webnovel

12

Tinggal satu rute bus yang harus kutempuh. Menaiki kenderaan umum sangat menyenangkan karena semakin banyak momen yang bisa tertangkap oleh mataku. Dari Keukenhof Express kemudian pintu keluar Arrival Hall di samping tempat kopi asal Amerika(Starbuc**). Sebelum aku berangkat aku juga membeli cemilan dan kopi dengan campuran es di kedai itu.

Bus kembali berjalan melalui jalur 854 ke Keukenhof. Aku menikmati setiap perjalanan ini dan tidak terlepas senyum dari wajahku. Jalanan tampak begitu tenang. Awal musim semi yang baik.

***

Tepat di dalam taman bunga dengan hamparan luas walau masih ada yang belum mekar seutuhnya, bunga-bunga juga terlihat begitu segar. Bunga-bunga di sini sudah menepati janji untuk mekar pada waktu yang sama.

Sambil menyesap sisa kopi, kulirik mawar yang Genta berikan. Kenapa Genta memberi mawar putih? Penasaran dengan isi surat, tumben sekali. Membaca kata demi kata, apa maksud semua ini?

Laki-laki berkaki Panjang

Aku tahu ini bukan waktunya untuk mengusik kehidupanmu yang sudah damai. Maaf, karena tak bisa menepati janji. Aku benar-benar tidak bisa menjauh darimu, Nadir Sakinah. Terlalu naif ketika ingin pergi dan berpikir bahwa kau akan kehilangaanku dengan sangat, karena ketika kita sudah terlalu banyak kecewa maka cinta itu akan hilang dengan semestinya, tapi ternyata akulah yang kehilanganmu, akulah yang menderita selama ini.

Aku memang jahat meninggalkanmu dengan semua kenangan yang masih ada. Jangan benci aku sebab semua hal paling sakit sudah dan terus membayangiku. Aku tak pernah pergi, tak juga hilang. Aku terus di belakangmu karena prajurit memang tak pernah di depan atau bersanding dengan ratu.

Selama ini aku telah menyiksa diriku sendiri dengan pergi dan merasa paling bahagia dengan kepergian. Nad, setelah kejadian yang menimpamu, setelah hilangnya kenangan kita yang ada padamu, aku tahu itu sangat menyulitkan.

Aku ingin membantumu, ingin berada tepat di sampingmu tapi Bumi tidak merestui kita, lagi. Saat aku ingin hadir menyampaikan alasan, kulihat laki-laki itu kembali di sampingmu dan memberi banyak tawa. Maka, aku mengaku kalah dan berbalik arah.

Aku merasa terbuang dan hanya mampu menikmati senja sendirian. Semakin menggila dan tak tahu harus melakukan apa karena perasaanku tidak bisa diajak bicara, perasaanku sudah menghanguskan seluruh akal dan pikiran.

Akhirnya kuputuskan untuk kembali lagi, untukmu. Ingin membantu untuk merasa hidup dan menciptakan semuanya. Semua kejadian tanpa harus ada bayang-bayang dari masa lalu. Karena aku yakin, kamu sudah menghilangkan nama Qafka dari hidupmu.

Aku sudah melangkah, namun belum sempat menggapai tanganmu ternyata kamu memutuskan untuk pergi dan hilang. Kamu pergi dengan rasa sakit dan berharap tempat pelarianmu akan memberi sejuta kebahagiaan. Aku ingin menyusulmu tapi kau memang sudah hilang. Kau sudah menghilangkan aku dari ingatanmu dan pergi bersama sosok baru yang lebih menyemangati. Dia, seorang dokte, kudengar namanya Genta.

Genta adalah laki-laki yang akan terus bersamamu sampai senja menyatu dengan fajar. Aku tidak bermaksud apa-apa, surat dan mawar putih ini kuberikan untukmu sekadar memberi selamat.

"Nad, seorang prajurit memang akan terus menjadi prajurit, tidak akan bertukar senjata juga tidak akan bertukar tempat dengan pangeran."

Aku,

Deka Isyah

Air mataku tumpah bahkan sebelum kalimat pertama menemui titik. Setiap kata yang terangkai menjadi kalimat sungguh sangat menyesakkan hati dan pikiran. Aku tak tahu harus dengan apa mengatakan pada dunia tentang seluruh rasa sakit.

Semua, semua tentang laki-laki yang menulis ini aku harap tidak akan pernah datang lagi. Kau, yang kulupa rupamu namun rasa perih yang benar-benar nyata, ketika kau menuliskan kalimat pertama harusnya kau berhenti di situ, tak perlu diteruskan dengan segala penjelasan yang tak ada gunanya lagi. Kau memang tak perlu datang lagi, jangan pernah.

Aku membenci semuanya, kejadian itu, setelah tidak muncul selama bertahun-tahun kini kepalaku memutar jutaan kenangan seperti rol film masa lalu yang abu-abu.

"Selama belum ada undang-undang yang mengatur tata cara menyapa orang aku rasa tak ada yang perlu kutakutkan. Jatuh cinta pada siapa pun itu tak pernah salah, jangan salahkan dirimu atau pun perasaanmu!"

Kini, laki-laki itu muncul di kepalaku. Rasa sakit semakin tak karuan, aku merasakan pusing yang amat hebat,

"Orang sepertimu pasti punya banyak mantan pacar, kan?"

"Hahaha, terkadang yang terlihat mampu berkomunikasi dengan banyak orang adalah orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan perasaannya sendiri."

Percakapan dan langit saat itu juga sudah teputar dengan jelas di kepala, rasanya sakit sekali.

"Kak Dekaaa,"

Terdengar suara dari beberapa anak kecil yang memanggil namanya, mereka terlihat sudah lama sekali kenal. Dan anak-anak ini juga ramah. Sekarang aku berada di tempat yang cukup menarik. Ada sebuah gubuk yang langsung menghadap ke pantai dan di dalam gubuk ini terdapat papan tulis dan banyak buku. Ternyata dia benar, tempat ini cukup menyenangkan.

"Hari ini kakak bawa pacar," aku sontak mencubit pinggang Deka dan anak-anak itu juga tertawa melihat kami, "Aww, sakit. Maksud kakak teman yang akan jadi pacar, namanya kak Nadir"

Aku tersenyum memandang mereka "Hai, nama aku Nadir,"

"Hai kak Nadir," ucap mereka serentak.

Aku mencoba bangkit dari tempat duduk, tapi tidak ada kekuatan yang bisa kupulihkan, kepalaku seperti sedang ditusuk-tusuk oleh jarum dan muncul banyak sekali kejadian di masa lalu,

"Namaku Sultan kak." Aku tersenyum menyambut uluran tangan bocah lelaki di hadapanku ini.

"Aku kapten mereka. Dan kak Deka selalu mengamanahkan mereka padaku."

"Wah kamu hebat, berarti kakak panggil kamu kapten Sultan, iya?"

"Iya kak. Kak Deka bilang sekarang aku dapat tugas baru, bukan hanya menjaga teman-teman tapi juga menjaga kak Nad,"

Sakit yang taktertahan, bermunculan banyak sekali kejadian dan tubuhku berguncang hebat.

De, kamu ke mana? Bagaimana seorang putri dapat melindungi istana jika prajuritnya memilih berburu yang akan membunuh dirinya sendiri.

Sungai kecil telah tercipta di wajahku bahkan arusnya teramat deras. Ponselku terus saja berdering itu pasti ibu yang khawatir kenapa aku belum juga pulang. Bu, sebentar lagi Nad sampai di rumah. Sebentar lagi, tapi kemudian kakiku mulai melemah, mataku kabur, yang kuingat hanya sebuah cahaya yang semakin lama semakin mendekat. Sejurus kemudian badanku terpental dan bau anyir menyelimuti indra penciumanku.

Deka, istanaku hancur karena kehilangan prajurit setianya.

Kejadian itu, akhirnya setelah tiga tahun menunggu, Ternyata kau orang. Yang berlagak pamit tapi kehilangan, merasa sembuh tapi sakit, berbohong dan menghilang, itu kau, Deka Isyah. Aku sudah tidak mampu menahannya, kepalaku sungguh berat. Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya, gelap…

***

Instrumen musik yang sudah kukenali merayap dengan sopan ke dalam telinga. Perlahan kubuka mata, menyesuaikan dengan cahaya lampu dan bau yang sudah kuhafal. Tangan kanan terasa begitu kebas, sudah begitu lama cairan infus tak masuk ke tanganku. Dan pemandangan bertahun-tahun lalu kembali terulang, seorang wanita sedang menumpu wajah dengan kepalan tangannya. Kucoba bangkit dari tidur namun kepalaku masih begitu pusing hingga aku merintih dan Ibu terkesiap,

"Nad, Alhamdulillah kamu sudah sadar nak, yaAllah," mengucap syukur sekaligus memelukku dengan sangat erat, seakan tak menginginkan kejadian ini berulang. Kudengar isak tangis ibu.

Kami saling memeluk tanpa mengucapkan apa pun, sebab dalam pelukan ini semua telah dibicarakan dengan bijak. Pelukan adalah gaya bahasa yang tak pernah gagal. Ibu meregang sedikit pelukannya, menghapus air mata kemudian membelai puncak kepalaku dengan penuh harap. Aku bisa merasakan betapa rapuhnya ia ketika menatap mataku. "Ibu tahu sulit yang kamu alami, Nad." ibu menunduk dan menangis. Aku tak bisa melihat dia terluka sedalam ini.

"Ibu tidak tahu pasti, mungkin kamu akan mengalami ini untuk beberapa saat. Karena gejala alzheimer yang kamu rasakan tak bisa disembuhkan secara total tapi kita terus berusaha untuk membuatmu merasa nyaman, Nad,"

Aku sudah mempelajari penyakit ini, awalnya sulit untuk kuterima karena kehilangan meski itu buruk ia tetap bernama kenangan. Tidak bisa sembuh total rasanya seperti tersambar petir di siang yang sejuk, berhari-hari yang kulakukan hanya bertanya: kenapa aku? Apakah tubuh dan jiwaku hanya diperbolehkan merasa sakit dan kehilangan?

***

Ibu tertidur di sofa dengan selimut yang menutupi tubuh. Lingkaran hitam yang berada di sekitar mata sudah menjelaskan betapa lelahnya dia. Ibu harus sendirian mengurus aku yang tak bisa diprediksi kapan mengalami gejala-gejala serupa.

Aku berusaha untuk turun dari tempat tidur dan menghampiri ibu. Melihat ia kelelahan seperti ini, aku juga sama menderitanya. Kunaikkan sedikit selimut menutupi tubuhnya hingga ke leher. Ada banyak hal yang menyakitkan di dunia ini, termasuk melihat penderitaan ibumu yang lebih besar daripada derita dirimu sendiri.

Jam menunjuk pukul dua pagi. Aku membuka pintu dengan pelan agar ibu tak terganggu dalam tidurnya. Rumah sakit adalah tempat yang tak pernah tidur, kesedihan ada di mana-mana, semua orang bertukar tatap dan menyampaikan harap untuk saling menguatkan. Ada satu sakit yang menjalar tanpa ada obat penawarnya, perasaan mereka yang menginginkan kesembuhan, rapuh dan tak berdaya adalah jenis penyakit yang sulit untuk dideteksi bahkan oleh alat medis paling canggih.

Aku berjalan menuju jendela yang memperlihatkan keadaan di luar rumah sakit. Gedung-gedung tinggi yang terlihat jelas, lampu jalanan dan ada beberapa tempat yang sudah benar-benar gelap. Hidup memang hanya tentang gelap dan terang, sakit dan sehat juga hampa dan hilang.

"Status kamu masih pasien. Meskipun kamu pakai sweter untuk menutupi baju dalammu, hal itu gak akan buat status pasienmu hilang." Aku menoleh, Genta, dia di sampingku. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa dan bagaimana memulainya.

"Tidak ada yang perlu kamu jelaskan atau ceritakan. Kesembuhanmu tetap yang utama dan sudah kukatakan dari awal semuanya akan baik-baik saja. Dari pertama kali kamu mengaku sebagai pasien. Aku sudah tahu ini akan terjadi dan sintingnya aku malah jatuh cinta yang membuat semuanya terasa semakin rumit."

Genta, kamu itu bicara apa sih? Berhenti membuatku semakin merasa bersalah. "Aku akan laporkan kamu karena sudah mencerca pasien yang baru saja siuman." kulihat Genta tersenyum dan menunjukkan rentetan giginya. Genta, aku berharap kata-kata yang barusan kuucapkan bukanlah kalimat terakhir yang akan memisahkan kita.

Kami fokus pada pikiran masing-masing tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku yang terus memikirkan tentang kisah tanpa akhir ini, kisah diriku sendiri yang seharusnya bisa kuatur kapan harus memulai dan berhenti. Kalau nanti, Tuhan memberiku kesempatan hidup lagi, aku tidak akan memilih kisah cinta sepelik ini.

"Kamu yang bawa aku ke sini?" kuputuskan untuk memulai percakapan dan memecahkan es di antara kami.

"Dari awal kamu buka surat itu aku sudah tak bisa menahan diri, waktu kamu mulai menaikkan alis matamu. Karena aku tahu pasti ada yang membuat bingung dari surat yang kamu terima. Tapi kuurungkan niat dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku terus saja membiarkanmu hingga selesai dan ternyata semuanya kembali. Saat pertama kali kulihat air matamu jatuh, aku juga merasakan jatuh yang kamu hadapi. Tapi, aku juga tahu kamu tidak akan berhenti membaca surat itu karena memang ada yang harus kamu tuntaskan. Sampai aku juga meneteskan air mata melihatmu semenderita itu, hingga surat itu meyentuh tanah dan kamu juga sudah tergeletak di rerumputan. Hatiku juga patah, Nad!" mendengar semua penjelasan Genta, aku seperti telah tertampar dengan sangat keras karena seharusnya akulah yang menjelaskan ketidakjelasan ini.

"Kenapa kamu ada di situ?"

"Apakah harus ada penjelasan ketika menjagamu adalah sebuah kewajiban?"

Genta kembali dengan sejuta kalimat baiknya yang menenangkan. Bahkan mulutku tidak mampu mengeluarkan kata apa pun, tubuhku seolah mati rasa, sesaat bumi berhenti berputar dan yang paling parah adalah perasaanku melebur menjadi rasa bersalah.

"Aku tahu Nad. Sangat sulit untuk mengatakan "Selamat Tinggal"."

Tak berselang lama air mataku lolos, "Aku tidak pernah menyuruhmu pergi, Genta!"

"Memang bukan aku yang pergi tapi kamu! Kamu sudah pergi dari awal kita bertemu, Nad. Dari pertama kali kamu masuk ke ruanganku dan mengaku sakit. Kamu tidak pernah benar-benar datang!"

Entah keberapa kalinya aku membenarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Genta. Aku ingin bertemu denganmu di kehidupan selanjutnya yang hanya ada aku dan kamu, Genta.

"Nad, aku juga tahu perjalananmu sebelum sampai di sini. Tak kusangka lingkaran itu tak pernah putus. Kamu selalu masuk ke dalam hidup orang lain tanpa memikirkan kehancuran yang harus diterima."

dengan sangat mudah Genta menarik seulas senyum "Kuantar ke kamar ya. Di sini dingin." Bahwa setiap yang baik akan dipertemukan dengan yang jahat agar dia paham bahwa di jagat raya yang luar biasa ini bukan hanya untuk kebahagiaan tapi juga kesedihan yang mendalam. Manusia yang paling jahat di bumi ini adalah mereka yang tidak pernah memberi kepastian.