Situasi sudah semakin baik. Aku sudah tidak menangis lagi dan napas Deka juga tidak lagi terburu-buru. Kami masih di tempat yang sama. Aku bertekad untuk mengakhiri hari ini. Deka masih menggenggam tanganku. Dia diam sambil mengulum senyum, tapi kutarik pelan tanganku dan dia langsung menoleh,
"Kamu akan pergi lagi, kan? Ke mana? Aku boleh ikut?"
Dia menjawab dengan senyuman, sudah jelas, aku memilihmu, Deka. Bagaimana nanti aku menjelaskan pada Genta itu urusan belakangan. Untuk hari ini, aku ingin menikmati waktu bersama Deka. Maafkan aku, dari awal aku sudah mengatakan bahwa semuanya akan sia-sia untukmu, Genta.
***
Kami sudah berkumpul dengan anak-anak. Sultan menceritakan bagaimana kebahagiaanya ketika menjadi inspektur upacara di sekolah. Tampak dari sorot matanya yang berbinar-binar dan penuh suka.
"Besok kak Deka bawakan hadiah buat Sultan, ya. Bola kaki baru untuk main sama temen-temen."
"Yey… terima kasih kak Deka!" sorak mereka bersamaan dengan ucapan terima kasih yang sangat meriah. Ini yang membuatku merasa bahagia karena kamu memang sumber kebahagiaan, bahkan untuk anak-anak.
Hari semakin sore, setelah Deka dan anak-anak lainnya salat kami memutuskan untuk makan jajanan bersama-sama. Ini sungguh berhasil, Belanda memberikan aku kebahagiaan yang mewah tapi di sini, aku paham apa itu sederhana. Tertawa dan belajar.
Aku dan Deka memutuskan untuk pulang sebelum hari semakin mendung. Sekarang, cuaca memang tidak bisa ditebak, pagi dengan matahari ternyata sore dengan mendung, lagi. Kami tidak terlalu mempercepat langkah, masih dalam suasana yang senang. Aku kembali membuat atmosfer di sekitar kami memanas.
"Untuk kedua kalinya, kamu akan pergi ke mana?"
Diam, Deka tidak mengatakan apa pun dan terus saja melangkah. Lama kami diam dan dia berhasil menjawabnya, "Belanda." Satu kata itu berhasil menghipnotis dan membuat langkahku terhenti. Kenapa itu lagi dan lagi?
"Nad, aku tidak pernah merencanakannya. Semua berjalan sesuai kehendak Tuhan. Kalau, pada akhirnya kamu tidak denganku, mungkin kota kebahagiaanmu bisa menemaniku."
"Apa kamu pikir aku pernah bahagia di sana? Aku menderita karena bukan kamu yang bersamaku!"
"Jadi, jika kita bersama-sama di sana, apakah itu akan tetap menjadi kota kebahagiaanmu?"
"Kamu tahu jawabannya, Deka. Seharusnya kamu sadar itu saat pertama kali aku menatap matamu, lagi."
Kami, berusaha untuk menjadi manusia yang mempertanggungjawabkan perasaan. Yang masih aku pikirkan adalah laki-laki di sana. Apa dia sudah tahu kalau akhirnya akan seperti ini.
Sekarang, Deka sudah mengantarku sampai ke rumah. Dia juga memutuskan untuk langsung pulang setelah berpamitan dengan ibu dan mas Aga. Belum sempat aku menaiki tangga untuk naik ke kamar, ibu membuka pembicaraan yang membuat kakiku berhenti melangkah.
"Setiap orang akan sangat bahagia ketika cintanya sudah kembali. Genta sudah bilang ke kamu, kan? Kalau dia akan menetap di sana jika kamu tidak memilihnya."
"Nad sudah putuskan, bu, untuk memilih Deka dan melepaskan Genta." setelah kalimat itu kuselesaikan, aku langsung melangkah naik ke kamar. Kemudian terbaring membayangkan pedihnya rasa yang akan didapatkan oleh Genta. Tapi, bukan solusi jika kubiarkan dia patah terlalu sering. Seseorang yang mencintaimu akan tahu apa dan mana kebahagiaanmu dan Genta tahu bahwa Deka adalah kebahagiaanku.
***
Aku membereskan barang-barang dan memilih apa yang harus aku bawa. Hari ini, aku putuskan untuk menemui Genta, lagi. Setelah malam tadi berkutat dengan segala keperluan. Terkhusus untuk memberitahukan pada ibu, ibu bilang tidak perlu mengatakan hal itu hingga membuatku harus kembali pergi ke Belanda. Karena semuanya bisa diselesaikan tanpa harus bertatap muka, tapi, bukan Nadir jika keinginannya tidak terwujud.
Hari ini ayah sedang tidak bertugas, dan ayah sedang di Bandung bersama Mas Aga. Mereka tidak ada yang tahu bahwa aku memutuskan untuk kembali ke sana. Kalau sampai ayah tahu aku melakukan ini, mungkin dia tidak akan memberiku paspor lagi.
Jangan salah, Deka adalah orang pertama yang mendukung apa yang akan kulakukan. Bahkan dialah yang memberiku saran untuk melakukan ini. Deka bilang, apa yang sedang Genta lakukan adalah hal yang benar dan Genta sama sepertiku, dia juga menanti jawaban meskipun jawaban yang akan dia terima bukanlah jawaban yang membahagiakan.
Aku mencium punggung tangan ibu sebelum pergi ke bandara. Ibu juga menitikkan air mata melihat kehidupanku. "Sesulit ini kamu mendapatkan cinta, Nad." Ibu menggenggam erat tanganku sambil terus menunduk tidak berani menampilkan wajahnya.
"Bu, yang sudah dimulai memang harus disudahi dan yang belum dimulai harus segera dimulai seperti itu, kan?"
Ibu mengangguk dan memelukku sekali lagi. Aku tahu bagaimana sulitnya ia menerima semua ini. Karena seorang ibu akan mengalami kesulitan yang sama atas kesulitan anak-anaknya. Benar, cinta adalah sesuatu yang megah, dan untuk sebuah kemegahan memang harus mengorbankan banyak hal bahkan diri sendiri. Setelah aku pamit dengan ibu sekarang giliran aku pamit pada Deka. Seseorang yang merubah segalanya di hidupku. Yang memberi duka, suka, dan pengharapan.
Deka menarik koperku dengan tangan kanan dan tangan satunya lagi dia gunakan untuk menggandeng tanganku. Aku melihat wajahnya sesekali, ternyata wajah seperti ini yang membuatku tahu apa itu penyesalan. Rahangnya yang kokoh, serta alisnya yang tebal dan hidung bangirnya, "Aku izinkan dengan gratis untuk kamu lihat wajahku sepuasnya karena besok sudah dikenakan tarif. Seharusnya aku juga ikut kamu,"
"Takut ya, aku berpaling dan milih Genta?"
"Bukan, bukan itu, aku harus bertemu dengan Genta dan berterima kasih telah membantu memulihkan ingatanmu, karena dia, kita bisa bersama-sama. Dan terima kasih juga karena dia pernah membuatmu melupakan rasa sakit itu."
Aku memeluk Deka untuk membagi haru yang sedang menyelimutinya dan memberikan sugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tanpa sepengetahuan Genta aku akan menemuinya. Mungkin akan terlihat aneh ketika aku kembali menemuinya tapi bukan untuk perasaannya. Semua orang tidak pernah siap untuk dipatahkan hatinya. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Tapi, inilah jawaban, jawaban atas segala ketidaknyaman kami berdua. Walau bukan akhir yang baik, semoga inilah akhir yang terbaik.
Perjalanan kali ini terasa sangat cepat. Entah kenapa hatiku sangat menggebu-gebu, setelah dua belas jam perjalanan dan aku merasa bahwa perjalanan ini tidak lebih dari sepuluh jam. Karena Deka terus saja menghubungi dan menanyakan keadaanku, sepertinya dia tidak tidur malam ini.
"Baru saja tiba di bandara Schipol, dan hari ini juga aku mau ketemu Genta." seperti itu kutulis pesan untuk Deka dan langsung mengirimnya. Tidak kucek lagi apa balasan pesan yang kukirim pada Deka karena sekarang, aku sedang mengetik pesan untuk orang lain.
"Genta, kamu kenapa gak ada kabar?" itulah kalimat paling mudah untuk memulai semuanya. Karena terakhir kali dia menghubungiku adalah hari di mana aku berani untuk memulai dengan Deka. Tolong jangan sebut aku jahat karena cinta memang tidak pernah baik. Tak berselang lama, terlihat balasan dari Genta. Benar dugaanku, bahwa sebenarnya dia bukan mengurus berkas tapi untuk menenangkan hatinya.
"Haha, iya Nad. Aku masih sibuk. Kamu apa kabar?"
"Sibuk tapi kilat banget balas pesanku. Aku baik, kamu?" tidak peduli apa yang akan dia pikirkan. Aku harus cepat menemuinya.
"Kalau kamu dalam keadaan baik, aku juga baik."
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menanyakan hal penting itu padanya "Kamu lagi di mana, jangan bohong. Karena bisa jadi kita lagi di tempat yang sama."
Lima menit sudah sejak terakhir kali aku mengirimkan pesan untuk Genta, dia tidak juga membalasnya. Aku merasa gusar, kenapa jadi lama seperti ini, padahal aku ingin segera mengakhirinya.
Sambil terus membolak-balikkan gawai akhirnya aku menerima pesan itu, yang sudah kutunggu-tunggu dan dengan senyum yang merekah kubaca pesan dengan sangat hati-hati, "Aku sedang duduk di kebun bunga tulip milik Henry, petani yang selalu menginginkanmu untuk melihat bunga-bunga yang ia tanam. Aku sangat berharap ada kamu di sini, tapi tidak mungkin karena negeri Sultan menawarkan Senja yang lebih menarik."
Mencoba mengartikan kalimat yang Genta kirim untukku. Apakah dia merasa sakit sekali sampai harus mengunjungi tempat itu? Kalau Amsterdam membuatmu sedih untuk apa kaukemari?
Yang bisa kulakukan hanya menemuinya saja, tidak peduli apa pun itu. Kunaiki taksi yang sudah dipesankan oleh mas Aga. Beberapa kali aku bertemu dengan supir taksi ini, dia memang langganan kami. Mas Aga bilang, di negeri orang harus pandai-pandai mencari kepercayaan dan dipercayakan.
"Sir, please bring me to Bollenstreek."
Supir taksi itu hanya mengangguk sambil tersenyum dengan ramah. Aku memperhatikan jalan yang kulewati, beberapa tempat aku ingat tapi tidak seluruhnya. Yang aku pikirkan sekarang adalah, semoga Genta masih di sana.
"Long time no see. You look more cutie."
"Dank u wel." Senyum merekah di wajah supir taksi itu.
"Aga is well?"
"He always healthy." Sahutku singkat dan menatap keluar jendela. Supir taksi yang aku tidak tahu namanya ini terlihat bingung juga terhadap sikapku. Syukurnya dia tidak menanyai keadaanku karena aku bingung harus menjelaskan dari mana.
Tidak banyak lagi yang kami bicarakan karena aku kembali fokus pada perjalanan dan layar gawai. Aku iseng dan mengirim pesan pada Alex, menyertakan foto jalanan kota Lisse.
"Hay. I'm here." Tak lama kemudian Alex langsung meneleponku, dan sudah bisa kutebak bahwa Jessy dan Michaela sedang duduk sambil mendengarkan apa yang akan kubicarakan dengan Alex.
"Nadir, jij gekheid maken?" terdengar suara Alex dengan nada tidak menyangkan,
"In this place, I met him and I must ended in here."
"Kamu gila?" seperti itulah Alex, ketika tidak mampu menahan emosinya, dia akan mengatakan hal-hal di luar dugaan menggunakan bahasa yang hanya aku dan dia mengerti. "jadi kamu batal nikah dengan Genta?" pengucapan Alex masih benar dan fasih hanya dialeknya saja yang sedikit berubah.
"Not with him. Bukankah ini yang kita harapkan, bahwa kita harus memperjuangkan." Hanya itu yang aku sampaikan pada keluarga Alex. Mereka juga mengerti apa yang aku lakukan bukanlah hal yang mudah. Setiap orang akan berusaha untuk mempunyai hubungan yang tidak merugikan orang lain. Semua orang bisa saja merasakan hal yang sama denganku tapi tidak semua menyelesaikan dengan cara yang sama denganku.
Aku sudah berada di halaman depan rumah Henry dan keluarganya. Terlihat beraturan beberapa sepeda dan salah satunya adalah punya Genta. Dia masih di sini. Marsha istri dari Henry tengah berdiri di depan pintu sambil memegang nampan berisi susu dan roti.
Dia menatapku dengan sorot mata yang susah untuk diartikan. Terlihat sangat bingung dan hampir menjatuhkan nampan beserta isi, untungnya berhasil kutahan lalu kubantu untuk membawa.
"You come for him?"
"you know what I feel, moeder." Aku memanggil Marsha dengan sebutan ibu. Karena kalau musim semi sangat baik maka aku akan tinggal di sini beberapa hari, itulah kenapa pasangan ini bagai ibu dan ayah untukku. Bukan hanya untukku tapi untuk laki-laki yang sedang berada di pinggir kebun tulip itu.
"Genta always do that. Sunset and sunrise, he stay in here with us. He always talk about you. I know your heart not for him." Marsha melihatku kemudian mengangguk, dia memberiku kekuatan dan menyuruh untuk melakukan hal yang benar. Kebenaran untuk semuanya, karena cinta bukan paksaan.