webnovel

Raya dan Pencariannya (2)

"Ya~ Raya, bangun! Kita sudah sampai!"

Ujar salah seorang perempuan yang duduk di samping perempuan bernama Raya. Perempuan yang merupakan kakak dari Dion, yang kini masih terbaring tak berdaya di rumah sakit.

Temannya menggoyang-goyangkan tubuh Raya sampai kedua mata itu bergetar, mulai membuka perlahan. Melihat wajah teman yang membangunkannya lalu menoleh ke dua lelaki yang mulai turun dari mobil dari dua kursi depan. Raya agak bingung sejenak sebelum akhirnya mengerti dan mengelap ujung mulutnya yang terasa basah.

Raya serta merta menilik ke jendela luar. Melihat pemandangan tempat parkir yang dikelilingi oleh hutan dengan pepohonan tinggi. Raya kurang tahu jenis pohon apa yang dilihatnya tersebut, namun tingginya menjulang hingga dia tidak dapat melihat ujung atasnya dari dalam mobil.

"Jadi inikah tempatnya..."

Gumam Raya yang seraya keluar dari mobil lalu melihat sekeliling tempat tersebut.

Lokasi yang ditujunya saat ini adalah tempat adiknya kemping tiga bulan lalu. Tempat di mana lelaki itu mulai terlelap dalam tidurnya.

Selama ini Raya hanya mendengarkan cerita dari teman-teman Dion adiknya saja. Tentang berbagai rumor mistis yang mungkin menjadi penyebab tidurnya Dion tersebut.

Kali ini, Raya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang tempat yang dirumorkan tersebut.

"Kak Raya! Kita perlu berjalan sekitar setengah jam ke atas lagi untuk sampai di bumi perkemahan. Jalannya terlalu buruk untuk dilalui kendaraan."

Tutur salah seorang lelaki yang ikut bersama dengannya. Lelaki itu merupakan salah seorang teman dari Dion yang ikut kemping tiga bulan yang lalu. Ia bernama Latif.

Kali ini dia ikut dengan Raya untuk menunjukkan jalan dan juga tempat kemping yang digunakan oleh adiknya. Raya ingin semuanya sama persis seperti tiga bulan lalu.

Selain Latif, terdapat dua orang lain yang merupakan teman dari Raya sendiri. Mereka adalah Evan dan Vera. Keduanya sudah berteman dengan Raya sejak kecil, sehingga mereka mengenal Dion dengan baik.

Keempat orang tersebut pun berjalan naik dalam waktu setengah jam dan akhirnya tiba di bumi perkemahan.

Dari tempatnya berada kini, Raya dapat melihat beberapa tenda telah berdiri di berbagai penjuru tempat tersebut. Setidaknya ada tujuh tenda. Cukup banyak, namun dari luas tempat tersebut, jumlah segitu tidak berarti menghilangkan kesunyian di sekitarnya.

Tenda-tenda yang dilihat Raya jaraknya terpaut jauh. Sehingga suara orang di sekitarnya tidak terdengar sama sekali.

Latif lalu mengajak ketiga kakak kelasnya ke tempat mereka kemping dulu. Tempat yang berada di pojok dari bumi perkemahan tersebut.

Sesungguhnya tidak ada hal aneh yang dilihat maupun dirasakan oleh Raya dari tempat tersebut. Bahkan dari keseluruhan tempat perkemahan itu. Dia merasa kalau tempat itu memang tempat perkemahan seperti biasanya.

Dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Bebatuan besar berada di beberapa sudut. Suara serangga dan kicauan burung terdengar merdu, hingga suara aliran air sungai kecil yang mengalir tidak jauh di bagian selatan bumi perkemahan. Membuat harmoni alam begitu menentramkan hati.

Untuk saat ini, Raya tidak merasakan sama sekali yang namanya mistis dari tempat ini.

'Sepertinya memang bukan supranatural. Sigh... aku merasa bodoh mendengarkan cerita gak jelas itu...'

Pikir Raya yang merasa absurd kalau dirinya harus percaya ke cerita-cerita horor. Mungkin karena panik, putus asa dan kehilangan arah. Cerita yang gak masuk akal dari teman-teman Dion itu jadi terasa kredibel.

Dia menghembuskan napas panjang. Mulai merelaksasikan tubuhnya dengan udara segar yang terhirup.

Tanggung sudah berada di sini. Raya rasa sehari istirahat di tengah harmoni alam akan menyegarkan pikirannya.

Setidaknya itu yang dia harapkan, sebelum malam tiba.

Raya dan teman-temannya yang tengah asik mengobrol tentang nostalgia pengalaman mereka semasa kecil hingga masa perkuliahan, sembari mengelilingi api unggun tiba-tiba mendengarkan suara tawa orang lain tidak jauh dari sisi mereka.

"!"

Raya melihat samping kirinya. Di sana tidak ada apa-apa. Dia hanya melihat beberapa batang pohon yang berjajar rapi.

"Apa kalian mendengar itu juga?"

Tanya Raya yang dijawab anggukan oleh ketiga temannya yang lain.

Latif yang sudah mengalami kejadian buruk di tempat itu langsung berdiri dari posisinya. Dia menyarankan sebaiknya mereka pergi tidur. Waktu telah larut malam, dia takut ada sesuatu terjadi dan kejadian Dion terulang kembali.

Evan dan Vera tidak terlalu percaya dengan hal supranatural. Namun melihat wajah panik dari Latif, mereka tahu kalau menuruti orang yang lebih berpengalaman di alam luar jauh lebih baik.

Sedangkan Raya, dia mengangguk namun akan berjaga selama beberapa menit dahulu sebelum masuk ke tenda.

Dia ingin tahu apakah hal mistis itu benar adanya, sekaligus penasaran juga dengan suara tawa kecil tadi. Walau samar, keempat orang di sana mendengarnya.

Waktu berlalu, Raya yang sedari tadi memandangi api melahap kayu kering di depannya tidak mengalami gangguan apapun. Malah sebaliknya, dia mendapatkan kedamaian yang sudah lama tidak dirasakannya.

Hal ini menguatkan asumsinya kalau tempat kemping tersebut memang bukan penyebab dari kondisi Dion saat ini.

'Sepertinya memang saraf. Tapi dokter-dokter di Pertiwi belum dapat mengidentifikasinya. Apa dokter di luar negeri bisa? Tidak, kurasa Mama sama Papa sudah memikirkan hal yang sama, tapi hingga kini belum bisa mendatangkan maupun pergi ke luar. Mungkin masalah dana? ... sigh, ini memusingkan.'

Pikir Raya sembari fokus melihat tarian api di depannya. Tidak menyadari sekelilingnya yang mulai semakin gelap, bagai kegelapan telah menelan satu persatu batang pohon di sekitar.

Raya sibuk dengan pikiran di kepalanya sendiri. Hingga baru terhenti ketika dia mendengarkan suara yang sangat familiar di telinganya.

"Kalau menyusahkan. Biarkan aku mati, Kak."

"!!"

Raya tertegun mendengarkan suara tersebut. Dia langsung menoleh ke samping kanannya, melihat sosok adiknya telah duduk bersamanya, dengan wajah yang sendu menghadap ke arah api unggun.

"Dion..."

"Kak, bangun. Jangan tenggelam dalam kegelapan tempat ini."

Ujar lelaki tersebut dengan tubuhnya yang mulai memudar menjadi suatu asap putih. Raya sontak kaget, dia ulurkan tangannya untuk menggenggam tangan adiknya tersebut, namun apa yang digenggam hanyalah udara kosong.

"Dion! Dion! Diooon!!!"

Dia panggil nama adiknya berkali-kali namun sosok lelaki itu akhirnya menghilang dari pandangan mata. Raya seketika panik. Dia berdiri ingin berlari ke arah asap tertiup.

Namun betapa terkejutnya dia, ketika melihat sekelilingnya hanyalah kegelapan. Tiada pohon, tenda dan barang-barang yang dibawanya. Bahkan permukaan tanah dan langit pun telah tiada.

Hanya api unggun yang hingga kini menyinari sekitar sepuluh meter tempatnya berada, adalah hal yang dapat dilihatnya.

Niatnya untuk mengejar pun serta merta berhenti. Karena naluri melarangnya untuk bergerak lebih jauh.

Raya tahu, hal yang dialaminya bukanlah sesuatu yang biasa. Dan yang tadi dilihatnya bukanlah Dion yang nyata.

"Ilusi?"

Raya seketika mengingat peringatan yang diberikan Dion tadi. Menyuruhnya untuk bangun dan tidak tenggelam dalam kegelapan.

Apakah kegelapan yang dimaksud itu adalah fenomena yang ada di depannya? Terus apa maksudnya dengan bangun? Apa dirinya berada dalam dunia mimpi?

Raya seketika bingung yang berangsur berubah panik ketika mendengar banyak suara bisik dari sekelilingnya. Setelah itu, dia mendapati banyak pasang mata yang menyala dari dalam kegelapan.

Kaki perempuan itu semerta lemas. Dia tidak tahu di mana tempatnya berpijak kini. Mau itu dunia nyata ataupun mimpi, yang dirasakannya ini hanyalah teror. Nyawanya merasa terancam. Dan entah bagaimana, Raya dapat menebak kalau Dion mungkin berada di dalam kegelapan di depannya. Bahkan menjadi salah satu pasang mata yang sedang memandanginya.

Ini membuat tubuhnya gemetar kencang. Dia berjuang untuk menemukan penyebab kondisi adiknya. Sekarang, mungkin dia dapat menemukannya bila masuk ke dalam kegelapan. Namun nyalinya tidak cukup.

Dia tidak berani, bahkan ingin mengeluarkan tangis dan berteriak meminta tolong.

"Bangun! Bangun! Ayo, bangun, RAYA!"

Perempuan itu meneriaki dirinya sendiri. Berusaha sekuat mungkin bangun dari mimpi buruk yang dialami, bila halnya ini semua memanglah sekadar mimpi.

Detik demi detik berlalu, Raya seraya mendengar suara langkah kaki dari satu arah. Dia segera menoleh, melihat satu kaki yang panjang nan ramping bagai ranting kayu keluar dari kegelapan dan menginjak tanah yang disinari cahaya api.

Srak! Srak!

Satu kaki lainnya masuk, namun badan bagian atasnya belum terlihat. Raya menjadi semakin panik. Makhluk apapun itu mulai mendekatinya.

Dia tidak bisa lari. Kata-kata sudah hilang dari mulut dan pikirannya. Dia tidak tahu tindakan yang harus diperbuat.

Hingga akhirnya, dia mendengar suara panggilan dari temannya, Vera. Suara itu rendah dan samar, bila tidak karena keheningan tempat itu, mungkin tidak akan terdengar. Suara itu memanggil namanya, berulang kali dengan nada yang panik.

Raya cari sumber suara. Dan melihat kalau suara tersebut berasal dari dalam api unggun.

Dia pandangi api yang berkobar menari-nari di tengah kegelapan dan teror tersebut. Bagai suatu cahaya pelindung dan penunjuk jalan dalam mimpi buruk.

Suara-suara di sekitar semakin mendekat. Begitu pula dengan tirai kegelapan yang bagai melahap sinar api. Sedikit demi sedikit mendekati tempat Raya berada.

Raya menelan ludahnya. Apa dia harus mati untuk bangun?

Pikir Raya yang dia rasa sudah tidak punya cara lain. Perempuan itu pun melompat ke dalam api yang memanggil, membiarkan tubuhnya terbakar.

Rasa sakit dan panas seketika menjalar di sekujur tubuh. Kulitnya mulai meleleh dan mengelupas.

Raya mengatupkan gigi dan mulutnya dengan erat menahan rasa sakit yang luar biasa.

Apa benar ini mimpi?

Dia mulai ragu karena rasa sakit itu bagai suatu realita. Hingga...

"Raya!"

"!! Haaaaaa!!!"

Raya yang terbaring di depan api unggun yang telah padam seketika terbangun dengan panik.

"Haa... haa... haa..."

Raya terbangun dengan mata terbuka lebar yang melukiskan ketakutan luar biasa. Raut wajahnya tampak panik, namun seketika dia melihat sekitarnya yang terang oleh sinar mentari pagi, lalu melihat wajah cemas dari teman-temannya, Raya semerta menghembuskan napas lega.

"Sigh... mimpi... apa itu benar mimpi...? Hahaha, haha, haa... shit!"