Senin pagi yang cerah. Suasana kedua rumah bersebelahan di tengah Perumahan Permata tersebut riuh seperti biasa. Para penghuninya sedang mempersiapkan diri untuk segera menjalani kegiatan masing-masing.
Rumah besar tiga lantai ada Mbah Sani yang sedang mempersiapkan diri bekerja untuk raksasa bisnis propertinya di Malang Raya, dua assistant rumah tangga yang sibuk sejak pagi, dan juga Damai, sedang merapikan seragam putih abu-abunya. Siap berangkat sekolah.
Rumah berukuran separuh dari ukuran tetangga sebelahnya, dengan dua lantai ada Ibu Wulan yang sedang mempersiapkan sarapan untuk sang suami beserta kedua anaknya, Lintang dan Senja. Lintang dan sang ayah pagi ini bersiap berangkat kerja, sedangkan Senja sama halnya dengan Damai. Bersiap berangkat sekolah. Sarapan berjalan lancar seperti biasa pula. Tanpa ada halangan yang serius, kecuali keusilan Lintang pada sang adik.
"Berangkat bareng kakak aja Nja," kata Lintang. Berjalan keluar pintu rumah setelah mencium tangan kedua orang tuanya untuk berpamitan, lalu menarik tas sang adik dengan asal. Berniat membawa gadis itu menuju mobilnya.
"Ya tapi gak pake narik tas gini juga kak," gerutu Senja. Bibirnya mengerucut, tapi langkah kakinya mengikuti tarikan Lintang menuju ke mobilnya.
Mobil Lintang sudah terparkir dengan rapi di depan teras rumah dan siap berangkat.
Melajukan mobil sesaat, Lintang celingukan di depan pagar tetangga sebelah dari dalam mobil. "Mana teman kamu Nja?" celetuk Lintang. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu penasaran akan sesuatu di dalam sana. Dari apa yang dia ceritakan bersama sang ibu semalam, Lintang ingin tahu cucu Mbah Sani yang dimaksud.
Senja mengikuti pandangan sang kakak sambil mengangkat sebelah alis. "Siapa? Damai?" tanyanya memastikan.
"Hmm." Lintang mengangguk. Sambil terus menatap keluar jendela. "Gak kamu ajak bareng juga? Kan kalian satu sekolah," imbuhnya.
Senja menggeleng. Menyandarkan tubuhnya kembali pada kursi penumpang dengan santai. "Biasanya dia bawa motor kak. Udah ayo berangkat! keburu telat," ajak Senja kemudian.
Lintang menyerah dengan penjelasan Senja, kemudian kembali melajukan mobilnya.
"Kenapa kakak nanyain Damai? Tumben banget peduli sama tetangga?" Senja mulai menuangkan rasa penasaran pada sang kakak. Sebenarnya sejak semalam banyak hal yang ingin ditanyakan pada Lintang, tapi berhubung Ibu Wulan sudah mewanti-wanti untuk tidak bicara sembarangan, jadi Senja memilih diam.
"Penasaran aja. Mama bilang dia ganteng. Ganteng mana sama kakak?"
Senja berdecak. Melengos menatap keluar jendela. "Gak penting banget deh kak," sahutnya.
Lintang hanya menjawabnya dengan tawa pelan. Senja bisa menilai kakaknya juga sangat berhati-hati menjawab pertanyaan Senja. Dia tidak membahas seperti apa yang dikatakan pada ibunya semalam.
Senja menunduk. Menggigit bibir bawahnya. "Kak," panggil Senja setengah ragu.
"Apa Nja?" sahut Lintang.
Perjalanan sampai di sekolah tidak lama lagi, jika Senja tidak menanyakannya sekarang mungkin rasa penasaran di dalam hati Senja akan bertahta sampai minggu depan. Lintang seorang entrepreneur muda yang sedang berusaha mengembangkan bisnisnya. Bekerja lembur dilakukan setiap hari. Senja jarang bertemu dengan kakaknya itu di rumah, hanya sesekali di akhir pekan. Jadi, jika bukan sekarang mungkin Senja hanya bisa bertanya pada Lintang minggu depan. Itupun kalau dia pulang seperti sekarang.
"Em… yang kemarin kakak bicarain sama mama apa?" Pertanyaan itu masih terdengar ragu untuk diucapkan di telinga Lintang.
Lintang melirik sekilas sang adik. "Yang Mana?" Keningnya berkerut samar.
"Siapa yang menyesal karena anaknya udah gede?" kali ini Senja langsung pada intinya.
"Ooo itu."
Lintang baru ingat, Senja tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi waktu itu. Usianya sama dengan Damai, dan anak seusia itu tidak ikut campur dalam urusan orang dewasa. Walaupun tahu, bisa saja Senja tidak mengerti apa yang terjadi saat itu.
"Ibunya Damai pergi dari rumah Mbah Sani Nja. Mungkin waktu itu umurnya masih lima tahun. Sama kayak kamu," jelas Lintang.
"Pergi?" Senja semakin penasaran. Pergi bagaimana yang dimaksud? Penjelasan itu sama sekali tidak rinci seperti yang diharapkan Senja. Seharusnya sang kakak menceritakannya dengan detail. "Pergi kemana kak?"
Lintang menggeleng. "Gatau Nja."
Jawaban menggantung yang membuat Senja kesal karena rasa penasaran yang tidak terjawab itu, mengiringi mobil Lintang berhenti di depan sekolah Senja. Dan pupus sudah harapan Senja untuk terus bertanya secara mendetail pada kakaknya.
"Udah sampai Tuan Putri," ucap Lintang. Adik manisnya manyun dan menghela nafas panjang sambil membuka pintu mobil lalu keluar.
Lintang yang juga ikut keluar, berniat melihat Senja masuk ke dalam pagar sekolahnya.
Sungguh kebetulan yang sangat tidak diinginkan Senja pagi hari. Raya berlari dari kejauhan sambil berteriak memanggil nama "Kak Lintang" dengan begitu semangat. Mereka sudah akrab, bertemu dimanapun pasti orang lain akan mengira bahwa adik kandung Lintang itu Raya bukan Senja.
"Kakak kapan datang?" tanya Raya. Nafasnya terengah saat dia berhenti di depan kakak sahabatnya yang pagi ini super rapi, wangi, dan pastinya ganteng. "Kok aku gak tau kemarin pas jemput Senja pagi-pagi."
Lintang tersenyum lebar. Mengacak rambut Raya dengan lembut. Entahlah, mungkin itu sudah menjadi kebiasaan Lintang pada siapa saja. Nyatanya dia sering memperlakukan Senja seperti itu. "Iya seharusnya kakak bilang dulu kalau mau pulang ya. Biar kamu ajak ke Balekambang juga," timpalnya pada Raya.
Raya meringis di depan Lintang. Kemudian membicarakan hal-hal lain yang terlihat begitu asik. Sifat dasar mereka sama, pintar sekali mencari topik pembahasan. Mungkin karena itulah, pembicaraan mereka selalu saja tidak ada habis-habisnya.
Sedangkan Senja sudah ketinggalan jauh dengan pembicaraan mereka. Bukan tidak nyambung, tapi dia memang tidak biasa nyerocos seperti Raya. Mata Senja justru terpaku pada sebuah motor matic yang baru saja melewati mereka. Melihat sosok Damai yang masuk bersama motornya ke dalam sekolah.
"Jadi, ibunya pergi kemana?" Pikiran Senja kembali pada cerita Lintang yang tidak dilanjutkan. Lihat saja, dia bicara pada Raya tanpa henti tapi pada adiknya sendiri. Singkat, padat, dan tidak jelas sama sekali.
Senja juga menghubungkan kalimat Lintang dengan respon Damai saat berada di pantai kemarin. Saat Damai tiba-tiba terdiam seribu bahasa karena sesuatu yang Senja sendiri tidak mengerti.
"Kalau kalian masih lanjut ngobrol mending kalian ngopi dulu deh di cafe atau dimana kek. Aku mau masuk!" Senja mulai sebal, terlebih lagi saat melihat kakaknya. Bicara panjang lebar tanpa henti. Namun tidak menjabarkan dengan baik jawaban dari pertanyaan Senja tadi.
Raya dan Lintang saling beradu pandang sebelum akhirnya tertawa. "Kak, Emak aku udah ngomel. Aku masuk dulu ya," timpal Raya cengengesan.
Lintang mengangguk. "Yaudah sana. Kita ngopi lain kali aja Ya," goda Lintang sambil menatap Senja.
Mereka berdua sudah tidak kaget dengan perangai Senja. Dia memang seperti itu. Kadang moodnya baik, kadang enggak. Dan tak ada yang tahu dipikirannya itu apa, karena dia itu pendiam. Jarang sekali mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Raya menggandeng lengan Senja masuk ke dalam sekolah. Berjalan menyusuri pelataran sekolah dengan tenang, karena Senja masih manyun dan tak begitu berminat bicara pada Raya.
"Nja, kamu kenapa sih masih pagi udah marah-marah? Pms? Mau menstruasi?"
Pertanyaan itu terdengar samar di telinga Senja. Konsentrasinya kembali pada sosok tetangga sebelah rumahnya yang kini berjalan sekitar dua meter di depan mereka sendirian. Sepertinya dia baru selesai parkir motor, batin Senja.
"Apa dia udah baik-baik saja?" Pertanyaan itu berkubang di dalam pikirannya selama berjalan di belakang Damai.