiri di depan pagar rumahnya sejak Senja masuk tadi, mendongak ke atas. Menatap ke arah kamar dengan balkon super nyaman itu. Menunggu lampunya menyala dan memastikan sang pemilik kamar sudah sampai dengan selamat disana. "Good night Nja," gumamnya. Beberapa saat setelah melihat lampu ruangan itu menyala.