webnovel

Damai Jagad Nusantara

Yang sedang dibicarakan mengangkat sebelah tangannya. Menyapa seluruh siswa di kelas yang mulai hari ini adalah temannya. "Halo, nama gue Damai Jagad Nusantara. Kalian bisa panggil gue Damai. Gue pindahan dari Jakarta."

Bukan memperhatikan perkenalan Damai di depan, Senja justru melotot pada Raya. "Apa kamu bilang? Selebgram?" Senja memastikan bahwa telinganya tidak salah menangkap perkataan Raya barusan.

"Semua anak-anak kenal kali Nja. Kayaknya aku juga sering deh tunjukin foto dia ke kamu dari instagram aku," timpal Raya.

Tunggu sebentar! Senja mengingat-ingat sejenak. Jadi inilah jawaban dari pertanyaannya selama dua hari ini. Dimana dia pernah melihat Damai? Wajahnya memang familiar sekali. Jadi dari instagram Raya?

Ya, Raya memang sering sekali nyerocos perihal para laki-laki ganteng dari segala usia yang ada di media sosial. Tak jarang juga Raya bertingkah laku heboh hanya karena melihat sebuah foto. Senja jarang menggubris pembicaraan Raya mengenai profil, masalah hidup, gosip, dan yang lainnya tentang para pria itu, karena menurutnya itu bukan hal yang penting. Sekarang Senja ingat, beberapa kali Raya menunjukkan foto anak laki-laki yang katanya seumuran mereka, lengkap dengan berbagai informasi tentangnya. Dan itulah Damai, tetangga barunya itu.

"Semua anak-anak kenal? Dan semuanya heboh kayak kamu?" Senja menggeleng, menghela nafas sejenak. Meralat perkataan dari mulutnya barusan. "Maksudnya ngefans sama dia semua?" tanyanya.

Belum juga Raya membuka mulut, Senja sudah mendapatkan jawabannya. Para siswi di dalam kelas itu bersorak, menyambut perkenalan Damai. Riuh mulai terdengar, dan beberapa pertanyaan diluncurkan pada Damai yang berdiri di depan sana. Ada yang berteriak memuji kegantengannya, ada yang berteriak melontarkan selamat datang, dan ada juga yang berteriak menanyakan alamat rumah. Astaga, apa yang akan mereka lakukan jika tahu alamat rumahnya? Kenapa para siswi tiba-tiba histeris seperti itu.

Raya menatap tajam ke arah Senja. Lalu mengangguk pasti pada sahabatnya itu. "Iya. Kalau mereka tahu Damai pindah sekolah kemari, dan dia tetanggamu pasti sebentar lagi kelas kita bakal diserbu sama anak-anak dari kelas lain," seru Raya.

Senja mendesah pelan. Tatapannya mendadak lesu dan tidak bersemangat. Membayangkan banyak siswi yang bertingkah heboh seperti Raya sekarang, pasti akan menjadikan suasana kelas menjadi ramai sekali. Belum lagi kalau mereka tahu Senja adalah tetangga Damai. Apa yang akan mereka lakukan?

Senja menggeleng lebih keras lagi, tidak mau membayangkan hal itu lebih lanjut. Dia harus mencegahnya.

"Ya, yang tahu dia tetangga aku kan cuma kamu. Aku minta tolong ya, jangan kasih tahu yang lain." Senja menggosok-gosokan kedua telapak tangannya ke arah Raya. Memohon padanya. Setidaknya jika tidak ada yang tahu Senja tetangga baru Damai, tidak akan ada yang mengganggunya. Biarlah ruangan kelas ramai. Senja bisa belajar di perpustakaan, tapi jangan sampai ada yang mengganggu ketenangannya.

Raya mengangguk setuju. Dia tahu Senja tidak suka situasi berisik. dan Raya juga tidak ingin Sahabatnya menjadi tidak aman di dalam lingkungan sekolah. "Aku gak akan bilang siapa-siapa. Tenang aja." Raya mengacungkan kelingkingnya pada Senja.

Sudut bibir Senja terangkat. Tersenyum lebar pada sahabatnya itu. Dia lega mendengar janji Raya. "Makasih banyak ya," balasnya. Senja meraih kelingking Raya dengan kelingkingnya. "Kamu memang yang terbaik," seru Senja dalam bahasa jawa timuran. Menirukan logat jawa Raya. Bahasa sehari-hari mereka.

"Hei, hei kenapa kalian ini berisik sekali?" Pak Darmawan berseru dari depan kelas sambil mengetuk meja dengan penghapus papan tulis yang ada disana. Suaranya kembali mendominasi ruangan.

Para murid yang tadinya riuh menjadi tenang. Suasana kembali hening untuk sesaat.

"Ya sudah, Damai kamu duduk di bangku kosong belakang sana!" perintah Pak Darmawan sambil menunjuk bangku terakhir yang berada di deretan paling pojok ruangan. Karena hari ini adalah hari pertama masuk semester baru dan kelas baru, para siswa yang sudah lebih dulu datang, menempati bangku masing-masing yang diinginkan. Hanya bangku pojok yang tersisa untuk murid baru.

Damai mengangguk sopan pada Pak Darmawan. Kemudian melangkah ke pojok ruangan. Dia mengangkat sebelah tangannya kembali pada Senja saat melewati bangkunya, "Hai Senja, kita satu kelas," serunya pelan, dan senyumnya merekah. Lalu terus melanjutkan langkahnya. Untung saja tidak banyak yang menyadari hal itu, hanya satu orang yang melihatnya dengan jelas. Raya.

Sahabat Senja itu kegirangan melihat Damai, katanya seperti sebuah keajaiban melihat senyuman Damai dari dekat. Padahal bukan dia yang sedang diajak bicara, kenapa dia berlebihan lagi? Pikir Senja. Senja saja berharap semoga Damai tidak sok akrab kepadanya saat di sekolah. Mungkin akan lebih baik jika Senja tidak menanggapinya.

"Mbah Sani, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku pada Mbah," gumam Senja. Sambil tertunduk, dan berharap tidak akan ada yang berubah dari kehidupannya yang tenang selama ini. Atau dia bisa membantu Damai di rumah nanti. Ketika tidak ada siswi lainnya.

Jam pelajaran berlangsung lancar. Pak Darmawan Wali Kelas sebelas A sekaligus guru Bahasa Indonesia memberikan materi pelajaran pertama untuk hari ini. Sungguh tidak ada pengecualian ini hari pertama atau bukan. Pak Darmawan memberikan banyak sekali pelajaran materi dan tugas untuk dilakukan. Tidak berbeda juga dengan guru kedua, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Materi dan tugasnya tak kalah banyak. Cukup melelahkan, tapi Senja selalu menikmati kegiatan belajarnya.

Beberapa saat setelah jam pelajaran kedua selesai, bel jam istirahat berbunyi. Guru IPS segera mengucapkan salam untuk selesainya pelajaran mereka hari ini, dan keluar dari dalam kelas.

Sungguh situasi yang tidak pernah terbayangkan. Jika biasanya bel istirahat membuat para murid senang dan segera lari ke kantin. Kali ini tidak. Para siswi berlomba-lomba menyapa Damai. Mengajaknya bicara dan menanyakan beberapa hal yang membuat mereka penasaran. Damai masih duduk di tempatnya sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Ekspresinya datar, sesekali senyum ramah tersungging dari bibirnya, tapi dia tak mengucapkan sepatah katapun. Kelihatannya Damai sudah sering menghadapi situasi seperti itu. Dia tidak canggung atau merasa terganggu. Dia juga bisa mengatasi hal itu dengan baik tanpa banyak bicara lalu pergi dari kerumunan para siswi kelasnya.

Sedangkan Senja melangkah keluar kelas dan pergi ke kantin sendirian. Sudah bisa dipastikan Raya bergabung dengan para siswi lainnya menyapa Damai. Senja tidak berniat mengganggu kegiatan Raya atau memaksanya segera ke kantin. Biarkan saja, yang penting Senja aman dan makan siang dengan tenang.

"Senja."

Kantin berada di bawah. Di lantai pertama pada gedung yang sama bagian belakang. Senja sudah berjalan meninggalkan kelasnya sekitar sepuluh meter. Dia sudah sampai di depan kelas kedua dari pojok. Tapi langkahnya berhenti begitu dia mendengar seseorang menyebut namanya. Raya? Bukan. Itu suara laki-laki.

Di depan Senja, banyak para siswi berkumpul menatap ke belakangnya. Menatap ke arah suara yang baru saja memanggil nama Senja. Itu suara Damai. Senja membalikkan tubuhnya perlahan. Benar, Damai berjalan terus mendekat padanya. Sedangkan di belakangnya, tepat di depan kelasnya sudah berkerumun para siswi yang tadi mengerumuni Damai di dalam kelas. Banyak sekali mata yang memperhatikannya, baik dari depan maupun belakang. Lalu kenapa sekarang dia memanggil nama Senja dan berjalan ke arahnya? Oh, Damai. Tolong jangan berhenti, dan jangan mendekat!

Perkataan itu hanya menjadi sebuah kalimat terpendam dan harapan saja bagi Senja. kenyataanya sekarang Damai berhenti tepat di depan Senja. "Lo mau ke kantin kan? gue bareng ya," katanya pada Senja.