webnovel

MY CEO IS MY SIMP

Setelah bekerja selama beberapa tahun, Claretta, seorang pegawai kantor CBL News Jakarta, mendapatkan kesempatan untuk menempati posisi sebagai asisten eksekutif di kantor utama CBL News di New York City. Sebelum Claretta resmi bekerja di New York, dia diundang untuk wawancara tahap akhir serta pelatihan di Los Angeles. Di sana dia bertemu dengan Cecillia yang memperkenalkannya pada suatu aplikasi untuk menghubungkan antara Sugar Daddy dengan Sugar Baby berdasarkan kontrak. Awalnya, Claretta tidak mengindahkan semua perkataan Cecilia. Namun, Claretta mulai menggunakan aplikasi tersebut untuk membunuh waktu. Dengan sekali swipe, Claretta langsung match dengan seorang Sugar Daddy bernama Shiloh Sulivan. Kebetulan karena Claretta tidak mengenal siapapun di Los Angeles selain Cecilia dan Sinta, teman kantor yang tidak terlalu dekat dengannya, dia memutuskan untuk berkomunikasi dengan match-nya. Claretta sering menghabiskan waktu bersama Shiloh sehingga mulai merasa nyaman terlepas dari status sugar daddy dan sugar baby yang disandang oleh mereka. Tanpa sepengetahuan Claretta, Shiloh yang berperan sebagai Sugar Daddy-nya merupakan CEO di CBL News New York tempatnya bekerja. Claretta yang sudah terlanjur nyaman dengan Shiloh kini dihadapkan dengan suatu pilihan antara pekerjaan yang dia idamkan atau hubungan antara Sugar Daddy dan Sugar Baby yang dijalaninya. Mampukah dia mendapatkan semuanya atau harus ada sesuatu yang dikorbankan? Note : Cerita ini akan dipindahkan ke webnovel versi Bahasa Inggris

Laurent95 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
9 Chs

Bab IV

Nama adalah suatu identitas yang melekat pada diri kita sepanjang masa. Masa yang jauh sebelum kita semua terlahir ke dunia ini. Maka dari itu nama adalah suatu hal yang paling berpengaruh di dalam kehidupan seseorang. Ada yang bangga menyatakan namanya serta merepresentasikan diri dengan sedemikian rupa sedangkan sebagian lainnya memilih untuk menyembunyikan diri serta identitasnya. Salah satunya adalah match atau pasanganku ini.

Selain foto-foto yang terpasang dan bio, tidak ada informasi lain mengenai namanya. Nama di profil juga hanya tertulis S.S saja.

"Daripada disebut sebuah nama, ini sih kayak inisial." Aku bergumam sambil meletakan tangan di bawah dagu. Mulutku mulai mencibir. Kepalaku mulai miring sebelah sebagai tanda bahwa aku sedang berpikir keras. Lalu aku tertawa kecil, "Ah, bukan urusanku juga. Hidup-hidup dia. Terserah dia mau ngapain juga."

Kemudian, aku mengalihkan padangan dari telepon genggam dan melihat sekeliling. Sinta dan Sekretaris Joe masih diam di tempat mereka masing-masing.

"Fiuh, untunglah mereka masih disini. Aku takut ketinggalan lagi,"ucapku sambil menarik nafas lega.

Aku melirik Sinta dan Sekretaris Joe. Mereka terlihat asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Sekretaris Joe sibuk menelepon dan menutup telepon beberapa kali sedangkan Sinta menatap handphonenya lekat-lekat dengan headset yang tersemat di telinganya.

"Kenapa liat-liat?" ujar Sinta sambil melepaskan padangannya dari telepon genggamnya.

Aku tersentak. Tidak kusangka Sinta akan sadar bahwa aku memandangi dirinya.

"E- Enggak, Enggak ada apa-apa, kok! Sok aja lanjutin aja aktivitas kamu," jawabku dengan panik.

Untuk menutupi fakta bahwa aku memandangi dirinya, aku melayangkan pandangan ke sekitar. Bukan hanya mataku saja tetapi aku juga menggerakan badanku ke kanan dan kiri. Namun, aku malah terlihat lebih aneh. Akhirnya daripada aku melanjutkan kekikukan ini, aku kembali fokus dengan telepon genggam dan melanjutkan aktivitas yang sebelumnya aku lakukan.

"Waktunya menangkap ikan, oops … maksudnya swipe-swipe calon pasangan sugar daddy aku." ucapku dengan suara yang sangat kecil.

Perburuan telah dimulai! Aku menelusuri beberapa orang di aplikasi ini. Pengaturan di aplikasi ini hampir sama dengan dating apps yang selama ini kukenal. Swipe left, jika kita tidak menyukai orang tersebut dan swipe right jika kita menyukai orang tersebut. Sama seperti yang aku lakukan sebelumnya, aku melihat wajah-wajah mereka terlebih dahulu. Jika ada yang menilai aku memandang fisik. Itu memang benar.

Siapa sih yang tidak mau pacar, suami atau bahkan sugar daddy yang tampan? Kurasa hampir semua deh! Bahkan ada suatu quote populer yang mengatakan bahwa lelaki jatuh cinta dari mata dan turun ke hati. Namun, kurasa ini bukan hanya untuk kaum adam saja tetapi berlaku juga bagi kaum hawa.

"Orang ini terlihat terlalu tua, swipe left. Orang ini terlalu dangkal, swipe left."

Sudah beberapa kali aku swipe left selain S.S. Entah mengapa aku tidak menemukan sesuatu yang menarik di antara orang-orang ini. Banyak dari mereka yang terlalu tua, pecinta seks atau bionya tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Namun, aku menyadari seseuatu. Semua orang disini menggunakan nama bukan inisial seperti Shiloh. Ketika aku memutuskan untuk keluar dari aplikasi. Aku melihat S.S sedang mengetik dan aku menunggu apa yang mau dia kirimkan kepadaku.

Aku terus menunggu pesan yang ingin S.S kirimkan kepadaku. Satu menit, dia masih mengetik. Dua menit setelahnya, dia masih juga mengetik.

"Orang ini kenapa sih? Kalau mau ngirim pesan cepatan, dong! Lama amat kayak siput,"gerutuku.

Aku masih sibuk mengomel sambil mengetuk-ngetuk layar telepon gengam.

Ting!

Telepon genggamku berbunyi tanda notifikasi masuk. Sepertinya itu dari aplikasi Sudabay.

" Hei, Claretta, jemputan kita sudah datang!"ucap sekretaris Joe dengan nada kecil.

Aku mengarahkan fokus utamaku untuk melihat notifikasi di telepon genggamku. Benar saja, itu adalah pesan masuk dari S.S. Dia akhirnya sudah selesai mengetik dan akirnya mengirm pesan kepadaku. Selagi asyik dengan telepon genggam, aku menghiraukan sekretaris Joe. Namun suara sekretaris Joe semakin keras. Dia juga menepuk bahuku dari belakang sehingga membuatku terkejut

"Astaga, kaget aku! Hampir aja telepon genggamku terjatuh!"omelku pada Sekretaris Joe

Aku membelalakan mata, membuka lebar mulutku dan hampir menjatuhkan telepon gengam kesayanganku sehingga aku tidak jadi melihat pesan masuk dari S.S.

"Jemputan kita sudah datang. Kamu gak mau ketinggalan lagi, kan?"ujar Sekretaris Joe sambil menunjuk sesuatu.

Aku memasukan telepon genggam di dalam tas dan melirik Sekretaris Joe serta arah yang ditunjuknya. Itu adalah sebuah mobil Alphard berwarna hitam. Aku yakin itu adalah jemputan kita. Senyum mulai merekah di wajahku karena sekilas aku merasa seperti miliader yang menggunakan mobil mewah sebagai alat transportasi. Kemudian, aku beranjak dari tempatku berdiri dan mengikuti Sekretaris Joe bersama Sinta di sebelahku. Kami naik di kursi tengah sedangkan sekretaris Joe duduk di depan. Setelah kami semua naik, supir mobil ini menutup pintu mobil demi kami.

"Apakah sudah lengkap semua?"tanya supir.

"Sudah, Pak! Jalankan saja mobilnya. Kita langsung menuju lokasi,"jawab Sekretaris Joe singkat.

Mobil melaju meninggalkan bandara perlahan. Aku melirik ke kaca dan menyandarkan kepalaku. Asalnya aku ingin memejamkan mata dan tidur saja tetapi aku mengurungkan niatku. Aku tidak mau melewatkan momen perjalanan sambil melihat kota Los Angeles meski dari kaca mobil. Setelah beberapa menit perjalanan, aku melihat pintu gerbang keluar yang dihiasi tulisan LAX dengan besar seakan menyambut kedatangan kami di kota besar nan indah ini. Kota di mana influencer, penyanyi tersohor serta artis-artis papan atas Hollywood berdiam

***

Mobil ini masuk ke dalam suatu gedung yang sangat besar dan menghentikan lajunya.

"Nah, Ibu-ibu dan Bapak sekalian. Kita sudah sampai!" ucap supir sambil mematikan mesin.

Tidak lupa supir mematikan ac dan membuka sabuk pengaman. Sekretaris Joe juga mengikuti supir yang melepaskan sabuk pengaman dan bersiap-siap turun. Aku dan Sinta pun akhirnya memegang pintu mobil dan bersiap keluar mengikuti mereka. Perjalanan terasa singkat karena aku terus mengagumi kota Los Angeles. Selama perjalanan aku berharap menemukan artis seperti Miley Cyrus, Justin Bieber, Selena Gomez yang dikejar paparazi. Sayangnya, harapanku pupus karena aku hanya menemukan kemacetan serta beberapa orang yang hidup di jalanan.

"Ayo kita jalan ke pintu masuk!"ucap Sekretaris Joe sambil membimbingku dan Sinta.

"Ngomong-ngomong ini gedung apa, Pak?" tanya Sinta mewakili rasa penasaranku.

Kami tiba di meja resepsionis. Sekretaris tidak menjawab pertanyaan Sinta karena dia berbicara dengan resepsionis. Lalu, resepsionis memberi beberapa kartu berwarna biru muda kepada Sekretaris Joe. Terlihat ada nomor di atas kartu-kartu tersebut.

"Ini adalah gedung CBL News cabang Los Angeles,"timpal Sekretaris Joe.

"Oh, aku kira ini hotel, Pak!"celetukku sambil menunjuk kartu yang sedang berada di tangan Sekretaris Joe.

Sekretaris Joe membalikan tangannya dan melihat kartu yang berada di tangannya.

"Itu kunci ruangan kita, kan?" tanyaku.

"Hahaha. Betul, ini adalah kunci ruangan kita tapi bisa bangkrut perusahaan kita kalau kalian ditempatkan di hotel selama pelatihan disini," sahut Sekretaris Joe

"Sebentar … Pelatihan di sini dua minggu, kan?" tanya Sinta.

Sekretaris Joe terdiam sejenak sambil menghela nafas panjang. Dia terlihat seperti ingin menyaring kata-katanya agar kami bisa mengerti.

"Memang secara formal, pelatihan berlangsung selama dua minggu tetapi kadang bisa lebih cepat atau lebih lama tergantung situasi."

Aku dan Sinta terdiam sambil melirik satu sama lain. Ada tanda tanya besar di sini. Namun karena kami memang menginginkan pekerjaan ini, kami tidak berkata-kata dan hanya mengikuti langkah kaki Sekretaris Joe.

"Sinta. Ini ruanganmu," Sekretaris memberi kartu kepada Sinta. Sinta langsung menerima kartu itu dan menempelkannya di pintu masuk. Dia melirik ke Sekretaris Joe yang berada di sebelahnya.

"Ini ruangan saya sendiri, Pak? Saya tidak harus bersama Claretta?" tanya Sinta.

"Iya. Kalian punya ruangan sendiri-sendiri. Silahkan kamu beristirahat terlebih dahulu."jawab Sekretaris Joe.

"Terima kasih, Pak."

Sinta langsung membuka pintu ruangannya. Aku curi-curi pandang ke dalam ruangan Sinta. Sekilas aku melihat ruangan dengan kasur khusus spring bed khusus untuk satu orang serta jendela kaca yang besar. Aku juga melihat kerai berwarna jingga. Aku asalnya masih ingin melirik lebih banyak lagi tetapi Sinta langsung menutup pintu kamarnya.

"Claretta, kamarmu di seberang Sinta. Ini kuncinya."

"Wah, terima kasih Pak!"

"Sama-sama. Saya pamit dulu. Kalau ada apa-apa kalian bisa hubungi saya atau resepsionis di depan."

"Iya, Pak."

Aku melihat kunci kamarku dengan saksama. Kunci itu terlihat cantik. Dia memiliki gambar tulisan Hollywood dan Walk of Fame Los Angeles. Kemudian, aku segera menempelkan kartu tersebut di kamarku dan segera masuk.

Aku menutup pintu kamar dan melihat sekitar. Aku meletakan koperku di sudut kamar dan berkeliling. Aku duduk di atas kasur dan melihat dua bantal serta selimut di atas.

"Nyaman, empuk. Sayang sekali tidak ada guling disini."

Aku ingin langsung berbaring tetapi aku tidak mungkin melakukannya. Setidaknya aku harus ganti baju dan mandi terlebih dahulu. Kemudian aku menuju kamar mandi. Terdapat kamar mandi dekat dengan pintu masuk. Kubuka pintu dan menemukan shower di dalamnya. Ada simbol warna merah dan warna biru. Sama seperti di Indonesia. Kemudian aku melihat pispot dan sontak kekecewaan muncul di wajahku.

"Bule … bule …. kebiasaan mereka ga ada semprotan air buat cebok. Masa cuma pakai tissue toilet, doang? Mana bersih," ucapku sambil geleng-geleng kepala.

Aku tahu kalau bule memang selalu menggunakan closet duduk dan shower. Aku tidak masalah dengan itu tetapi yang jadi masalah adalah mereka tidak menggunakan air untuk buang air kecil dan buang air besar selain tombol flush. Tak jauh dari pispot, aku melihat ada kerai di dalam toilet ini. Aku penasaran. Kemudian aku mendekat dan membuka kerai tersebut.