webnovel

Pesona Murid Baru

"Nja… hallo?"

Senja mengerjapkan matanya. Damai yang tadi mengatakan mau ikut pergi ke kantin bersamanya, masih disana. Tangannya melambai di depan mata Senja. Beberapa detik setelah Senja mendengar Damai menyelesaikan kalimatnya, pikirannya kosong seketika. Riuh suara para murid di sekitarnya juga membuat telinganya berdengung. Tidak. Senja tidak menyukai situasi seperti ini. Dia harus menghindari Damai untuk sekarang. Senja belum siap menangani gangguan dari siswi lainnya jika mereka tahu Damai adalah tetangganya.

Senja memaksakan senyumnya pada Damai. Kemudian menggeleng cepat. "Ah… aku mau ke perpustakaan Damai. Kantin siswa ada di lantai bawah, gedung ini juga. Di bagian belakang di depan lapangan sepak bola." Senja menjelaskan dengan detail untuk mempercepat percakapannya dengan Damai. Sebisa mungkin dia harus cepat pergi dari sana menyelamatkan diri.

"Nja, jadi ke kantin kan? Ayo aku udah laper!"

Tuhan mendengarkan harapan Senja. Raya datang dari belakang Damai, keluar dari kerumunan siswa yang berada di depan kelas mereka dan sejak tadi sedang memperhatikan, lalu berhenti persis di sebelah Damai. Senyumnya merekah riang. Dia tiba-tiba nyeletuk seolah-olah dia memang sudah janjian bersama Senja akan pergi ke kantin bersama.

"Damai mau ikut juga?" Kali ini Raya menghadapkan tubuhnya ke arah Damai, dan tersenyum sok akrab. Astaga, baru kali ini Raya terlihat begitu aneh di depan Senja. Senyumnya juga terasa sedikit dibuat-buat agar mereka terlihat akrab. Mungkin orang lain akan mengira tetangga baru Damai adalah Raya, bukan Senja.

Mata Senja mengamati Raya dan juga Damai secara bergantian.

"Nja…."

"Ah, ya. Kamu bisa ke kantin bareng Raya, Damai. Aku harus pergi ke perpustakaan segera. Ada hal yang harus kukerjakan."

Senja memotong perkataan Damai sebelum dia sempat mengucapkan lebih banyak kalimat. Kemudian secepat kilat memutar badannya, dan mempercepat langkah pergi dari sana. Kali ini giliran Senja yang menerobos kerumunan para siswa dari kelas lain yang tadi berada di belakangnya. Biarlah perutnya lapar, yang penting sekarang Senja harus segera pergi menghindari situasi ini. Menyelamatkan diri.

Damai memiringkan wajahnya, mengamati punggung Senja yang menghilang dengan cepat menembus kerumunan siswa di depannya. "Kenapa dia?" gumam Damai. Selama beberapa saat Damai masih menatap ke arah Senja pergi. Kemana gadis berkulit kuning langsat itu pergi? Apa dia tidak lapar menggunakan jam makan siangnya untuk hal lain?

"Dia memang lebih suka di perpustakaan kok Mai." Raya menyahuti.

Kali ini Damai baru memperhatikan Raya. Mereka belum berkenalan secara resmi. Damai juga belum paham betul dengan gadis berambut sebahu yang sekarang berada di sebelahnya itu. Tatapannya masih canggung, dan penuh tanya.

Raya sebagai gadis yang peka, dia tahu maksud dari tatapan Damai. "Ah, aku Raya. Teman sebangkunya Senja. Kalau mau ke kantin kamu bisa ikut aku, kebetulan aku juga mau kesana," ucapnya kemudian.

Damai mengangguk. Oke, Damai sudah tahu siapa dia. Mereka sekelas dan tidak ada salahnya mengikuti gadis yang ceria ini ke kantin sekolah, daripada Damai harus sibuk mencarinya sendiri. "Oke gue ikut."

Satu kalimat dari mulut Damai membuat hati Raya begitu berbunga-bunga. Sekarang dia merasa satu langkah lebih maju dibandingkan dengan banyak gadis yang sedang memperhatikan mereka. Senyum kebanggaan keluar dari mulutnya. "Let's go!" ajaknya. Tak bisa menutupi perasaan bahagianya sama sekali.

Tak sampai lima belas menit, Raya dan Damai sudah sampai di kantin. Kantin khusus untuk para siswa itu berada sekitar sepuluh meter di pinggir lapangan sepak bola. Kantin yang cukup besar, ada lima stand makanan yang berjajar di sana, Di bagian paling pojok, stand tempat penjual aneka minuman dan juga kasir. Dan di depan enam stand tersebut, ada meja dan kursi dengan jumlah yang cukup banyak, seperti pada kantin-kantin sekolah pada umumnya. Kantin yang cukup rindang, pikir Damai. Pohon-pohon tinggi menjulang di pinggir lapangan membuat suasana di sekitar kantin menjadi sejuk. Ya, slogan Malang Kota Dingin memang bukan hanya tulisan, di siang bolong seperti ini saja suasana jauh lebih sejuk dari kota-kota lain yang pernah di datangi Damai. Seperti Surabaya, Pasuruan, atau bahkan Jakarta.

"Kamu udah pernah makan Bakso Malang?" tanya Raya begitu melihat Damai mengedarkan matanya diantara stand-stand makanan yang ada di disana. Raya memang mudah sekali mengakrabkan diri. Baru sebentar saja dia sudah tidak canggung lagi berbicara pada Damai.

Damai mengangguk. "Gue udah beberapa kali di Malang, karena nenek gue asli orang sini, jadi udah beberapa kali sih makan itu," jawab Damai santai. Sambil terus menelusuri menu makanan di setiap stand yang ada.

Raya mengangguk-angguk. "Oh, jadi nenek kamu kamu asli orang sini, orang daerah mana?" tanyanya.

Belum sempat Damai membuka mulutnya untuk menjawab Raya, karena matanya berkali-kali terpaku pada beberapa menu makanan yang berada disana. Sepertinya belum pernah dicoba dan memiliki nama yang cukup unik baginya. Nama makanannya yaitu orem-orem, yang berada di stand ketiga dari pojok kiri.

Ada tiga siswa laki-laki sebaya dengannya, datang menghampiri mereka. Salah satunya langsung melingkarkan tangannya di pundak Raya. "Raya, kok tumben gak sama Senja?" celetuk anak laki-laki tersebut. Rambutnya cepak, rapi, dia juga memiliki kulit yang cukup bersih, hanya saja bajunya sedikit berantakan. Meskipun sama seperti Damai, yang sudah mengeluarkan bajunya dari dalam celana, tapi anak laki-laki itu memakai baju yang sedikit kebesaran dari ukuran tubuhnya. Kedodoran.

Raya tersenyum masam. "Aska… dia murid baru di kelasku," timpalnya. Wajahnya sedikit berubah dari yang tadinya ceria menjadi lebih berhati-hati menjawab pertanyaan anak laki-laki bernama Aska tersebut.

Aska mengalihkan pandangannya. Dari wajah Raya ke wajah Damai. Mengamatinya dari rambut sampai kaki. "Aska," katanya. Tangan sebelahnya disodorkan pada Damai, sambil menatap tajam ke arahnya. "Pacarnya Raya," sambungnya. Penuh penekanan. Tangannya tetap melingkar di pundak Raya. Seolah memberi kode, "Dia milikku" pada Damai.

Raya menghembuskan nafasnya kesal. Disaat seperti ini, rasanya dia menyesal sudah memiliki pacar. Kalau tidak, mungkin kesempatan untuk dekat dengan Damai sang idola baru bisa lebih besar. Sekarang, hancur sudah seketika gara-gara Aska. Lagi pula mereka masih kelas sebelas, kenapa juga dia sudah pacaran, pikir Raya menyesal. Mendustakan segala hal yang sudah dilakukan bersama Aska selama enam bulan terakhir, padahal katanya waktu itu Raya bahagia.

Raya mencubit pinggang Aska. membuat tangan yang melingkar di pundaknya itu turun dari sana. "Apaan sih," sahutnya pada Aska. "Malu-maluin!" Raya melotot pada Aska.

Damai menjabat tangan sebelah Aska. Menghiraukan reaksi Raya. "Damai," jawabnya santai. "Tenang aja, gue cuma minta tunjukin kantin kok gak lebih," imbuhnya. Damai menjawab kode yang ditunjukkan padanya tadi. Bahwasannya dia juga tidak akan menyentuh milik Aska.

Aska tersenyum lebar pada Damai. Menghindari Raya yang sekarang masih melotot padanya. Dia pasti merajuk, karena sikap Aska barusan. Lebih baik sekarang Aska menyelamatkan diri dari amukan Raya. Sebenarnya wajahnya menggemaskan disaat seperti itu, tapi amukannya pasti panjang kali lebar. Lebih baik Aska menghindar.

Aska beralih berdiri ke sebelah Damai. "Kalau gitu, setelah makan di kantin ayo aku tunjukin hal-hal unik lain di sekolah ini bro!" ajaknya.

Damai mengangguk. Membalas senyuman Aska dengan santai, tidak masalah. Kalau begitu dia adalah teman laki-laki pertama Aska di sekolah ini. "Boleh," balasnya. Damai juga tidak sabar menantikan hal unik apa yang akan ditunjukkan Aska padanya. Beberapa detik kemudian, Damai berkenalan dengan kedua teman Aska lainnya. Lalu mereka berempat berjalan menuju stand makanan dengan menu makanan yang menarik perhatian Damai sejak tadi. Orem-orem. Stand ketiga dari pojok kiri.

Raya menghembuskan nafasnya kasar. Empat orang laki-laki di depannya itu berjalan dan bicara dengan asik satu sama lain. Aska yang memang menghindari amukan Raya juga memilih untuk sementara waktu tidak menggubrisnya siang ini. Dan harapan untuk lebih dekat dengan Damai sudah pupus seketika, hancur lebur dipecahkan oleh kalimat Aska, dan juga jawaban pasti dari mulut Damai. Raya terus menggerutu dan ngedumel di belakang mereka. "Rasanya pengen putus," batinnya kesal.