webnovel

5

"Nad, kamu jangan kasar gitu. Siapa aja boleh panggil ibu begitu, pak Karyo aja manggilnya ibu!" kata ibu sambil menuangkan lagi nasi goreng ke piring ayah.

"Ayah mengenal dekat ayah Deka, teman ayah waktu SMA tapi karena kita sama-sama sibuk, jarang ketemu apalagi untuk saling mengenal antar keluarga. Makanya kemarin waktu ayahnya Deka mengabari Ayah mau menyekolahkannya di sini ayah langsung setuju. Hitung-hitung mempererat tali silaturahmi. Itu sebabnya rumah dia juga gak jauh dari rumah kita. Bersikap baik sedikit, Nad." Aku langsung merasa sedih karena nada bicara ayah yang sedikit tinggi, aku jarang dibentak dan hari ini ayah melakukan itu demi membela laki-laki ini. Jadi, selama ini ayah dan ibu mengetahui apa yang dilakukan Deka? Oh Tuhan.

Fakta baru bahwa Deka tinggal sendirian di rumahnya karena dia memang anak tunggal yang kedua orang tuanya sedang berada di Malaysia. Itu sebabnya dia bisa berteman dengan anak-anak pantai dan dalam waktu singkat dia mampu dekat dengan warga setempat. Bahkan aku yang sudah lima tahun di sini saja tak pernah tahu bahwa ada kampung yang seindah dan searif itu, tapi Yogya memang terkenal ramah pada semua orang.

"Sejak kapan kamu mengetahui keberadaan kampung nelayan itu?"

"Aku di sini sudah dua bulan, tapi kuhabiskan sebulan untuk mengamati tempat tinggalku. Dan tanpa sengaja aku menemukan kampung itu. Merasa nyaman di dalamnya, dan Sultan adalah orang pertama yang membawaku ke sana. Aku dan Sultan bertemu ketika dia baru saja membeli buku bacaan bersama empat orang temannya, kemudian dia sadar dengan keberadaanku. Singkatnya dia menerima kedatanganku, dia menceritakan tentang negeri dongeng yang ingin dibuatnya. Dengan meminta persetujuan dari warga di sana akhirnya aku diperbolehkan membangun gubuk dan rumah pohon itu dengan tujuan memberi mereka hiburan dan pelajaran. Mungkin aku tidak bisa berbuat banyak untuk mimpi-mimpi mereka, setidaknya aku bisa membantu mereka untuk membuka dunia yang tidak hanya tentang ikan, pantai dan laut. Ada dunia yang mau tidak mau mereka harus terima. Bisa saja nanti akan menggilas kegiatan mereka perlahan-lahan. Tapi bukan berarti memaksa mereka untuk meninggalkan rumahnya, dia bisa pulang setiap kali dia ingin. Merawat kampung juga perlu ilmu."

Mendengar penjelasan panjang dari Deka aku merasa seperti manusia yang tidak ada artinya lagi. Aku terlalu sibuk memenangkan perasaan sekecil ini sementara masih ada orang-orang yang tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar rumahnya. Deka, andai saja kita bertemu lebih awal, mungkin perasaanku bisa lebih sehat.

Akan lebih baik untuk menerima kedatangan Deka, saat ini, menjadi teman bukan hal yang buruk, bukan? Akan berbeda rasanya jika dibandingkan saat bersama Qafka, setidaknya untuk sembuh dari patah hati aku perlu teman agar lebih hidup.

Ibu menyuruhku untuk mengantar Deka pulang, mungkin maksud ibu adalah menyuruh aku menemani Deka seharian ini. Tapi bukan Nadir namanya kalau bersikap ramah kepada semua orang. Aku tidak mengantar Deka, sengaja aku pergi membeli cokelat ke minimarket dan membiarkan dia pulang sendirian.

Aku berjalan ke barisan cokelat, membeli beberapa lalu menambahkan jajanan lainnya. Dengan santainya aku mengunyah permen karet namun berhenti secara tiba-tiba. Laki-laki itu di hadapanku, dia yang menemaniku sedari kecil ini, tepat di depanku sedang tertawa dan menunjukkan gingsulnya bersama perempuan itu. Tuhan, kenapa harus sekarang, bahkan lukaku belum sembuh sepenuhnya, kini malah semakin menganga.

Buru-buru aku membayar dan menutup wajah dengan masker tapi ia sudah mengenaliku, dan terjadi, "Naddd…"

"Ahh, iya." Jawabku, berusaha untuk tetap santai dan tidak emosional.

"Kamu cari apa?" aku mencari kepingan hatiku yang hilang Ka, iya, kamu. Ingin sekali aku mengatakan itu tapi tak mungkin, "Aaaku… beli cokelat." sambil mengambil cokelat dari plastik dan memperlihatkan padanya. Rasanya ingin sekali memelukmu Ka, tapi kamu terlalu jauh bahkan tidak ada satu pun alat yang mampu mengukur seberapa jauh jarak yang telah kamu ciptakan dan aku tak tahu harus dengan apa kutebas jarak ini.

Sebelum hatiku menjadi remahan lebih baik aku pergi saja "Maaf ya Ka, Put, aku harus pulang. Ayah dan Ibu menunggu di rumah. Aku duluan ya." Tanpa persetujuan dari mereka aku pergi begitu saja. Terserah apa yang mereka pikirkan, yang jelas inilah caraku untuk menghindari luka tak berdarah. Inilah alasan kenapa orang yang lebih dulu mengaku suka akan selalu kalah, bahkan dengan egonya sendiri.

Pandanganku terlihat mengabur dan akan turun hujan tapi hanya aku yang merasakan betapa deras dan menyakitkan setiap rintiknya. Harus kuselesaikan semua ini, sesegera mungkin.

***

ayah dan ibu bingung melihat aku yang menangis dan bahkan tak menggubris pertanyaan mereka. Seolah merasa aneh pada sikapku akhir-akhir ini, ibu masuk ke kamar untuk menyusulku kemudian membuka pintu yang memang tidak kukunci.

"Ternyata benar, jika usia seseorang semakin tua maka ia punya banyak rahasia bahkan terhadap ibunya sendiri."

Aku tidak menjawab pertanyaan ibu dan langsung memeluknya, dia tahu anaknya sedang dalam keadaan tidak baik. Lama kami terhanyut dalam suasana sedih ini. Aku membuka suara yang masih kedengaran serak.

"Nad merasa harus menutupi semua ini. Tapi perasaan itu malah semakin besar."

"Itulah yang dari awal ibu juga takutkan. Karena tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak menimbulkan perasaan, dan biasanya perempuanlah yang kalah dalam hal ini."

"Ibu tahu maksud Nadir?"

"Nad, tanpa kamu beritahu ibu juga akan tahu dengan sendirinya. Kamu salah satu alasan ibu kenapa masih terus tersenyum bahkan dalam keadaan yang sulit. Ibu memahamimu nak. Kalau kamu tidak mampu menahan semuanya, nyatakan. Jangan kamu pikir ketika kamu menyatakan perasaan akan membuat persahabatanmu berakhir, buktinya sekarang, ketika kamu mendiamkan perasaan itu, yang ada malah kalian seperti orang asing tak saling mengenal. Siap atau tidak, kalian akan berakhir, entah itu dimakan usia atau dimakan egois yang kalian pelihara."

Ibu, setiap kata yang kaurangkum menjadi kalimat, sudah tidak bisa kucerna lagi. Aku malah semakin menjadi-jadi. Bagaimana aku mengatakan semuanya jika mendengar namanya saja luka ini semakin menganga.

***

Setelah percakapan bersama ibu siang tadi, aku perlu sendirian untuk mengembalikan energi. Apa yang ibu katakan benar. Kalau aku tak mampu mengatakan dan masih bisa menyembunyikan, aku harus menjadi teman tanpa membuat jarak. Karena merelakan memang tak butuh apa-apa, selain penerimaan bukan?

Sambil terus melihat ke luar jendela, menanti matahari untuk pulang ke peraduannya. Ada yang memanggil namaku dan dia adalah laki-laki yang beberapa hari ini memberikan semangat baru.

"Nad, sepedaan yuk. Kamu perlu udara baru. AC kurang bagus untuk kesehatan." Sambil mengerutkan kening, menerjemahkan kata demi kata yang Deka teriakkan. Benar, aku juga sudah lama tidak bersepeda.

Sambil menuruni anak tangga tanpa sadar bibirku membentuk bulan sabit. Deka dan keanehannya membantuku keluar dari pengapnya ruang patah hati. Debu yang menempel pada sepedaku diusap pelan lelaki ini "Sudah lama sekali aku tak menaiki ini." ucapku lirih sambil mengingat kenangan terakhir aku menaikinya. Akhir masa SMP, saat Qafka mengajak membeli bakso di ujung gang rumahku. Banyak sekali kejadian dalam hidupku yang selalu ada namamu Ka, bagaimana bisa aku melupakan itu semua sementara sebagian dari masa laluku adalah kamu?

"Jangan kelamaan mikir, nanti telat. Mau ikut gak?"

"Kamu sebenarnya niat gak sih ngajakin aku? Sabar dong,"

"Yang kamu lupakan itu perasaannya, bukan dia atau kenangannya apalagi cara naik sepeda. Atau kamu memang lupa cara menggowes sepeda?"

Apa yang baru saja diucapkannya itu ada benar dan tidaknya. Apalagi kalimat terakhir, mana mungkin aku lupa caranya, "Lomba sama kamu aja aku berani!"

Kami mulai menggowes dengan santai, tidak terburu-buru. Deka meminta aku untuk tetap di belakangnya karena dia akan membawa ke tempat menyenangkan, lagi. Mengingat kemarin dia memberitahukan tentang negeri Sultan, harusnya tak perlu ragu. Padahal dia baru saja pindah tapi kenapa begitu hafal tentang lingkungan sekitar.

Kami baru saja sampai. Sebuah taman yang hampir sama dengan taman kebanyakan, bedanya di sini sedikit lebih tinggi dari taman lain yang terkesan datar. Rumput-rumput hijau tanpa bunga.

"Ini tempat apa?"

"Mungkin terdengar aneh, tapi aku sering ke sini. Walau hanya duduk diam. Melihat matahari tenggelam di sini memang tak seindah pantai di daerah rumah Sultan tapi kalau aku ajak kamu ke sana nanti malah jadi capek banget, di sini gak jelek-jelek amat kok. Masih bisa dinikmatilah. Kan mataharinya tetap satu yang membedakan hanya dengan siapa kamu menikmatinya."

Apa yang berusaha kauberikan padaku itu sangat menarik De, kaumasih berusaha untuk memberi keindahan yang selama ini tak pernah kusentuh. Mulai sekarang kita bisa berteman baik.

Langit petang itu semakin memerah. Akhirnya aku bisa menghabiskan hari ini dengan akhir yang baik. Karena sejak pagi aku sudah mengalami kesulitan yang kubuat sendiri. De, kita harus bertemu lagi, besok, lusa dan hari-hari berikutnya.

***

"Bu?"

"Kenapa?"

"Mungkin tidak perasaan itu berlalu dengan secepat ini?"

"Sebenarnya tanpa kamu berusaha untuk menghilangkan, rasa itu akan tetap hilang karena kecewa yang sangat dalam." Ibu benar, rasa ini menyusut bukan karena ada pihak lain tapi karena diriku sendiri. Aku sudah kecewa terlalu banyak.

"Kapan ya, Nad bisa benar-benar berdamai dengan keadaan?"

"Saat kamu berpikir bahwa melepaskan adalah satu-satunya cara untuk mencintai." Semua orang berhak mencintai dan memperjuangkan perasaan. Jatuh cinta adalah hal yang paling sulit dilakukan manusia di muka bumi ini, kalau kau merasa lemah jangan coba-coba untuk jatuh cinta. Cinta memang tak masuk akal.

Malam telah berlalu dengan singkat dan langit kembali biru. Selamat pagi bumi, hari ini kita harus berteman baik ya. Ada hal penting yang harus aku sampaikan pada Ayah dan Ibu, kumohon padamu, cukup perasaanku saja yang tidak kaurestui cita-citaku jangan.

"Selamat pagii,"

"Selamat pagi. Jangan naik bus hari ini ya, ayah saja yang antar."

"Oke. Tapi, ayah harus ingat kalau mobil itu berbeda dengan pesawat."

tawa kami pecah mengisi ruang makan pagi ini. Semoga awal yang baik ini akan menyertai ketika kalimat itu meluncur dari mulutku. Semesta, sekali lagi, restui ya.

"Ayah, ibu. Nadir boleh bicara?"

"Sesuatu yang serius?" Mendengar jawaban ayah saja sudah membuat jantungku hampir copot dari tempatnya, aduh bagaimana kalau jawabannya tidak?

"Nadir ingin ke Holland!" ayah menghentikan aktivitas sarapannya, ibu juga langsung menoleh ke arahku. "Bukan untuk liburan atau menjenguk mas Aga, tapi untuk melanjutkan semuanya di sana!"

Satu detik, dua detik, tiga detik dan diam mereka adalah jawaban. Itu artinya tidak. Seharusnya aku siap dengan tanggapan seperti ini, aku ingat betul bagaimana penolakan keras ibu ketika mas memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sana. Kepergian mas Aga ke sana juga ingin lari dari perasaanya sama seperti aku sekarang.

"Dengan jurusan yang sama?"

"Iya yah. Kalau kita tidak mampu memperjuangkan suara rakyat kecil setidaknya kita mampu mengobati lukanya. Begitu kan?"

"Kalau ibu dokternya cantik kayak anak ibu begini sembuhnya pasti lebih cepat."

Aku lega mendengar jawaban ayah dan ibu yang menyetujui permintaanku. Ini benar-benar di luar dugaan, aku harus berusaha lebih keras dan bisa mempertahankan peringkat pertama hingga akhir semester nanti.

Biasanya hal-hal besar seperti ini aku selalu menceritakan pada Qafka, tapi untuk kali ini kuputuskan untuk tidak memberitahunya, mungkin besok atau lusa atau tidak sama sekali. Dia juga tidak akan merasa kehilangan aku, bukan?