webnovel

8

Aku dan ibu sudah berada di bandara. Bertepatan hari ini ayah juga ada jadwal untuk ke Belanda, sebenarnya bukan tanpa disengaja, ayah mengatur semua ini agar dia dapat mengawasi kami.

"Nad, kita masih ada waktu, kamu yakin?" aku mengangguk dengan sangat percaya diri.

Memang tidak ada lagi yang harus aku lanjutkan di sini, semuanya sudah selesai. Rasa itu, perih, luka, atau mungkin bahagia yang kuterima harus rela kutinggal di sini saja tidak akan kubawa ke sana. Kenangan-kenangan itu sudah hilang bahkan sejak setahun yang lalu.

Kalau memang tidak mampu aku untuk memulihkan ingatan, setidaknya dengan waktu yang tersisa ini aku berusaha menorehkan hal-hal indah di Belanda.

Mungkin ini cara Tuhan menjawab semua pertanyaanku selama ini. Selama ini hidup mungkin hanya tentang kesedihan maka dihilangkannya ingatanku karena memang tidak ada yang perlu diingat dari masa lalu yang penuh luka.

"Nad, apa gak lebih baik kita beritahu Qafka aja, setidaknya dia bisa melepasmu dengan keadaan yang baik. Persahabatan kalian bukan dalam kurun waktu yang sebentar!"

"Bu, Qafka tahu apa yang terjadi padaku dan bagaimana cara untuk menyikapi kepergianku. Bahkan sebelum hari ini, dia sudah memutuskan untuk pergi duluan. Karena dia tidak pernah benar-benar di sini. Aku sudah kehilangan dia bahkan jauh sebelum aku kehilangan kenangan bersamanya. Dia tidak pernah berpamitan dengan kenangannya, bu." Ibu memeluk dengan sangat lembut, aku tahu sebenarnya ibu juga terluka melihat anaknya seperti ini.

Kini aku berada di dalam pesawat. Meninggalkan semuanya. Tanpa aba-aba air mata kembali menetes. Sekali lagi, aku hanya hilang ingatan bukan berarti perasaanku terhadap kenangan itu juga hilang. Aku hanya perlu berdamai dengan keadaan, mengikhlaskan semuanya.

Mungkin ada hal yang belum selesai di sini tapi aku sudah meninggalkan di bandara, aku tidak mau membawanya ke Belanda itu semua terlalu menyesakkan. Aku akan pulang, entah untuk menyelesaikan semuanya atau memulai dengan rasa yang tak pernah sama.

Empat belas jam sudah berjalan di antara awan dan udara, dengan segala rasa yang masih ada. Bisa atau tidak semoga di sana ada yang hilang dan datang. Bukankah yang patah akan tumbuh dan yang hilang akan kembali, siapa pun kamu yang telah melumpuhkan hati dan ingatanku, kita akan bertemu untuk waktu ini dan mungkin waktu yang akan datang.

"Nad, kamu capek?"

"Engga, bu. Ayah mana?"

"Masih ada yang harus diurus, kita duluan aja ya. Ibu telepon mas dulu, ya," Aku mengangguk seraya mengiyakan pernyataan ibu. Lelah sekali harus memulai dan membentuk kenangan-kenangan baru.

Ibu menuntunku untuk berjalan ke pintu keluar, kulihat raut wajah lelah darinya. Mungkin akan lebih baik jika aku mengingat kenangan itu, setidaknya orang-orang terdekatku saja. Bandara Schipol ini bisa jadi penghubung antara aku dan semua kenanganku yang hilang.

Kami memasuki halaman depan rumah mas Aga, tidak lebih besar dari rumah yang di Indonesia tapi ini akan sangat cukup untuk kami. Apalagi, rumah ini pasti sangat mahal karena tepat berada di pusat kota, Amsterdam. Karena segala kecerdasan Mas mampu menyelesaikan kuliahnya dan bekerja di sini, dia bilang akan pulang ke Indonesia ketika sudah membaik, jahat sekali, bukan? Bahkan, merugikan negara sendiri. Harusnya Mas sudah pulang ke Indonesia dan menerapkan ilmu yang dia terima di sini untuk kemajuan negaranya sendiri.

"Nad, kamu istirahat dulu di kamar ya, kamu pasti capek sudah melakukan perjalanan berjam-jam."

"Iya bu." lama dalam perjalanan membuatku semakin sadar bahwa ini adalah yang terbaik. Jarak sudah sangat jauh dan perasaan itu juga sudah kutinggalkan.

***

Angin menerobos masuk melalui jendela kamar, merasakan angin datang bersama sinar kuning keemasan. Indah sekali. Tidak salah jika aku menginginkan negara ini sebagai pelarian. Lalu lalang kenderaan yang ingin segera sampai ke rumah menjadi pemandangan tambahan yang menyenangkan. Kota ini tampak sangat padat tapi terlihat hangat.

"Nad, sudah bangun?" aku membalikkan badan, ternyata ibu sudah berada di kamar dengan senyum tulusnya.

"Bu, bagus pemandangannya."

"Masmu gak pernah salah pilih, kan? Bahkan selera adiknya aja dia tahu."

Ternyata ini keluargaku, keluarga yang diinginkan oleh semua orang. Dengan materi yang sangat cukup dan saling menyayangi walau tidak akan pernah ada yang ingin kisah cintanya sama denganku.

Malam ini ingin rasanya aku berjalan-jalan untuk melihat lingkungan sekitar rumah tapi ibu melarang, katanya dulu aku adalah petualang sejati yang boleh pergi ke mana saja tanpa ada larangan tapi tidak untuk kali ini. Tempat ini masih sangat baru dan ditambah lagi dengan keadaan diriku yang belum sepenuhnya sembuh. Jadi, aku hanya masuk ke kamar dan berdiri tepat di mana aku melihat matahari sore tadi.

Rumah kami ini memang terdiri dari dua lantai dengan tiga kamar tapi satu kamar di bawah digunakan mas Aga untuk ruang kerjanya, tempat dia membaca dan menyelesaikan tugas. Jadi, aku tidur dengan ibu dan ibu sudah tidur dari tadi. Aku tahu dia lelah setelah perjalanan selama itu dan tadi dia juga langsung berberes.

Di kota ini bisa tidak ya aku bertemu denganmu lagi? Dengan seseorang yang aku lupa bagaimana rupanya. Kamu di sini juga atau sedang berada di frekuensi lain? Mungkin tidak ketika aku berjumpa denganmu nanti semua kenangan indah itu kembali hadir atau malah luka ini akan semakin berair? Aku berharap kau bisa merasakan ini, rasa yang tidak tahu kapan akan mati. Bulan di atas sana kenapa bersinar terang sekali, apa dia sedang memamerkan diri karena tidak pernah ditinggalkan langit pekat?

Tanpa kau sadari aku juga sedang menangis menunggu kapan waktu menyuruhku untuk pulang. Aku menyiksa diriku sendiri. Kalau kau sedang melihat bulan berarti kita satu frekuensi. Ungkapan seorang laki-laki yang juga sedang menunggu malam melipat kelam.

***

Setelah salat subuh, aku segera turun untuk membantu ibu menyiapkan sarapan. Pagi ini sudah dijadwalkan untuk pergi ke rumah sakit menemui dokter yang akan menggantikan dokter Adri, kenapa harus ke dokter sementara rasa sakit itu akan hilang kalau kita berbahagia, bukan?

"Nad, kamu nurut apa yang ibu perintahkan ya, jangan bandel!" perintah mas Aga sambil menuang susu ke gelasnya.

"Mas, kapan Nadir diajak jalan-jalan?"

"Untuk satu bulan ini Mas akan kerja sampai malam bisa jadi gak pulang. Tapi Mas akan usahakan ya Nad," Aku mengerti bagaimana sulitnya pekerjaan mas Aga, bekerja di kementerian bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, pada awalnya Ibu menentang dan takut pada persaingan di luar negeri.

Setelah Mas pergi, kami juga pergi ke rumah sakit yang dikatakan oleh dokter Adri. Ayah ternyata sudah berangkat pagi sekali, ibu bilang, ayah sempat masuk ke kamar dan mengecup keningku sambil menangis. Membayangkan keadaan ayah pagi tadi membuat dadaku semakin sesak. Dia pasti merasa sedih melihat anak perempuannya mengalami masa sulit seperti ini. Ayah, maafkan Nadir, ya.

Kami sudah memasuki wilayah rumah sakit. Tempat yang tidak ada satu pun manusia ingin berkunjung ke sini. Walau diawali dengan kata rumah tapi berujung kata sakit. Rumah yang memiliki makna menyenangkan akan berubah menyedihkan ketika didampingi dengan kata sakit. Sudah jelas tidak ada yang ingin mengindahkan tempat berbau etanol ini.

Ibu menggandengku hingga ke pintu masuk, rumah sakit ini sangat berbeda dengan rumah sakit di Indonesia, di sini lebih besar, tapi bukankah itu akan semakin menyedihkan ketika rumah sakit semakin besar maka akan banyak orang yang tersakiti di sini. Termasuk aku.

"Excuse me, I have agreement with Doctor Genta. He's here?"

"Yes. Are you madam Naim Ismail?"

"Yes, I'm."

"Please, follow me. I will take you to him."

Ibu terlihat berbicara dengan perempuan berambut pirang itu. Wajahnya terlihat sangat manis dan memiliki mata yang indah. Perempuan di sini terlihat cantik semua. Kami mengikuti perempuan tadi, dan ibu juga tidak melepaskan genggamannya padaku. Bu, aku tidak akan menghilang seperti ingatanku.

Kami sudah berada tepat di depan pintu ruangan yang bertuliskan "Genta Muhammad" tapi aku tidak sempat mengeja tulisan di bawahnya, terlihat seperti bahasa Inggris padahal membaca dalam bahasa Indonesia saja aku masih kewalahan.

Perempuan berambut pirang tadi sudah keluar dan menyisakan aku, ibu dan laki-laki yang sedang memperhatikanku tanpa berkedip, dokter ini tidak sama dengan dokter Adri yang sangat lembut. Mata laki-laki ini tajam sekali, bagaimana bisa di jagat raya yang seluas ini tidak ada satu pun tempat yang bisa membuatku nyaman.

"Ehm, dengan ibu Naim, benar?"

"Benar, Dok. Kata dokter Adri anda yang akan menggantikan dia selama kami di Belanda, iya kan? Untuk terus mengawasi kesehatan dari Nadir."

"Iya bu. Saya juniornya sewaktu kami menempuh pendidikan di sini. Semenjak dia menikah akhirnya dia menetap di sana. Dia sudah menjelaskan apa yang dialami oleh Nadir."

"Ah, iya. Saya bingung harus bagaimana lagi. Belum ada perubahan yang signifikan."

"Sebenarnya itu semua hanya tentang waktu, bu. Dan dia juga harus berusaha untuk mengingat semuanya."

Aku tidak tertarik dengan semua percakapan mereka. Ingin sekali aku lari dan menikmati kota ini. Karena dari awal aku membuka mata yang kulihat hanya dinding rumah sakit, bahkan saat di Belanda pun aku hanya melihat dinding rumah sakit, lagi.

"Nad, kamu mau keluar?" Aku mengerutkan kening sambil terus menatap laki-laki berjas putih itu, "Saya akan bawa kamu keliling kota kalau kamu mau membuat perjanjian dengan saya."

"Perjanjian apa?"

"Wah, responmu bagus sekali..."

Aku memalingkan wajah. Kata ibu, dokterku di Belanda akan lebih menyenangkan dari dokter Adri tapi kenapa malah semakin buruk. Meskipun dokter Adri sudah menikah dia tidak pernah kasar terhadapku. Tapi, laki-laki ini wajahnya saja terlihat angkuh.

"Mau buat perjanjian tidak?"

"Apa perjanjiannya?"

"Kamu harus mengikuti perintah saya. Maka, saya akan bawa kamu ke tempat mana saja yang ingin kamu kunjungi, asal jangan ke luar angkasa karena saya tidak punya paspor luar angkasa."

Ibu memperlihatkan gigi serinya untuk menanggapi apa yang dibicarakan oleh laki-laki itu, tapi tidak denganku. Aku berpikir lagi. Memangnya dia siapa mampu memerintahku, ibu saja tidak pernah melakukan itu. Tapi, kalau aku tidak mengiyakannya aku akan semakin terpuruk dengan keadaan ini, kalau aku menunggu mas Aga bukankah akan semakin lama.

"Baiklah aku setuju. Asalkan ibu juga setuju." Aku melihat ke arah ibu dan berharap dia mempertimbangkan jawabannya dengan benar.

"Ibu setuju. Dokter pribadi kamu ini tidak akan mengecewakan, iyakan Nak Genta?"

"Ah, iya iya bu."

Kami memutuskan pulang setelah hampir satu jam melakukan konsultasi. Katanya aku hanya perlu bahagia dan mulai lagi belajar serta memiliki buku atau catatan untuk menuliskan setiap hal yang sudah kulalui. Jadi, ketika aku melupakan sesuatu maka buku itu bisa jadi pengingatnya.

"Bu, Nadir bosan jika berada di rumah terus. Kita jalan-jalan saja ya?"

"Ibu sudah mulai lupa dengan jalanan di sini, Nad. Nanti kamu juga akan diajak pergi sama nak Genta, kan?"

"Ah, Nad gak mau sama dia! Sama ibu aja, ya?"

Ibu tidak menjawab apa-apa dan pada akhirnya rumahlah tujuan satu-satunya. Padahal ingin sekali aku berjalan menyusuri kota. Untungnya, ketika aku di rumah maka ada yang bisa kulakukan. Aku akan mencoba belajar lagi, ibu sudah memberi kamera agar setiap kali hal yang kulihat bisa kufoto dan bisa menjadi cara untuk mengembalikan memoriku.